Pulang dari acara lamaran, Pak Grandi dan Bu Restanti meminta Damian untuk duduk bersama semua pembahasan yang dilakukan di acara tadi adalah kebohongan. Dan mereka merasa tidak jujur pada calon besannya.
“Damian, ibu mau bicara. Duduklah sebentar.”
“Ya, Bu.”
“Ibu dengar, kau mengaku sebagai meneger di depan orangtua Amanda, bukannya kamu hanya staf biasa?”
“Benar, Bu. Tapi yang mengaku sebagai meneger bukan aku, tapi Pak Tomi.”
“Nak, ibu mendapatkan firasat yang tidak baik. Jangan sampai masalah ini menjadi boomerang setelah pernikahanmu. Jangan ada kebohongan, pergi dan jelaskan pada calon mertuamu. Bilang pada mereka tentang apa yang sebenarnya.”
“Bapak setuju. Lebih baik jujur dari awal, kami merasa sangat malu, kau tahu lebih baik terlihat miskin dari pada hidup dalam kebohongan.”
Damian terdiam. Didikan orangtua angkatnya begitu disiplin apalagi jika bersangkutan dengan kejujuran.
“Aku akan menemui Amanda untuk membicarakan ini, Ibu nggak usah khawatir," ucapnya demikian.
“Baiklah, kalau begitu kami istrahat dulu.”
Damian menghela napas , sesaat lelaki itu menengadakan wajah ke atas, hari ini sudah begitu lelah dengan rutinitasnya, sambil bersandar pada sofa, dengan lincah tangannya mengetik pesan untuk mengajak sang kekasih untuk bertemu.
“Manda, aku ingin bertemu, aku akan menunggumu di cafe, di tempat biasa. Cepatlah datang.” Send.
Tak lama, balasan dari Amanda pun masuk.
“Ada apa? Aku lagi bantu Mama beres-beres. Emang nggak bisa, ya. Kalau misalnya kita ketemunya besok aja pas di kantor.”
Damian kembali mengetik balasan.
“Kalau begitu aku akan menuju ke rumahmu sekarang, Tomi mengatakan sesuatu pada ayahmu dan itu sangat menganggu keluargaku. Aku tidak mau semua itu menjadi masalah besar nanti.”
Tak lama setelah pesan terkirim, panggilan telepon datang dari sang kekasih.
“Halo,”
“Halo, Dam, baiklah aku akan menuju ke Café sekarang. Oke. Kita bertemunya di Café.”
Belum sempat Damian bicara, Amanda telah mematikan panggilannya.
Damian bangkit lalu menaiki kuda besinya. Segera dia menuju ke Café tempat dimana mereka akan bertemu. Damian masih memakai setelan baju yang di pakai ke acara lamaran. Penampilannya membuat orang-orang yang melihatnya di jalan, berhenti untuk menatap.
Ya, pakaian dan kendaraan Damian tidak cocom sama sekali.
Jarak rumah Damian dan Amanda begitu jauh, Cafe yang di maksud jaraknya lebih dekat dengan rumah Amanda.
Tiba di Café, Amanda ternyata sudah sampai lebih awal dan memesan minuman. Wanita itu melambaikan tangan pada Damian saat pandangan mereka bertemu.
“Sayang, di sini,” ucapnya.
Damian datang dengan wajah di tekuk.
“Sebenarnya apa yang kamu katakan ke orangtua kamu? Kenapa Pak Tomi bicara seperti itu?” Damian langsung ke titik permasalahannya.
“Apasih? Ngomongnya kok gitu banget, duduk dulu." Amanda menenangkan hati Damian.
“Manda, enggak hanya orangtua aku yang melihat kebohongan ini. Tapi, seluruh temen kantor. Kamu nggak mikir harga diri aku dan keluarga aku?”
Amanda terkejut melihat raut wajah kekasihnya, Damian tidak pernah bersikap seperti itu selama kebersamaan mereka.
“Ya, karena kamu memang akan naik jabatan, Tomi udah menyampaikannya sama aku, sama temen-temen. Maka dari itu, dia ngomong seperti itu di depan orangtua aku.”
Damian masih tidak percaya.
“Sini kalau nggak percaya, aku akan telepon Tomi di depan kamu.”
"Apaan sih?"
"Ya, nggak apa-apa. Supaya kamu percaya."
Manda sedikit gugup menghadapi kekasihnya, dia tak mau Damian mundur hanya karena masalah sepele. Manda tidak mau menikah dengan lelaki lain, baginya hanya Damian yang bisa melengkapi hidupnya,
Telepon tersambung pada Tomi.
“Halo, Tom. Maaf gue nelpon lagi, gua ada di Café nih.”
Amanda mengaktifkan pengeras suara yang ada di ponselnya.
“Oh, iya ada apa?”
“Tadi, katanya lo ngomong soal Damian jadi meneger di perusahaan lo. Kenapa lo bilang gitu? Kan dia staf biasa sama kayak gue.”
“Dia emang bakal gantiin gua di posisi itu, bokap akan pensiun dan gua akan menduduki posisinya, menurut gua sih. Kinerja Damian sangat layak untuk gantiin gua. Dan ini bukan karena lo sahabat gue Nda. Tapi, emang Damian pantas mendapatkannya."
“Thank you banget, Tom. Kalau begitu. Sorry kalau gue ganggu, gue sebenarnya nggak enak sama temen-temen."
Damian melirik Manda sekilas.
"Temen-temen juga udah tau, see u ya, bye bye.” Panggilan dimatikan.
“Kamu denger kan, kamu kenapa sih, parnoan gitu. Pernikahan kita bentar lagi loh, Tomi akan bantu kita mencari gedung dan yang lainnya.”
Damian menggaruk tengkuknya, lelaki itu kembali pusing dengan biaya gedung yang pasti sangat mahal.
“Kamu milih gedung yang mana, ini atm aku, sandinya ulangtahun aku.”
Damian mengeluarkan kartu atmnya.
Amanda tersenyum dan mendorong kembali kartu itu ke arah Damian.
“Simpan saja, aku denger temen kuliah kami baru aja meresmikan gedung baru khusus untuk acara besar. Mereka tak bisa datang di acara lamaran tadi, jadi sebagai gantinya. Mereka akan memberikan diskon untuk penyewaannya.“
Damian kembali terdiam.
“Tadinya gratis, sih. Tapi, aku yakin kamu nggak bakalan mau, jadi ya sudah deh.”
“Oke, nanti hubungi aku kalau misal harga udah diputuskan.”
“Siap! Kamu nggak marah kan sama aku.”
Damian menggeleng dan tersenyum.Tampak wajah lega terpancar di muka Amanda. Wanita itu menguras isi tabungannya untuk membayar sebagian besar persiapan pernikahan mereka. Tabungan Damian tidak akan cukup, Amanda tidak mau menyulitkan lelaki itu.
**
Ke esokan harinya.
Damian menunggu di tempat biasa lalu berangkat bersama dengan Amanda. Hari ini mereka akan meminta cuti untuk persiapan pernikahan. Saat langkah memasuki kantor. Damian dikejutkan oleh surprise yang dilakukan oleh teman-temannya.
“Surprise.”
Suara terompet ditiup memekakan telinga, beberapa ornament dan bubuk kelap kelip di hamburkan ke udara.
“Siapa yang ulang tahun?” tanya Damian polos.
Semua staf yang hadir tertawa mendengarnya.
“Bukan acara ulang tahun, tapi kami merayakan atas naiknya jabatan baru Bapak Damian.”
Damian telah mengetahui itu kemarin, tapi dia masih tak menyangka. Apalagi saat dia dan kekasihnya justru akan mengambil cuti dalam jangka waktu yang lama.
“Selamat, Pak. Jangan galak-galak sama kami,” ucap teman-teman kerja Damian.
"Terimakasih." Lelaki itu menjabat tangan para stafnya
“Wah beruntung banget bu Amanda, ya. Udah calon suaminya ganteng, pekerjaannya bagus, baik hati.”
"Mulai deh, mujinya," ucap Amanda memutar bola mata.
“Uhhh,” Para staf saling menyoraki. Damian merasa malu mendengar candaan mereka.
“Selamat, Dam. Saya percayakan posisi ini pada kamu.” Tomi menjabat tangannya.
“Terimakasih, Pak. Saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan Bapak.”
"Saya yakin kamu nggak akan mengecewakan saya," ucapnya dan menatap Amanda yang bahagia dengan pipi merona.