4. Bertemu Orang Tua Saska

1238 Words
Ara terdiam mematung, hanya mendengar apa yang Saska katakan tubuhnya terasa kaku. Sebenarnya ia hampir kalah saat adu tatapan tajam tapi, ia tetap berusaha menatap Saska nyalang agar pria itu mengalah. Dan berhasil, sayangnya dengan ucapan Saska, ia yang kalah hingga tak sanggup bergerak. Ia menggigit bibir bawahnya kuat dan setengah menunduk. Kemudian seulas senyum remeh menghiasi bibirnya yang kissable. "Apa tak ada satu wanita pun yang sudi menikah denganmu? Hingga kau begitu tergila-gila padaku. Bukankah seharusnya ini mudah? Anggap kita tidak pernah bertemu," ucap Ara dengan menegakkan kepalanya dan kembali menatap tajam Saska. "Bukankah seharusnya kau bangga? Ribuan wanita mengantri menjadi istriku, dan aku justru menginginkanmu," jawab Saska dengan mudah. "Cih, kalau begitu lepaskan aku!" "Tidak, kecuali kau dinyatakan tidak mengandung anakku." "Apa kau sinting? Hanya dengan memperkosaku sekali tidak akan menjadikanku hamil!" teriak Ara kesal. "Kalau begitu kita lakukan lagi." Lagi, setiap ucapan yang Ara teriakkan dengan mudah Saska patahkan dengan jawabannya yang ringan. "Kau gila!" Saska mengabaikan racauan juga teriakan wanitanya. Tangannya meraih kerah kemeja Ara kemudian turun menurunkan satu kancingnya. "Apa yang kau lakukan?!" Saska hanya diam dan kembali membuka lagi kancing kedua. Ara mulai panik, ia tidak bisa melawan karena kuatnya kuncian tangan Saska. Sementara kaki Saska yang bertengger di atas pahanya seakan mengunci kakinya hingga tak bisa membuatnya meronta. Keringat dingin mulai mengucur melewati pelipisnya. Apa pria ini gila? Dan Ara semakin was-was saat Saska kian menipiskan jarak, mengecup lehernya yang baru saja bersih dari tato ciptaan Saska minggu lalu. Ia semakin meremang saat sesuatu yang basah menyentuh kulit lehernya. "Katakan, kau bersedia. Maka aku akan berhenti," tuntun Saska dengan berbisik disertai tiupan kecil di telinga Ara. "Kau gila! Psikopat! Maniak!" Lagi-lagi hanya kata-kata makian yang dapat Ara lontarkan. Dan saat suaranya hendak kembali mengudara, Saska lebih dulu memberinya ciuman panas. Ara mencoba menolak, namun justru memberikan kesempatan bagi Saska memperdalam ciuman hingga daging tak bertulang itu beradu. Saska berharap wanitanya menurut, jika tidak, ia benar-benar akan menghabisi Ara disini, dalam mobil ini. Bahkan tangannya yang leluasa, perlahan menurunkan jok hingga Ara nyaris terlentang. "Hah … hah …." Ara mengambil nafas rakus saat Saska melepas ciumannya. Sial! Ia benar-benar berhadapan dengan b******n. Hingga saat tangan Saska merambat dan menelusup ke dalam kemejanya, otak Ara tak bisa lagi berpikir jernih. "Baiklah!" teriaknya sekuat tenaga. Tangan Saska seketika berhenti. Ditatapnya Ara yang hampir menangis dalam diam. "Katakan dengan jelas," perintahnya dengan suara yang berat. Berat untuk menahan libidonya yang telah di puncak. "Terserah apa maumu! Tapi lepaskan aku," mohon Ara dengan menoleh tak berniat melihat wajah Saska yang b******n. Namun bukan hanya itu, ia tidak ingin Saska melihatnya menangis, dengan menoleh tentu air matanya akan jatuh tanpa Saska ketahui. Ia sudah pernah mengalami sakit lebih dari ini dan ia tak akan menangis lagi. Akan ia bangun dirinya menjadi sosok wanita yang kuat. Dunia ini kejam, dan ia harus lebih kuat menghadapi kejamnya dunia. Perlahan kuncian tangan Saska mengendur, ia yang sebelumnya setengah menindih Ara mulai bangkit dan duduk kembali ke jok kemudi. Ia mendesah frustasi. Wanitanya sudah mengalah dan ia juga harus, dengan menahan hasratnya. Ara mengusap air matanya dan membenarkan kembali pakaiannya. Kemudian berusaha duduk kembali dengan tenang. Saska tak bisa ia lawan dengan kekerasan, terbukti saat ia mengalah, Saska menepati ucapannya. "Jangan paksa aku menggunakan cara kasar lagi," ucap Saska kemudian kembali membenarkan posisi jok yang Ara duduki. Ara mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Katakan, apa maumu sebenarnya?" tanya Ara tanpa menoleh pada Saska. "Bukankah sudah kukatakan? Kita menikah," jawab Saska dengan jelas. "Aku tidak mau jadi janda." "Bahkan belum menikah dan kau sudah memikirkan menjadi janda," cibir Saska dengan melirik Ara lewat ekor mata. "Karena aku tidak mau menikah dengan orang yang salah. Apalagi b******n sepertimu," balas Ara dengan suaranya yang lantang. Tangannya bersedekap dengan tatapan lurus ke depan. "Kita lanjutkan nanti." Setelah mengatakan itu Saska kembali menghidupkan mesin dan perlahan mobil sport berharga milyaran itu melaju melewati jalanan kota yang ramai. Ara hanya diam, mungkin yang ia lakukan sekarang hanyalah harus diam dan menurut. Jika mobil berhenti, mungkin ia punya kesempatan kabur. Pandangannya terarah pada jalanan yang ramai juga banyaknya gedung tinggi yang menghiasi ibu kota. Tiba-tiba rasa haru merasukinya. Ia teringat almarhum ayah dan ibunya. Apa yang mereka amanatkan kini lenyap dari tangannya dan saat ia tengah berusaha mengambil kembali miliknya, ia justru bertemu masalah baru yang membuat hidupnya semakin nelangsa. Dikhianati tante dan kekasihnya, dan sekarang harus berurusan dengan psikopat yang maniak bercinta. Kenapa hidupnya senelangsa ini? Saska tetap fokus pada jalanan yang ramai. Sesekali ia melirik Ara lewat ekor matanya. Namun tak lama, karena semakin lama ia menatap Ara, semakin sulit lagi ia menahan hasratnya. Ia dapat melihat raut kesedihan yang menghiasi wajah wanitanya. Namun ada sebuah rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Mungkinkah harus ia sebut kagum? Tapi rasanya terlalu cepat. Ia dapat melihat jelas Ara berusaha mati-matian menjadi wanita yang kuat. Mungkin jika wanita lain, mereka akan menangis dan memohon, tapi Ara tidak. Memilih mengabaikan pikirannya dari Ara, Saska kembali fokus pada jalanan. Tak terasa 30 menit perjalanan dengan tak ada pembicaraan antara keduanya. Sebenarnya Saska ingin memulai pembicaraan, namun ia khawatir jika Ara kembali menjadi kucing liar dan kembali memancing libidonya. Dan disinilah mereka sekarang. Mobil itu memasuki sebuah rumah besar jauh dari keramaian kota. Ara yang baru menyadari mobil berhenti segera melihat ke luar. "Dimana ini?" tanyanya. "Rumahku," jawab Saska singkat. "Mau apa kau membawaku kesini? Bukankah kita sudah membuat kesepakatan?" Ara mulai khawatir jika Saska membawanya ke rumah untuk melanjutkan keinginannya yang tertunda. Saska segera turun dari mobil kemudian membuka pintu mobil untuk Ara. "Tidak mau!" kata Ara yang tetap duduk tak berniat turun dari mobil. "Bukankah tadi kau ingin keluar? Sekarang keluar," perintah Saska. "Tidak jika akhirnya kau akan memaksaku lagi." "Ck, tidak akan. Kecuali kau yang memintanya. Sekarang keluar." Saska membuka self belt Ara dan menuntunnya keluar dari dalam mobil. "Untuk apa membawaku ke rumahmu?" Ara berusaha menahan kakinya agar Saska berhenti menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Bertemu orang tuaku." "Apa?! Tunggu! Apa maksudmu?!" Seketika Ara benar-benar berhenti melangkah. Apa Saska benar-benar gila? "Bukankah kau bersedia? Jadi temui orang tuaku dan katakan kita akan menikah." "Tidak! Aku tidak akan menikah denganmu! Aku masih muda, banyak hal yang harus kukejar! Aku tidak mau terikat dengan pria yang tidak kukenal! Bahkan kau hanya pria b******k yang b******n," teriak Ara hingga suaranya nyaris serak. Sepertinya Saska benar-benar gila. Hanya pria tak waras yang membawa wanita tidak dikenal untuk menikah. Ara sudah hampir gila memikirkan Tante dan kekasihnya juga cara merebut kembali apa yang mereka ambil dan tak ingin benar-benar gila jika harus menikah dengan pria gila. "Apa yang kau inginkan? Uang, barang mahal? Aku bisa memberikan semua yang kau inginkan," ujar Saska tanpa melepas tautan tangannya dari tangan Ara. Sorot matanya tenang dengan ekspresi wajahnya yang datar. "Cih, sombong sekali. Aku ingin kau melepaskanku!" Entah Ara bodoh atau memang keras kepala membuatnya bodoh dengan tegap berusaha melawan Saska. "Tidak akan, kecuali kau dinyatakan tidak mengandung anakku." "Apa kau begitu terobsesi pada anak? Kalau begitu hamili saja wanita di luar sana!" Ara masih berbicara dengan nada suara tinggi. Rasanya bukan dia sama sekali, tapi ini adalah cara bertahan hidup di dunia yang kejam. Jika ia lemah, mengalah, dan meneteskan air mata, maka dunia akan semakin menginjak atau membohonginya lewat ilusi yang diciptakannya seperti apa yang tantenya lakukan. "Saska?" Keduanya menoleh saat suara lembut nan halus seorang wanita memasuki indra pendengaran keduanya. TBC ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD