Thalia pagi ini bersiap untuk ke kampus. Seperti biasanya, dia dijemput oleh Danish saat mau ke kampus. Dia mengenal Danish saat dia digabungkan dalam satu kelompok saat pertama kuliah. Ternyata Danish anak dari sahabat papahnya Thalia, dan juga sepupu Arkan. Mereka saling mengenal dan semakin akrab hingga sekarang.
Thalia sebenarnya malas di jemput Danish, karena dia tidak bebas mau ke mana-mana kalau dengan Danish. Dia juga ingin menjauh darinya, karena Thalia merasa kalau Danish mulai memperlakukan Thalia layaknya kekasih. Perhatian yang diberikan Danish seperti bukan untuk teman, tapi untuk kekasihnya.
Thalia hanya merasa tidak enak dengan orang tua Danish, karena jika Thalia tidak mau berangkat dengan Danish, pasti Danish tidak berangkat kuliah. Danish sebenarnya tidak diperbolehkan orang tuanya untuk kuliah, tapi Danish ingin seperti temannya yang mendapatkan pendidikan, meski dia tidak akan menikmati waktu kuliah hingga selesai.
Thalia tidak tahu kenapa orang tua Danish begitu berlebihan perhatiannya pada Danish, padahal Danish biasa saja. Terlebih Monica, mamahnya Danish, dia over protektif sekali dengan Danish. Danish juga tidak diperbolehkan mamahnya membawa mobil sendiri, jadi ke mana pun Danish pergi pasti sama sopir pribadinya yang setia menemani. Meski pergi dengan Thalia, Danish selalu dengan sopir pribadinya.
Thalia keluar dari kamarnya, dia menuju ke meja makan dan langsung mengambil sepotong roti, lalu mengolesnya dengan selai coklat. Dia tidak menyapa mamah dan papahnya yang sedang berada di depannya. Thalia memang sedang sebal dengan Danish yang selalu saja memberikan pertahian lebih.
“Lia, kamu tidak sopan sekali, ada mamah dan papah tidak kamu sapa malah langsung nylonong ambil roti,” ujar Rere, mamah Thalia.
“Thalia sedang sebal sama Danish,” jawabnya dengan meneguk s**u vanila kesukaannya.
“Kenapa dengan Danish? Bukannya selama ini dia baik dengan kamu, Nak?” ujar Leon, papahnya Thalia.
“Pah, dia itu kebangetan perhatiannya. Thalia risih sendiri, Pah. Thalia melihat Danish itu perhatiannya lebih dari seorang teman,” keluh Thalia.
“Dia Cuma perhatian saja, Nak,” ucap Leon dengan mengusap kepala putrinya.
“Pah, aneh tau dia, masa dengan teman perhatiannya melebihi Arkan yang kekasih Thalia. Dan, Danish selalu bilang dia sayang sama Thalia melebihi teman, sedang dia tahu, kan? Kalau Thalia kekasih sepupunya?” Thalia menumpahkan semua unek-unek di hatinya, dia memang selalu terbuka dengan mamah dan papahnya soal perasaannya.
“Ya, kamu mulai sekarang bersikap biasa saja dengan Danish, tidak usah memberi perhatian lebih, atau jika Danish memberi perhatian lebih, kamu tidak usah menanggapi,” ujar Leon. “Dan satu lagi, kalau kamu sudah tidak nyaman dengan Danish setiap hari, kamu bisa berangkat sendiri ke kampus, sama sopir papah, atau papah antar kamu,” imbuh Leon.
“Papah seperti tidak tahu Bibi Monic seperti apa, kalau aku tidak dengan Danish, pasti Danish tidak masuk kuliah, dan Bibi Monic langsung menelepon aku, katanya Danish ngambek atau apalah,” ucap Thalia dengan kesal.
“Nah kok gitu?” tanya Rere.
“Gak tahu, Mah. Sudah lah itu Danish sudah ke sini, kalau gini mending Lia kuliah di Indonesia saja, kalau bertemu dengan Danish malah menyusahkan,” gerutu Thalia sambil pamit dengan papah dan mamahnya.
“Eh... mau kuliah, jangan sewot gitu, senyum dong,” ucap Rere sambil mencium pipi Thalia.
“Apa papah bilang, tidak usah kuliah di sini, di Indonesia saja banyak Universitas bagus kok,” ucap Leon.
“Sudah pah, jangan bahas ini, yang ada Lia menyesal nantinya,” ucap Thalia dengan memeluk papahnya.
Dia memang menyesal sudah memilih jauh dengan Arkan. Dia merasa, semenjak bertemu dengan Danish, dia sering uring-uringan dengan Arkan. Dia juga selalu terbebani karena Danish tidak mau jauh dari dirinya. Setiap ke mana Thalia pergi, Danish juga ikut dengannya.
“Aku tidak tau harus gimana lagi menghadapi Danish, dia membebani hidupku sekali, kalau aku menolak untuk berangkat bersama, pasti mamahnya yang telepon aku, untuk berangkat dengan Danish. Sampai kapan harus seperti ini? apa aku harus pindah ke Indonesia lagi? Tidak, impianku di sini belum terwujud.” Thalia berkata lirih sambil berjalan menuju ke teras rumahnya, karena Danish sudah menunggu di depan.
Thalia langsung mengajak Danish berangkat, tidak ada sapaan pada Danish, dan tidak ada senyum untuk Danish. Dia benar-benar kesal dengan semuanya. Kesal dengan perlakuan Danish yang seperti menginginkan Thalia, dan akan merebutnya dari Arkan.
“Lia, kenapa kamu manyun seperti itu?” tanya Danish.
“Aku lagi tidak enak badan,” jawabnya denga ketus.
“Kalau tidak enak badan tidak usah berangkat, Lia, nanti kamu sakit.” Danish berkata dengan mengusap kepala Lia dengan lembut.
“Jangan seperti ini, Dan.” Thalia menyingkirkan tangan Danish yang sedang mengusap kepalanya.
“Galak amat, Bu...,” ujar Danish dengan memandangi wajah Thalia yang sedang tidak mood dengan dirinya.
“Aku memang galak, kamu baru tahu?!” tukas Thalia.
“Sayang sekali, Arkan dapat kekasih galak seperti kamu,” ucap Danish dengan tersenyum pada Thalia.
“Arkan sudah tahu, sudah kebal dengan sikapku yang seperti ini, itu semua karena dia mencintai aku, tanpa tapi, tanpa syarat, dan cinta dia tulus untukku. Sama seperti cintaku pada Arkan, tak akan pernah terganti, dan tak pernah berganti.” Thalia berkata dengan nada ketusnya dengan Danish.
Danish hanya diam, merasakan Thalia yang sedang tidak mood dengan dirinya. Danish sadar, cinta Thalia dan Arkan begitu kuat, meski dirinya setiap hari menemani Thalia, selama satu tahun ini. Dia merasakan, dia hanya menerima sakit di hatinya, yang selalu melihat komunikasi Thalia dan Arkan baik-baik saja.
“Aku juga mencintaimu, Lia. Sayang sekali, hati kamu sudah untuk Arkan seluruhnya, tapi aku tetap berusaha, mendapatkan kamu, meski tanpa cinta untukku. Aku hanya ingin, di sisa waktuku sekarang, ada kamu yang menemaniku, meski tanpa cinta,” gumam Danish dengan menatap Thalia yang sedang asik Chat dengan Arkan.
Thalia sibuk Chat dengan Arkan. Arkan sekarang sudah berada di bengkelnya, dia baru saja pulang dari kampus. Thalia memberi kabar pada Arkan yang mau ke kampus. Ponsel Thalia berdering lagi, Arkan memanggil Thalia via Video Call. Thalia langsung mengangkatnya dan mengarahkan layar ponselnya ke wajahnya.
“Sayang, kamu sudah di bengkel?” tanya Thalia.
“Sudah dong, kamu lagi di mobil?” jawab Arkan sembari bertanya pada Thalia.
“Iya, ini baru mau berangkat,” jawab Thalia.
“Dengan Danish?” tanya Arkan.
“Iya, sayang,” jawab Thalia.
“Sayang, aku pulang ke Indonesia saja, ya? kuliah di situ saja, biar setiap hari aku berangkat bersama kamu, seperti dulu waktu sekolah,” ucap Thalia dengan sungguh-sungguh.
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu di situ ada masalah?” tanya Arkan.
Thalia hanya menggelengkan kepala dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat merindukan Arkan. Dia merasa sudah mengkhianati Arkan, karena setiap hari harus bersama Danish kalau berangkat kuliah.
“Kok nangis? Di tanya malah nangis,” ucap Arkan.
“Aku kangen,” ucap Thalia dengan manja dan berlinang air mata.
“Tuh, kan? Kamu kebiasaan, kalau sedang rindu jangan nangis, kan kamu bilang sendiri gimana kalau sedang rindu?” ujar Arkan.
“Pejamkan mata, dan berdoa, bawa nama seseorang yang kamu rindukan di dalam doamu,” ucap Thalia dan Arkan bersama.
“Itu tahu, sudah jangan nangis, ingat tujuan utama kamu ke Berlin untuk apa. Kita pasti akan bertemu lagi, Sayang. Love You,” ucap Arkan.
“Hmmm...Love you too. Aku sudah sampai kampus, kamu lanjut di bengkel, ya? dah... sayang,” ucap Thalia.
“Dah... hati-hati selalu, dan jaga hatimu.” Arkan berkata dengan menatap Thalia yang sedang mengusapn air matanya.
“Iya, itu pasti, sayang.”
Mereka menyudahi Video call nya. Thalia langsung turun menyusul Danish yang sudah turun duluan dari mobil. Danish berjalan mendahului Thalia, dia merasa sudah mengganggu hubungan Thalia dengan Arkan, dia merasa tidak akan bisa merebut hati Thalia yang begitu mencintai Arkan.
“Haruskah aku memaksamu untuk menjadi pendamping hidupku, Thalia?” ucap Danish lirih dengan berjalan menuju kelasnya.