"Kamu mau saya mandikan?" Suara Om Satria.
Aku menegakkan tubuh dan tersentak saat melihat Om Satria berdiri di ambang pintu. Jarum jam telah menunjukkan pukul 7 pagi, itu artinya aku tertidur di kursi roda semalaman. Aku menggeleng tegas saat lelaki berperawakan tinggi tegap dengan mata serupa elang itu berjalan mendekat.
"Eng-enggak. Aku nggak mau mandi, Om."
Ia mengernyit heran. "Kamu dari kemarin tidak mandi, sekarang tidak mau mandi lagi?"
Entah ayah pacarku ini kehilangan akal atau apa. Tentu aku ingin mandi, tapi bukan dia yang mandiin. Dia bersidekap memandangku heran.
"Kalau tidak mau mandi, saya tinggal. Saya kembali 30 menit lagi."
Aku mengangguk. Begitu derum mobilnya terdengar meninggalkan rumah, aku menghubungi sahabat karibku, Putri. Kalau minta tolong padanya untuk mandiin aku, tentu aku nggak perlu malu. Temanku datang tak lama kemudian, wajahnya terlihat kurang sehat.
"Kamu sakit?"
Dia menggeleng.
"Jangan-jangan, kamu beneran hamil." Aku memandangnya yang terlihat pucat.
"Kalau aku hamil, seenggaknya aku punya Om Redi, Nin. Dia pasti senang kalau denger aku hamil. Yang jadi masalah, kamu kenapa bisa bodoh banget?!" Ia duduk di bibir ranjang menatapku geram, berkali-kali ia menggelengkan kepala tak menyangka.
"Aku bodoh kenapa? Karena aku nikah sama Om Satria? Tenang aja, Put, begitu aku sembuh, aku bakalan nikah sama Zaki." Senyumku tersungging di bibir. Putri lagi-lagi menggelengkan kepala, mungkin ia kesal karena aku baru memberitahu pernikahanku dan Om Redi semalam.
"Itu hanya akan terjadi di dunia mimpi, Nin. Kamu gak akan pernah bisa nikah sama Zaki. Kamu sekolahnya gimana, sih? Ya ampun, ini mungkin karena tiap pelajaran fiqih kamu selalu bobok, deh!" Dia menyentak napas. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu kok marah banget ya, sama aku? Karena aku baru memberitahumu semalem? Maaf, yaa?"
"Aku bukan marah tapi aku gemas, Nin. Bisa-bisanya kamu nikah sama Om Satria. Selamat deh, atas pernikahan kamu. Tapi kamu harus inget, kamu gak bisa nikah sama Zaki sampai kapanpun."
"Kenapa gitu? Om Satria bilang, aku boleh nikah sama Zaki kalau aku udah sembuh."
"Nggak boleh anak tiri nikah sama ibu tirinya, kamu harusnya cerita dulu sama aku, bukannya langsung main nikah aja."
Mataku memanas melihat wajah sahabatku yang terlihat serius. "Kamu yakin, Put, kalau ... ibu tiri gak boleh nikah sama ...."
"Aku selalu juara umum di sekolah, ingat itu, Nin. Jadi aku menangkap pelajaran dengan baik. Dan aku gak bohong. Tapi, udah terlanjur mau gimana lagi? Lagian kamu, aku kan udah nasehatin kamu jangan zina. Eh, tetap aja!" katanya berapi-api. Nadanya yang mengentak-entak membuatku terisak lirih. Putri memelukku. Dia melepas pelukannya lalu mendorong kursi roda ke kamar mandi. Ia mengelap tubuhku tanpa mengatakan apa pun.
"Karena udah terlanjur, kamu terima aja nasib."
"Maksud kamu ... apa?"
"Kamu udah ngerti tanpa harus aku jelasin."
Selesai mandi, sahabatku ini mengambil baju di lemari gantung. Aku segera memakainya.
"Ada tamu ternyata."
Aku menoleh ke sumber suara, Om Satria berdiri di sana menenteng plastik berisi sayuran.
"Apa Om sengaja nikahin aku agar aku gak bisa nikah sama Zaki?!" tanyaku tanpa basa-basi, sungguh aku ingin menangis rasanya. Mataku memanas, semakin memanas, dan aku terisak pada akhirnya. Lelaki di ambang pintu itu melekuk senyum penuh kemenangan.
"Iya, saya memang sengaja. Saya ingin Zaki lulus kuliah, dan dia sudah dijodohkan bahkan sebelum dia lahir. Itulah kenapa saya berinisiatif menikahi kamu."
Aku menatapnya syok. Licik. Om Satria tersenyum sinis penuh kemenangan.
"Om jahat! Om jahat!" Kulempar apa pun benda yang ada di dekatku. Kotak tissu, bedak, lipstik, baju kotorku di keranjang, celana dalam, beha--
Aku membekap mulut dan mataku membulat melihat beha telah menggantung di leher Om Satria yang melebarkan mata.
"Put, ambilin."
Putri menatapku sambil cemberut. Sahabatku itu berjalan takut-takut mendekati Om Satria lalu meraih beha yang mengalung di leher lelaki itu sambil memejamkan mata. Om Satria seperti patung hidup tak bereaksi apa-apa.