4- Belum Menerima

1885 Words
Jika kau tahu betapa menyakitkannya masa lalu, maka kau akan menjalani hidupmu dengan jauh lebih baik. Agar kelak masa lalu itu tak terulang kembali. Karena kau tahu betapa menyakitkannya hal itu, maka kau tidak mau siapapun mengalami hal yang sama. ................... Sebagai seorang single parents sekaligus single moms untuk Sabhira, Aurora bertanggung jawab penuh atas kehidupan putrinya yang mulai beranjak remaja itu. Tentu ada banyak kekhawatiran yang ibu muda itu tanggung, terutama soal masa depan putrinya. Kalau soal kecerdasan, Aurora sama sekali tidak cemas. Sabhira tumbuh menjadi gadis yang pintar dan selalu mendapat juara pertama sejak kelas satu sekolah dasar. Yang ia khawatirkan hanya cara gadis itu bergaul dengan teman-temannya. Mungkin saat bersama dokter Nathan, Sabhira terlihat sama seperti gadis lainnya—ramah dan mudah diajak bicara. Namun jika dengan anak-anak yang seumurannya, Sabhira adalah gadis yang tertutup. Aurora tahu, teman Sabhira mungkin bisa dihitung hanya dengan jari. Jarang sekali dia membawa temannya ke rumah atau berpamitan untuk main dengan teman-temannya. Mungkin teman baginya hanya sekedar untuk teman di sekolah, tapi teman dekat... sejauh ini Aurora belum menerima kenalan manapun dari putrinya. Padahal di umur Sabhira ini seharusnya dia punya banyak teman dan sering menghabiskan waktu dengan mereka. Sabhira seolah tertutup untuk dunia luar, seolah ada tembok yang membatasinya. Tanpa Aurora sadari, semua itu memang terjadi pada Sabhira. Bukan karena dia tidak tahu cara berinteraksi dan mendapatkan teman, melainkan karena jauh di dalam lubuk hatinya—dia merasa sangat iri dengan teman-temannya yang lain. Tepatnya sejak Sabhira masuk sekolah dasar, melihat teman-temannya diantar dan bahkan dijemput oleh kedua orang tua mereka atau ayah mereka... hati kecilnya menjerit. Dia ingin merasakan hal yang sama meski itu mustahil. Tentu mustahil. Ayahnya telah lama tiada, jikapun pria itu masih hidup... Sabhira tak yakin jika hidupnya akan bahagia dan damai. Yang ada ayahnya hanya akan menyiksa ibunya setiap hari. Walau begitu, sebagai anak perempuan tetap saja dia merindukan kasih sayang seorang ayah. Ayah yang sebenarnya, yang bisa menyayanginya dan menjaga dirinya serta ibunya. “ Kamu mikirin apa? Rotinya gosong tuh,” ucap Aurora yang tersenyum tipis. “ Ih! Mommy nggak bilang daritadi!” Sabhira langsung membalik roti panggangnya yang memang sudah menghitam itu. Pantas saja ada aroma tak sedap. “ Dibilang, biar mommy aja yang masak. Cuma masak roti panggang aja nggak akan bikin mommy kecapekan kok.” Aurora berkata lagi. Sabhira menggeleng tegas. “ No! Mommy fokus istirahat aja biar cepet pulih. Urusan masak sarapan begini biar jadi urusan Bhira.” Ia pun menyiapkan roti panggang yang baru dengan olesan selai strawberry kesukaan ibunya. Ia memang ingin melayani ibunya sebaik mungkin selama masa pemulihan. Seolah merasa memiliki tanggung jawab, ia tak hanya ingin ibunya selalu berusaha menjaganya... tapi ia juga ingin menjaga ibunya. Kini mereka memang hanya berdua saja, hidup saling melengkapi. Kehidupan yang terlihat sederhana dan sunyi. Namun Sabhira tetap bersyukur atas kehidupannya. Ia memang memiliki ayah yang tak punya hati nurani, tapi ibunya adalah ibu yang terbaik di dunia ini. “ Susunya juga udah. Bhira berangkat sekarang ya, Moms.” Aurora mengangguk ketika Sabhira menyalami tangannya seperti biasa. “ Oh iya.” Sabhira berhenti, lalu menatap wajah ibunya. “ Hari ini Bhira jadi petugas paskibra, doain ya biar lancar. Takut banget benderanya kebalik,” ucapnya yang tidak terdengar panik sama sekali. Justru dia terlihat sangat santai. “ Iya, mommy doain. Kamu jangan gugup ya, kan udah latihan.” Aurora berusaha menenangkan putrinya meski ia tahu jika Sabhira mampu menenangkan dirinya sendiri dengan baik. Dia tumbuh lebih dewasa daripada umurnya sendiri. Sabhira melempar senyum yang sangat manis lalu segera berlalu setelah mengambil tas dan jaketnya. Tanpa Sabhira, rumah ini jadi terasa jauh lebih sepi. Apalagi jika Aurora mulai bekerja kembali, rumah ini hanya dihuni oleh dua orang suruhannya yang tentu tidak menginap. Hanya datang setiap hari untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, mencuci, membereskan halaman dan memasak. Memasak pun tak sering karena ia dan anaknya lebih sering makan di luar atau terkadang memesan makanan dari ojek online. Namun karena selama beberapa hari ke depan Aurora tidak akan pergi bekerja guna memulihkan kondisinya, ia merasa akan jadi sering kesepian di rumah yang cukup besar ini. Hidup hanya berdua dengan putrinya memang terasa sunyi. Dahulu ayahnya—Andri masih sering main ke sini setiap sore, menemani Sabhira yang menunggu kepulangannya. Namun kini ayahnya telah tiada. Dia adalah satu-satunya pria yang berarti di dalam hidupnya, pria yang selalu berusaha mengutamakan kebahagiaannya dan kebahagiaan cucunya. Sekarang, satu-satunya pria tempat Aurora menggantungkan hidup serta kebahagiaannya sudah bahagia di atas sana. Tak ada lagi kehangatan pelukan sang ayah yang selalu membuatnya tenang di kala ia mulai lelah menjalani kehidupan ini. Tak ada lagi nasehat ayah yang selalu menguatkannya agar terus bertahan demi Sabhira. Tak ada lagi candaan ayahnya yang mampu membuatnya tertawa. “ Ayah. Lola rindu.” Aurora memeluk kedua lututnya dan menangis di sana. Betapa menyesal dirinya karena tidak bisa menemui ayahnya di saat-saat terakhir. Sampai saat ini, wajah ayahnya terus berputar di dalam pikirannya. Ia begitu merindukannya. Sangat rindu sampai rasanya menyesakkan sekali. ...................... “ Ini ibu bawain makanan. Katanya kamu nggak suka makanan rumah sakit yang rasanya hambar, kan? Jadi nggak ada alasan buat nggak makan lagi,” ucap Ines yang setiap harinya datang menjenguk anak laki-lakinya. Meski Langit selalu menyuruhnya untuk istirahat di rumah saja karena dia merasa bisa mengurus dirinya sendiri. Padahal jangankan mengurus diri sendiri, untuk ke kamar kecil pun Langit harus dibantu karena luka pada kakinya cukup berat. Tulang kaki kanannya patah dan harus melalui masa pemulihan cukup panjang. Akibat saat kecelakaan itu, kakinya sempat terjepit bagian badan mobil. Beruntung hanya patah, bukan diamputasi. “ Ibu dan ayah mertuaku... “ “ Tidak usah dipikirkan,” ucap Ines yang menyendokkan nasi ke mulut putranya itu. “ Wajar mereka kecewa karena kehilangan anak bukanlah hal yang mudah diterima bagi orang tua manapun. Apalagi Cahya adalah anak satu-satunya yang mereka miliki. Kelak, kemarahan mereka pasti akan mereda.” “ Tapi Langit jadi merasa bersalah banget. Mimpi buruk itu selalu datang, Langit nggak pernah bisa tidur dengan tenang.” Tampak sekali penyesalan di wajah Langit, menunjukkan kelelahan yang amat sangat, pertanda betapa dirinya tidak bisa lagi tidur dengan tenang pasca kepergian istri dan calon anaknya. “ Mimpi buruk itu terus datang karena kamu selalu menyalahkan dirimu sendiri. Yang terpenting, kamu belum ikhlas dengan kepergian istrimu. Kuncinya kamu harus ikhlas dan percaya jika semua itu sudah takdir dari Yang Kuasa, Nak.” “ Tapi hasil penyelidikan mengatakan jika mobil lain yang terlibat kecelakaan bersama Cahya juga ugal-ugalan. Bukankah itu artinya ini bukan hanya kecelakaan biasa? Tapi juga kelalaian,” ucap Langit dengan nada begitu menyudutkan pihak lain. Ines menghela nafas, mengerti akan kemarahan yang anaknya rasakan. Terlebih dia masih belum bisa menerima takdir yang telah terjadi. “ Jangan karena kamu merasa bersalah pada istrimu, lalu kamu dengan seenaknya menyalahkan orang lain. Memangnya kamu tahu apa yang terjadi dengan pengemudi mobil itu dan alasan lainnya?” Langit terdiam. Ia memang belum mengetahuinya, dan kasus pun telah ditutup karena memang kecelakaan ini dinilai murni. Tanpa kesengajaan apapun. Walau awalnya ia tidak terima tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Apalagi ibunya pun melarangnya memperpanjang masalah ini. Bagi ibu, semua memang sudah takdir. Kecelakaan itu terjadi begitu saja dan korbannya bukan hanya Cahya dan calon cucunya, tapi pengemudi itu sendiri. “ Setidaknya dia masih hidup, kenapa bukan dia saja yang mati dan Cahya yang hidup?” ..................... Setelah seminggu lamanya beristirahat, Aurora merasa semakin jenuh. Biasanya setiap hari ia akan sibuk di rumah sakit, memeriksa setiap pasiennya dan memantau perkembangan kehamilan mereka. Atau sekedar menerima konsultasi bagi para pasangan yang ingin melakukan program kehamilan. Melihat bagaimana para pasiennya berusaha untuk mendapatkan buah hati, membuatnya sangat tersentuh dan semangat untuk membantu mereka. Lalu ketika mereka berhasil mendapatkan kehamilan itu, rasanya kebahagiaan mereka menular padanya. Bukan berarti Aurora tak suka berada di rumah, ia tentu merasa senang karena bisa menghabiskan waktu bersama putrinya meski hanya menonton televisi bersama sambil memakan cemilan. Hanya ia rindu dengan semua kesibukannya. Baru saja hendak memesan makanan untuk makan siang, suara bel pintu rumahnya terdengar. Aurora pun berjalan menuju pintu rumahnya dan membuka pintu. “ Nathan?” Pria berambut hitam pekat itu tersenyum begitu Aurora berada di depan matanya. “ Apa kabar? Mau makan siang bareng?” “ Eh, tumben. Nggak ada jadwal emangnya?” Nathan menyugar rambutnya dengan santai. “ Aku kan juga manusia yang butuh libur, tentu saja hari ini adalah hari liburku.” Aurora tersenyum mengerti. “ Baiklah. Aku ganti baju dulu.” “ Jangan lupa mandi! Kucel banget kamu,” ledek Nathan yang membuat Aurora mencebik. “ Bercanda.” Seperti itulah persahabatan Aurora dan Nathan. Mereka berdua sudah bersahabat lama, tepatnya sejak Aurora menjadi mahasiswi kedokteran di kampus yang sama dengan Nathan. Kala itu Nathan adalah senior Aurora. Sebenarnya sudah sejak awal Nathan menyukai Aurora, jauh sebelum Aurora pada akhirnya menikah dengan kekasihnya di usia yang cukup muda. Patah hati? Jelas. Hati Nathan hancur berkeping-keping menyaksikan pernikahan wanita yang dia cintai tepat di depan matanya. Namun nyatanya pernikahan Aurora tak berjalan lancar hingga kejadian naas itu terjadi, kejadian yang hampir merenggut nyawa wanita itu. Beruntung pada akhirnya pria b******n yang sayangnya adalah suami Aurora itu meninggal saat penyergapan, jadi dia tidak akan bisa mengganggu Aurora lagi. Kenapa pria itu justru menyakiti Aurora? Wanita yang mati-matian ingin Nathan bahagiakan. Andai kesempatan itu datang padanya, tentu Nathan tidak ingin melakukan sedikitpun kesalahan apalagi sampai menyakiti Aurora. Sayangnya takdir tak berpihak padanya, juga pada cintanya yang bertepuk sebelah tangan ini. “ Sashiminya enak,” komentar Aurora ketika Nathan mengajaknya ke salah satu restoran Jepang yang seringkali mereka kunjungi bersama. Jika tidak tahu tujuan untuk tempat makan, maka restoran ini selalu menjadi tujuan mereka. Menunya beragam dan enak, jadi tidak akan bosan. Apalagi bagi pecinta sushi dan teman-temannya seperti Aurora ini. “ Biar lukamu cepat pulih, harus makan yang banyak protein,” ucap Nathan. Aurora mengangguk-angguk. “ Nggak salah kamu jadi dokterku,” ucapnya seraya tersenyum. Nathan terkekeh mendengar ucapan Aurora yang sedikit membuatnya tersipu itu. Untung saja Aurora adalah wanita yang tingkat kepekaannya rendah, jelas dia tidak akan menyadari jika ucapannya itu mampu membuat jantungnya berdegup jauh lebih cepat saat ini. “ Ya udah makan yang banyak. Nanti aku bungkusin ramen untuk Sabhira.” “ Gimana keadaan di rumah sakit? Masih aman?” tanya Aurora mengalihkan topik pembicaraan. “ Ya, seperti biasa. Membosankan,” ucap Nathan tanpa minat, membuat Aurora mendelik ke arahnya. “ Aku hampir mati kebosanan karena di rumah terus, dan kamu malah bosan di rumah sakit terus. Kita tukeran tempat aja gimana?” Nathan tertawa. “ Boleh boleh aja sih andai bisa. Aku juga pengen libur lama gitu.” “ Amit-amit. Jangan libur kalau bukan karena keperluan penting, apalagi libur karena apa yang aku alami ini.” Aurora bergidik ngeri. “ Iya sih. Lagipula lusa kamu udah kembali bekerja kok. Beneran udah pulih?” tanya Nathan untuk memastikan. Aurora mengangguk dengan semangat. “ Tentu saja! Aku udah sangat sehat sekarang. Nggak sabar mau buka praktek lagi,” ucapnya dengan senyum yang lebar. “ Kangen juga sama hot choco kantin rumah sakit.” Kalo sama aku, kangen juga nggak? Ingin sekali Nathan menanyakan hal yang konyol itu pada wanita yang duduk di depannya saat ini. Sayangnya keberanian itu lagi-lagi tenggelam dalam rasa takutnya. Ia tidak bisa melakukannya, entah sampai kapan. Tapi perasaan ini terus ada tanpa pernah sedikitpun berkurang, meski ia tahu hubungan mereka berdua hanya sekedar teman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD