Chapter 33 Mengabaikan

1153 Words
Rama memutuskan untuk mengembalikan ponsel putrinya, dia meminta Amanda untuk melelang semua barang koleksi milik Soya lewat sosmed. Dia ingin memberikan pelajaran pada Soya, dengan menghabiskan semua barang-barang pribadinya. “Papa yakin?” Amanda gugup. Dia tak cukup berani untuk menentang sang Mama. “Ya, papa yang akan bertanggung jawab. Kamu tenang saja.” Amanda memotret satu per satu tas branded dan memostingnya di i********:, tak lupa sepatu-sepatu yang tak ternilai harganya. Khusus sepatu-sepatu itu, Manda memostingnya di grup wa kantor. “Kita akan membersihkan semua kekacauan ini sebelum mama kamu datang.” Amanda terdiam sejenak, lalu menatap jam di dinding. “Sudah beberapa jam berlalu, tapi mama belum pulang juga, Pa. Apa semuanya akan baik-baik saja?” “Entahlah, jangan pikirkan itu. Sekarang kamu bantu papa mengemas barang-barang ini dan membawanya ke mobil. Kita akan menyelesaikan semuanya sebelum mama kamu datang.” Amanda mengangguk, dia menuruti semua perintah Rama dan menyusun barang-barang mahal itu. Tak berselang lama, notif pesannya jebol. Ting. Ting. Ting. Banyak inbox yang masuk, semuanya menanyakan harga barang-barang yang di postingnya beberapa menit yang lalu. “Pa, kita jual berapa?” tanya Amanda bingung. Rama pun tak tahu harus membangrol semua barang itu dengan harga berapa? “Kamu cek aja, barangnya harga berapa lalu jual dengan harga setengahnya, Pintar-pintar kamu aja. Papa nggak masalah.” “Tapi, Pa. Mama membelinya dengan harga mahal.” “Papa ingin membuat mama kamu jera, bukan asyik untuk berbisnis. Paham!” Amanda tidak berani lagi untuk bertanya, wanita itu memutuskan menangani semuanya sendirian. Lama berkutat dengan ponselnya, Amanda terus membalas chat yang masuk. Bahkan, di kantor Tomi saat ini tengah heboh karena berita sepatu-sepatu itu. “Pa, sepertinya kita harus jalan sekarang, beberapa orang telah dill dan meminta kita bertemu.” Rama terkejut, dia tak percaya akan secepat ini menjual barang-barang mewah milik istrinya. “Ya, sudah. Ayo.” Sementara Amanda dan Rama bersiap untuk transaksi. Damian dan Tomi pengang mendengar teriakan dari karyawan wanita yang sedang asyik berkumpul. “Aahh, sumpah demi apa. Ini sepatu nggak mampu gue beli, dan udah berapa bulan gue nabung dan stok terakhirnya tu ludes. Gila, Amanda pasang di grup dengan harga miring auto mau lah,” seru Anita salah satu staf teman akrab Amanda. “Iya, gue juga tertarik dengan heels ini, kayaknya sih, ini bukan barangnya Manda deh. Selama dia kerja bersama kita. Jarang banget gue lihat dia makai salah satu sepatu yang ada di photo ini.” “Bodoh amat, deh. Gue nggak peduli. Yang penting, barang-barang inceran gue terpenuhi.” Damian tak memiliki ponsel, lelaki itu tak tahu kabar apa yang membuat heboh seluruh ruangan. Di tempat lain, Tomi terbelalak saat melihat grup wa yang tak hentinya berdenting. Berbagai macam jenis heels dan sepatu lainnya terpampang di sana. Tomi ingin sekali segera mengkonfirmasi poto-poto itu pada Amanda, tetapi dia teringat dengan Damian. Tomi pun memutuskan untuk mengabari Damian terlebih dahulu. Ruang staf semakin heboh, Tomi memperhatikan perkembangan wa grup dengan seksama. Salah satu karyawan meminta Amanda untuk datang agar dia dapat mengambil barang yang dia inginkan. “Aneh, apa sebenarnya yang sedang Amanda lakukan?” batin Tomi. Tiba di depan ruangan Damian, Tomi dengan sopan mengetuk pintu lalu masuk ke dalam. “Selamat siang, Dam. Boleh aku masuk?” Damian menatapnya lama. “Tentu boleh, Pak. Ini kantormu.” Sikap tenang Damian membuat Tomi merasa aneh, lelaki itu melonggarkan dasi yang terasa seperti mencekik lehernya. “Ehmm, apa … kau melihat kabar terbaru hari ini? B-bagaimana menurutmu?” Damian mengerutkan kening. Bahkan dia tak sempat lagi melihat berita di tv. “Banjir sudah surut?” ucap Damian asal. Tomi menghela napas dan memutar bola mata, jengah. “Yang lain.” “Emm, angka covid semakin tinggi.” “Oh damn! Ayolah Dam, apa kau tidak membuka ponselmu? Notif wa jebol karena kelakuan Amanda.” Damian menutup berkas yang ada di hadapannya. “Aku tidak memiliki ponselku sekarang, Pak. Memangnya ada apa?” Tomi tercengang mendengarnya, dia lalu memperlihatkan grup wa yang terus terisi obrolan. “Lihat saja sendiri." Tomi menjelaskan apa yang telah dia lihat di sana. “Sepertinya Amanda sedang mengobral barang-barang bermerek hingga pegawai kantor memburunya. Sekarang dia menuju kesini, lebih tepatnya. Amanda menunggu jam pulang para pegawai kantor untuk menjajakan barang-barang tersebut.” Damian tertegun. “Apa menurutmu dia mendapatkan masalah. Lalu, barang-barang itu milik siapa?” tanya Tomi. Damian memeriksa pesan yang di kirimkan Amanda di grup itu. “Berarti dia sudah mendapatkan ponselnya kembali,” ucap lelaki itu pelan. “Kau mengatakan sesuatu?” cecar Tomi. Damian menggeleng, dia lalu menyerahkan kembali ponsel milik atasannya itu. “Tidak, emm terimakasih atas informasinya, Pak." Kata-kata yang terdengar canggung di telinga Tomi. “Kau tidak ingin menemuinya? Apa kau serius dengan janjimu pada Daniel?” Damian memilih diam dan kembali bekerja. “Pak, sekarang jam kantor bukan? Aku ingin menyelesaikan semuanya tepat waktu sebelum pulang.” Damian mengusirnya secara halus. Tomi tak habis pikir dengan kelakuan lelaki itu. “Baiklah, aku mengerti.” Tomi meninggalkan ruangan itu, tinggallah Damian terpaku di meja kerjanya. Dia tak dapat fokus. Informasi tadi, membuyarkan konsentrasinya. “Sepatu-sepatu itu, bukan miliknya. Lalu, milik siapa?” batin Damian. Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa jam pulang pun tiba. Berbeda dari biasanya, jam pulang kali ini terdengar riuh. Damian tak langsung pulang, dia menunggu semua orang pergi lalu bergerak. Tomi yang memiliki pemikiran yang sama dengannya, menegur lelaki itu saat memandang para staf dari jauh. “Kau yakin mau tetap di sini? Aku tidak yakin dia akan lama di luar sana.” Damian tersentak, dia terkejut dengan kedatangan Tomi. “Ayo keluar dan temui dia,” ucap lelaki itu lagi. Damian menggeleng. “Tidak, aku tidak ingin menemuinya. Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, dia bukan lagi istriku.” Tomi menghela napas, jengah melihat sikap Damian yang kekanak-kanakan. “Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu, jangan percaya dengan omongan Daniel. Semua itu omong kosong. Jangan menyiksa diri dengan mengabaikan Amanda.” Damian tertunduk dalam. “Maaf, aku harus pulang. Ibu pasti telah menungguku.” “Dam!” seru Tomi. Tetapi lelaki itu pergi tanpa menoleh. Dengan mengendarai mobil yang ditinggalkan Amanda untuknya. Damian meninggalkan parkiran dan mengambil arah berlawanan dengan tempat Amanda bertemu dengan karyawan lainnya. Entah bagaimana sikap asli Daniel, tetapi yang pasti. Damian tidak ingin membuat masalah dan menempatkan Amanda dalam keadaan yang sulit. Amanda sempat melihat mobil mantan suaminya itu, wajah yang ceria berharap akan bertemu dengan Damian walau hanya sebentar. Kini layu dan kecewa. “Manda, gue ambil satu, ya. Kasih diskon dong, harga persahabatan.” “Gue juga deh, lumayan nih dari pada beli yang baru.” Amanda melayani dengan ogah-ogahan. Teman-temannya tampak antusias, moodnya cepat sekali berubah membuat suasana hatinya ikut mendung. “Pa, tolong layani mereka, Manda pusing.” "Baiklah, Nak. Kamu istirahat saja." Rama pun turun tangan untuk menggantikan Amanda, lelaki itu tak segan-segan memberi harga di bawah standar. Bayangan Soya yang mengamuk terus terlintas. Tapi, Rama tidak peduli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD