When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Justru Ivanka yang terus menangis saat Lova ditangani oleh dokter, dokter yang melihatnya hanya bisa mengulum senyum haru. Melihat betapa seorang ibu sangat mengkhawatirkan keadaan putrinya padahal hanya mengalami luka kecil. “Ma, Lova cuma tergores, kok, jangan khawatir.” Ucap Lova kembali menenangkan, namun Ivanka menggeleng dan tangisnya justru semakin keras. Masalahnya bukan hanya sekedar tergores, namun apa yang dilakukan oleh putrinya itu sudah keterlaluan dan bagaimana Lova yang terus terluka entah fisik maupun batinnya setiap berhadapan dengannya maupun anak-anaknya membuat Ivanka merasakan beban berat dengan rasa bersalah yang menikamnya. “Maaf … Mama tidak becus mendidik putri Mama. Maaf ….” Ivanka semakin tersengal-sengal dengan helaan napas yang pendek, Lova yang mendengar