Daniel menatap berang sosok yang ada di hadapannya. Siapa lagi dia jika bukan Handoko dari Arthur Company. Lelaki itu gemetar, tertunduk karena telah melakukan kesalahan.
“Pak Daniel, tolong dengarkan aku. Aku bersungguh-sungguh tidak tahu tentang salinan kerja sama itu.”
Daniel mendongak, sorot mata tajamnya tidak mengurangi ketampanannya.
“Apa ini? Untuk pertama kalinya kita bekerja sama dan kau, telah merusak citraku.”
Pak Handoko sampai berlutut di lantai.
“Ampuni aku, Pak. Tolong jangan katakan apapun pada Tuan Bisma dan Pak Arga.”
Daniel tersenyum miring. Tentu, dia tak akan mengatakan apa-apa pada papa dan pamannya. Sejauh ini, Daniel bertindak tanpa persetujuan keluarga besarnya.
“Akan aku pikirkan, sekarang aku ingin kau mengalihkan semua klien dari Tomi Corporation ke Angkasa grup. Tidak peduli bagaimana caranya.”
“S-semuanya? Ta-tapi, Pak.”
Daniel kembali menatap tajam ke arahnya.
“Aku masih memikirkan kelangsungan perusahaanmu. Itu jika kau masih ingin melihat bisnismu berkembang.”
Pak Handoko tak berani menentang keinginan Daniel. Walau usianya masih terbilang muda, Daniel selalu menepati kata-katanya. Dia sangat ahli dalam beberapa hal yang sangat ditakuti oleh penguasa lain.
“Baik, Pak. Akan saya usahakan. Saya janji.”
"Bagus."
Daniel akan menekan Tomi, sejauh ini tak ada yang berani mencari gara-gara dengan Daniel. Hanya lelaki itu dari perusahaan yang sederhana yang berani mencoreng nama baiknya.
**
Hari-hari Amanda semakin runyam setelah meeting yang dilakukan terakhir kali. Damian mendiamkannya. Dan tidak sekalipun bicara padanya.
Hingga hari ini, saat hari libur tiba dan Amanda menunggu telepon atau pesan nyasar dari mantan suaminya itu.
Berharap, Damian akan menanyakan kabar atau sekedar mengingatkannya untuk minum vitamin.
“Amanda! Amanda!” teriak nyonya Soya dari bawah.
Amanda meninggalkan kamarnya dan segera keluar menghampiri mamanya.
“Ya, Ma. Ada apa?”
Rama tidak ada di rumah, bahkan saat hari minggu tiba, dia tetap bekerja.
“Tolong temani mama ke rumah Daniel, Jeng Alina baru saja kembali dari Singapur.”
Mendengar nama Daniel, Amanda menjadi cemas.
“Tapi, Ma. Amanda lagi banyak kerjaan,” elaknya.
Soya berjalan naik ke lantai dua menuju ke kamar Amanda.
“Ma, Mama ngapain?” Amanda menyusul dari belakang.
“Mana pekerjaanmu? Kamu jangan jadi orang yang nggak tahu balas budi, ya. Mama hanya minta di temani,”
“Bukan begitu, Ma. Amanda memang banyak kerjaan.”
“Dimana? Dimana pekerjaan kamu. Pokoknya mama nggak mau tahu, kamu udah siap dalam waktu 15 menit.”
Amanda menghela napas.
Nyonya Soya keluar dengan membanting pintu.
Bamk. Keras dan kasar.
Semenjak barang-barang koleksi nyonya Soya di jual, hubungan antara ibu dan anak itu tak lagi harmonis. Soya menyalahkan Amanda karena tak menahan kegilaan Rama. Bahkan Amanda tak meminta maaf padanya.
Lima belas menit kemudian. Amanda keluar dengan memakai pakaian santai.
“Apa-apaan kamu? Ganti pakaian itu sekarang.”
“Apasih, Ma. Mama hanya ingin berkunjung kan. Baju Manda sopan kok.”
“Ganti mama bilang, kamu tahu persis keinginan mama. Pilih pakaianmu sendiri atau mama akan memaksamu memakai gaun!”
Amanda bergidik, dia kembali ke kamar dengan wajah cemberut. Ya, keahlian mamanya adalah memaksakan kehendak. Selesai dengan baju pilihannya, dia kembali ke hadapan mamanya tanpa bicara. Nyonya Soya menyukai penampilan Amanda. Tetap cantik dan stylis.
“Gitu dong. Lagian kamu itu aneh. Punya baju-baju bagus selalu saja pakai pakaian biasa. Ketularan sama Damian yang miskin, sih. Makanya kamu begitu.”
Amanda tak berani menjawab.
“Ya udah, ayo. Keburu malam dan papa kamu pulang.”
Mereka menuju ke kediaman Daniel Argantara. Sepanjang jalan. Soya terus menasehati Amanda untuk bersikap manis jika sampai di tujuan.
“Awas aja kalau kamu sampai malu-maluin mama. Denger kan?”
“Iya, Ma.” Amanda memikirkan respon Daniel jika bertemu dengannya nanti.
Jika Daniel menceritakan soal kejadian kemarin maka habislah dia. Mamanya tentu akan menghukumnya karena berlaku kurang ajar pada Daniel.
Dua puluh menit kemudian.
Mereka tiba di perumahan elit, rumah bak istana milik orangtua Daniel.
Ini kunjungan pertama Amanda. Wanita itu tampak takjub melihat bangunan rumah nan elegan mengikuti gaya eropa.
Mobil Daniel terlihat di garasi membuat Amanda meringis.
“Ma, apa nggak sebaiknya Manda tunggu di sini saja?” ucapnya hati-hati.
“Maksud kamu, apa? Mama mengajak kamu ke sini supaya ada temennya. Jangan berulah, ya. Mama nggak suka.”
"Tapi, Ma."
"Kamu lihat rumah ini, megah bukan. Sampai kapanpun kamu bekerja, kamu nggak akan bisa buat rumah sehebat ini."
Akhirnya Amanda pasrah dan ikut masuk ke dalam. Berpura-pura tuli adalah jalan terbaik baginya.
Kedatangan mereka langsung di sambut oleh pelayan rumah.
“Maaf, anda cari siapa?”
Nyonya Soya tersenyum ramah. Dia bahkan belum memencet bel.
“Jeng Alina ada? Saya temennya. Saya sudah kabari tadi jika akan datang berkunjung.”
Pelayan itu, bukan pelayan yang biasanya. Dia menatap Amanda dan Soya bergantian lalu memintanya masuk.
“Silahkan ikuti saya.”
Soya tersenyum dan menggandeng Amanda di sampingnya.
“Terimakasih.”
Di ruang tengah, Daniel sedang berbaring di pangkuan ibunya. Mereka sedang berbincang-bincang saat Amanda dan Soya tiba.
“Nyonya, ada yang mau bertemu. Katanya temen Nyonya.”
Alina dan Daniel mendongak. Mereka tampak antusias dan menyambut dengan ramah.
“Hay, lama nggak bertemu.”
Alina dan Soya saling berpelukan.
"Iya, karena kamu nggak pulang-pulang."
Keduanya teman akrab ketika muda dulu. Sedangkan Amanda dan Daniel tampak canggung menatap satu sama lain.
“Seneng deh, kamu udah kembali.”
“Iya, sorry ya. Karena nggak sempet menghadiri pernikahan putri kamu.”
Soya menekan tangan Alina dan cemberut.
“Udah ah, nggak usah di bahas, Amanda dan lelaki itu sudah bercerai.”
Alina sontak saja terkejut mendengarnya.
“Apa?"
Amanda terhenyak melihat ekspresi wanita itu. Seolah dia mengatakan tanda tanya besar tapi enggan di utarakan.
"Ehm, Ma."
Daniel mengenalkan Amanda. Mamanya memang belum pernah bertemu dengan Amanda sebelumnya karena menetap di luar negeri.
“Ma, ini yang namanya Amanda.”
Alina menatapnya dari kaki sampai ujung rambut.
“Jeng, syukurlah kamu nggak datang waktu itu. Mantan suaminya Amanda itu bukan dari kalangan kita. Keluarga kami kayak di tipu. Pokoknya, nggak banget deh."
“Ma,” ucap Amanda tak suka.
“Apasih, memang benar kan. Dia menghalalkan segala cara untuk menikahi kamu.”
Alina- mama Daniel hanya termenung.
“Jeng, nggak usah bahas itu lagi. Lebih baik kita ngomongin tentang berapa lama kamu di Indonesia.”
Tatapan Alina menganggu Amanda, apalagi saat mama Daniel itu menatap perut yang mulai kentara.
“Ma, Amanda keluar sebentar.”
Soya bahkan mengabaikan putrinya, apa yang lebih menyakitkan selain di hancurkan oleh keluargamu sendiri.
Tak mendapatkan respon, Amanda oun berjalan keluar.
“Hey, Amanda.” Daniel mengejarnya.
“Dani!” panggil Alina.
“Sebentar, Ma.” Lelaki itu melesat pergi dari sana.
“Jeng biarkan saja, mereka bukan anak-anak lagi kan.”
Wajah mama Daniel tampak merenggut. Sedang Soya tampak begitu bahagia.
Amanda keluar menuju taman yang dilaluinya saat masuk tadi. Wanita itu duduk di sebuah bangku dan berusaha menahan linangan airmatanya. Sesak, tentu saja. Hatinya sangat terluka.
“Hey, boleh aku duduk,” ucap Daniel dan berdiri menunggu jawabannya.
Amanda memastikan tak ada airmata di wajahnya. Dia tak ingin tampak lemah.
“Silahkan.”
Mereka terdiam cukup lama, Daniel tampak canggung begitupun dengan Amanda.
“Kenapa kau mengikuti aku?” cecar Amanda tak suka.
“Siapa? Aku!” Daniel menunjuk dirinya sendiri.
Amanda mengangguk dan menatapnya.
“Aku tidak mengikutimu, aku tadi memanggilmu tapi kau tidak menoleh.”
“Ha, itu sama saja.”
Daniel terus menatap wajah cantik pujaan hatinya itu.
“Apa kau sedih?”
Amanda menggeleng, dia tak mau mengakui.
“Syukurlah jika kau baik-baik saja, kau tahu. Terkadang apa yang terdengar kasar belum tentu jahat.”
“Apa maksudmu?”
Daniel membahas kembali kontrak dengan Arthur Company.
“Aku tidak tahu, apa kau percaya padaku atau tidak. Tapi, soal Pak Handoko, … .”
“Aku tidak mau membahasnya. Masalahnya sudah selesai bukan?”
Daniel mengangguk.
“Ya, kau benar.”
“Aku minta maaf jika kau tersinggung, Daniel. Tapi, aku bekerja di perusahaan Tomi. Aku di sana karena mewakili timku untuk meeting. Aku tak membahas apapun yang kau tuduhkan. Bahkan aku sendiri kaget saat Tomi mengatakan soal hutang itu!" ungkapnya penuh emosi.
Daniel tersenyum kecut.
“It’s okey. Nggak masalah. Aku mengerti."
"Tapi, kau meninggalkanku di parkiran. Tatapanmu seolah membenciku."
Daniel diam sejenak, ya, waktu itu dia terbawa emosi.
“Kau tidak percaya padaku kan?” ucap Amanda menuntut jawaban.
Tatapan keduanya bertemu. Amanda yang risih lalu membuang pandangannya lebih dulu.
“Aku sangat percaya padamu. Sebaliknya apa kau percaya aku merebut klien kalian?”
Amanda gugup, dia memainkan bibirnya dan mengiggitnya. Hal itu mencuri perhatian Daniel.
Lelaki itu memberanikan diri mengenggam tangannya.
“Apa yang kau lakukan?” Amanda terkejut dan menarik tangannya lalu menyilangkannya di depan d**a.
Seolah meneriakkan dalam hati. 'Jangan menyentuhku!'
Daniel terkesiap melihatnya.
“Lihat, siapa yang tidak percaya pada siapa? Kaulah orangnya.”