Ini AIB

757 Words
Suara Meresahkan di Kamar Tamu Bab 10 : Ini AIB "Bang, jangan seperti ini! Mbak Syil istri Abang, bagaimana mungkin Abang mau menikahkan dia denganku?" ujar Riko pelan dengan tatapan ke lantai. "Dia bukan istriku lagi dan akan kuberikan kepadamu karena kamu menginginkannya, ambillah! Aku tak butuh wanita pezina seperti dia!" Kedekati Riko dan memukul wajahnya dengan sangat keras, aku sudah tak bisa menahan diri. "Agghh!!" Riko mengaduh dengan memegangi wajahnya yang membiru. Itu belum seberapa dengan rasa sakit dan hancurnya rumah tanggaku. Kuseret dia untuk duduk di sopa yang berhadapan dengan Pak Penghulu. "Syilvina, cepat duduk di samping Riko!" Kutatap tajam wanita bergamis putih itu, dia terlihat sangat cantik dengan jilbab itu namun sayang, hati dan kelakuannya tak senada dengan penampilannya yang selalu tampil menawan dengan pakaian apa saja. "Bang, kumohon ampuni dan maafkan aku!" Syilvina memohon. "Maaf, Syil, aku tidak bisa. Cepatlah duduk di samping Riko. Aku telah gagal mendidikmu menjadi istri yang baik dan sholeha, aku akan terus berdosa jika membiarkan istri dan adikku terus berzinah jadi lebih baik sekalian kalian kunikahkan saja," ujarku tegas. Syilvina masih enggan untuk duduk bersanding dengan Riko, aku jadi geram saja. Apa sih mau mereka? Sudah bagus mau kunikahkan, masih saja banyak tingkah. Kutarik dengan kasar tangan wanita itu dan mendudukannya di samping Riko. "Pak Penghulu, nikahkan mereka sekarang juga!" perintahku dengan sambil melipat tangan di d**a. "Mas Radit, mohon maaf sebelumnya. Kalau menurut pendengaran saya dari semua yang terpapar sejak tadi, jadi ... Mas Radit mau menikahkan istri dan adiknya begitu? Pernikahan ini tidak akan sah karena Mbak Syil baru saja anda talak beberapa jam yang lalu dan belum melewati masa iddah. Sebaiknya, selesaikan saja dulu perceraian ini, barulah Mbak Syil bisa menikah dengan Riko," ujar pria setengah baya yang biasa menikahkan para warga itu. "Nikah siri juga tidak bisa?" Aku menautkan alis. "Tidak bisa, Mas Radit..Lagipula, kalaupun kemudian Mbak Syil itu telah resmi bercerai dengan Mas Radit, maka ia masih harus menunggu masa iddah. Wanita bersuami yang masih berada dalam lindungan suaminya tidak halal menikah dengan orang lain. Supaya halal menikah dengan laki-laki lain, maka harus terpenuhi dua syarat, yaitu : 1. Telah lepas dari tangan suami, baik karena meninggal dunia maupun karena talak (bercerai); dan 2. Telah habis iddah (masa tunggu-pen) yang diperintahkan oleh Allah. Selama dalam masa iddah tersebut masih dalam tanggung jawab suami terdahulu." "Anggap saja aku sudah mati, jadi Syilvina tak harus menunggu masa iddah lagi," bantahku. Aku sudah tak dapat berpikir dengan jernih saat ini, di kepalaku hanya ada ambisi untuk menikahkan dua manusia terkutuk ini. "Begini Mas Radit, dalam Alquran maupun hadis serta pendapat-pendapat fuqaha telah menetapkan bahwa setiap wanita yang ditinggal suaminya (meninggal) tetap harus menjalani masa iddah (penantian) selama empat bulan sepuluh hari atau dengan melahirkan bayi serta sejumlah aturan tambahan yang mengikat bagi seorang wanita karena pertimbangan beberapa hikmah tasyri yang beragam. Di antaranya adalah untuk mengetahui apakah dalam rahim wanita tersebut menyimpan janin/s****a suami terdahulu. Hal tersebut dimaksudkan agar sang bayi jelas nasab keturunannya atau demi kemaslahatan janin dari upaya perusakan suami berikutnya. Selain itu juga sebagai pertimbangan sosiologis, yakni sebagai sikap belasungkawa atas kematian suaminya sekaligus penghormatan terhadap keluarga suami. Lalu bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suaminya tidak melakukan iddah dan langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain? Hukum janda yang menikah lagi tanpa iddah adalah tidak boleh. Meskipun wanita tersebut telah diizinkan oleh keluarga suami untuk menikah lagi sebab telah dipastikan rahimnya terbebas dari s****a suaminya yang meninggal berdasarkan pemeriksaan dokter ahli kandungan yang benar-benar representatif dan profesional." Pak Penghulu kembali menjelaskan panjang lebar, yang membuat kepalaku semakin pusing mendengarnya. "Begini Pak Penghulu, sebenarnya ini aib dan tak seharusnya diumbar tapi demi suatu hal maka akan saya paparkan. Saya tahu, mungkin permintaan saya ini memang gila karena ingin menikahkan istri sendiri dengan adik saya. Semua ini saya lakukan karena saya tak ingin mereka terus berzinah, saya akan merasa berdosa jika tak menikahkan mereka," ujarku sambil menarik napas sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan sensetif ini. "Syilvina juga sedang mengandung anak dari Riko." Sontak, ketiga tamuku itu saling pandang dan berbisik-bisik. "Hmm ... Sejak Syilvina melahirkan anak ketiga kami tiga tahun silam, saya selalu memakai pengaman saat berhubungan dengannya. Jadi, sudah sangat jelas, Syilvina memang mengandung benih Riko. Saya tahu, pernikahan mereka tidak sah di mata hukum dan agama karena keadaan ini, tapi akan sah di mata saya." Aku masih berusaha menyakinkan Pak Penghulu dan dua orang saksi ini. Untuk beberapa saat, kubiarkan tiga orang itu berdiskusi. Sedangkan Syilvina hanya terus menangis hingga sesegukan. Riko terlihat merenung, mungkin ia menyesal, tapi sesalnya sudah tiada arti. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD