Di tengah kebahagiaan Damian dan Amanda, mereka lupa waspada dengan orang-orang di sekitar. Soya meminta orang memata-matai mereka, hal yang sangat mudah untuk mengetahui siapa Damian sebenarnya.
“Lapor, Boss. Kami telah selesai melaksanakan tugas dengan baik.” Dua orang lelaki dengan tampang sangar berdiri di depan nyonya Soya.
“Cepat sekali, jangan sampai kalian mengerjakannya dengan asal-asalan.”
Kedua lelaki itu tersenyum licik. Mereka adalah orang-orang berpengalaman.
“Jangan meremehkan kami, Boss. Kami telah ahli dalam bidang ini. Lihat, ini Foto yang berhasil kami ambil dan beberapa rekaman untuk menguatkan laporan kami.”
Soya menerima bukti-bukti itu. Beberapa foto di ambil di rumah kedua orangtua Damian dan sisanya di area perumahan.
“Mereka baru saja pindah menempati rumah baru di dekat area perkantoran. Semua orang berkumpul di sana termasuk kedua orangtua lelaki itu.”
Nyess, ada yang nyeri di hati Soya mengetahui itu. Amanda seolah menjelma menjadi orang yang tidak dia kenali. Jika sebelum menikah putrinya selalu mengabari, berbeda dengan sekarang. Putrinya bahkan tidak menelpon jika bukan dia yang menghubungi lebih dulu.
Soya memeriksa satu per satu biodata Damian, wajah wanita itu mendadak berubah saat melihat bahwa Bu Restanti dan Pak Grandi ternyata hanya orang biasa. Bukan seorang pengusaha, seperti dugaannya, lutut wanita itu lemas seketika.
“Tidak, apa kalian yakin dengan informasi ini?”
“Iya, Bos. Kami sudah menkomfirmasi hal itu pada tetangga-tetangga beliau.”
Soya menyerahkan sebuah amplop berisi uang untuk orang suruhannya tadi.
“Baiklah, kalian boleh pergi.”
“Thank you, Boss. Kalau ada pekerjaan lagi, sering-sering saja hubungi kami.”
Kedua lelaki itu pergi setelah mendapatkan tatapan tajam dari nyonya Soya.
Rama- papa Amanda baru saja pulang dan berpapasan dengan kedua orang suruhan tadi.
“Ma, mereka siapa?” Rama menghampiri dengan wajah kesal. Sedangkan istrinya hanya mengabaikan.
“Mama jangan sembarangan masukin orang ke dalam rumah, Ma. Bisa bahaya tahu nggak, Mama jangan menganggap sepele orang-orang berpenampilan seperti itu. Kalau udah kejadian aja baru menyesal.”
“Pa, bisa diem nggak. Lagian nggak ada yang bisa dicuri dari rumah ini, nggak ada harta, nggak ada apapun. Mereka datang untuk mengambil upah dari pekerjaan mereka.”
Rama melotot mendengarnya.
“Mama ngeluarin uang lagi tanpa persetujuan Papa?”
“Pa, itu uang mama juga kan? Suka-suka mama dong, jangan sok memiliki uang yang tidak seberapa itu!”
Rama menghela napas panjang, sampai kapan pun istrinya tidak akan mau mengalah, tidak mau mengerti meski mereka dalam keadaan susah sekalipun.
“Mereka itu udah menyelidiki siapa Damian, Papa lihat kita udah ditipu. Ini nggak bisa dibiarin.”
“Maksud Mama apa?”
Soya menyerahkan amplop berisi bukti-bukti itu. Rama memeriksanya dengan teliti lalu berakhir dengan tatapan kosong.
“Pa, kita harus melakukan sesuatu. Para penagih hutang itu akan segera datang secepatnya. Hanya Amanda satu-satunya yang bisa menolong kita.”
Rama menatap istrinya yang panik.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
Tanpa pikir panjang, Soya mengungkapkan keinginannya.
“Pisahkan mereka, masih banyak lelaki kaya yang menuggu Amanda.”
Rama tentu saja terkejut mendengar keinginan sang istri.
“Giila kamu, Ma. Damian dan Manda baik-baik saja, mereka sedang menikmati masa bulan madu mereka. Kenapa Mama selalu melibatkan Amanda dalam urusan Mama.”
“Karena Papa nggak bisa di andalkan! Emangnya selama ini Papa pernah ngasih uang ke Mama? Jangankan uang untuk beli barang-barang kesukaan Mama, buat belanja aja tuh, Papa nggak ada.”
“Ma!” Rama tersulut emosi.
“Emang bener ‘kan? Papa asal tahu aja ya, Papa harusnya bersyukur karena Mama nggak ninggalin Papa, nggak pernah menuntut Papa lebih.”
Rama kehilangan harga dirinya.
“Lalu, itu sebabnya kau mau menyiksa putrimu! Kaulah yang berjudi, kau pula yang asyik mengoleksi barang tak berguna. Lalu kenapa Amanda yang harus menanggungnya. Jual saja tas-tas itu jika memang berharga.”
“Pa! Mereka akan bilang jika kau tidak mampu menapkahi aku.”
“Aku tidak peduli!”
Rama meninggalkan tempat itu, dia menuju ke kamarnya tanpa menoleh sekalipun, ini adalah kali pertama seorang Rama marah pada istrinya.
“Dasar lelaki tidak berguna!”
Bahkan makian Soya masih terdengar jelas di telinga.
**
Amanda dan Damian tak hentinya tersenyum melihat rumah baru mereka, Bu Restanti dan Pak Grandi menginap di sana untuk merayakan keberhasilan putranya membeli rumah baru.
“Kau hebat, Nak. Ayah tidak menyangka kau bisa menabung untuk membeli rumah di kawasan ini.”
“Iya, Yah. Aku menyicilnya setelah di tetapkan menjadi karyawan tetap. Syukurlah bisa di lunasi secepatnya.”
Dua lelaki itu saling berbincang fi depan televisi.
Manda dan ibu mertuanya sibuk menyiapkan makan malam. Mereka telah bekerja keras seharian, dan waktunya makan-makan.
“Ayo, semuanya makan malam dulu,” ucap Bu Restanti.
Damian dan ayahnya pun berpindah ke meja makan.
Makanan lezat telah terhidang di atas meja, ada gulai, sop ikan dan juga ayam goreng.
“Wah, makan malam kali ini sangat special. Sup kepala ikannya begitu menggoda,” Pak Grandi memuji istrinya.
“Ya, begitulah Ayahmu. Dia selalu memuji makanan apa saja yang di sajikan di atas meja. Bahkan walau hanya gorengan sekalipun.”
Manda tersenyum mendengarnya.
“Itu karena gorengan buatan ibu kalian sangat lezat, ayah sampai harus pulang ke rumah hanya untuk mencicipinya.”
Obrolan santai di meja makan membuat suasana menjadi hangat.
“Ayah benar, masakan ibu memang juara. Nanti istriku akan belajar banyak untuk mengenyangkan suaminya ini,” ucap Damian.
Bu Restanti tersenyum, suami dan putranya selalu kompak untuk memujinya.
“Sudahlah, mari makan. Manda, duduklah di samping ibu, Nak.”
Manda mengangguk dan menarik kursi tepat di samping ibu mertuanya.
“Kita belum pernah saling mengobrol, ibu tidak tahu makanan kesukaan Nak Amanda seperti apa.”
Manda mendapatkan perhatian khusus dari ibunda Damian. Wanita itu sangat cantik dan ibu mertuanya tak bosan untuk memandang.
“Aku menyukai semua makanan, Bu. Aku hanya menghindari sayur pare, itu karena rasanya pahit.”
Pak Grandi tertawa mendengarnya.
“Kau harus coba sayur pare buatan ibumu, rasanya tidak pahit sama sekali.”
“Benarkah?” ucap Manda tak percaya.
“Iya, sayur buatan ibu bahkan sangat enak. Kau akan ketagihan memakannya nanti," timpal Damian.
Di tengah perbincangan mereka, suara bel terdengar nyaring dari luar. Mereka saling menatap, rumah itu baru di tempati bagaimana mungkin ada tamu yang datang berkunjung.
“Ibu dan ayah apa sedang menunggu seseorang?” tanya Damian.
Pak Grandi menggeleng.
“Tidak, Ayah bahkan tidak menceritakan pada siapapun jika kalian sudah memiliki hunian sendiri.”
“Lalu siapa yang datang bertamu malam-malam seperti ini?”
“Biar ibu yang buka,” ucap Bu Restanti meninggalkan kursinya.
Damian mendapatkan firasat aneh, dia pun segera menyusul ibunya keluar. Suara bel terus berbunyi, dan pintu di buka dari dalam.
Klik.
Nyonya Soya berdiri tepat di depan pintu.
“Mama, silahkan masuk, Ma.” Damian akan menyalami wanita itu tapi tangannya di hempaskan begitu saja.
“Aku datang untuk membawa Amanda kembali,” ucapnya dingin.
Tanpa curiga, Damian segera masuk memanggil istrinya.
“Jeng, ayo duduk dulu. Kebetulan kami akan makan malam bersama, mari makan dulu,” Ibunda Damian begitu ramah mengajak besannya masuk.
“Tidak perlu, sudah kukatakan aku datang untuk menemui Manda,” ucap Nyonya Soya kasar.
Amanda dan yang lainnya segera keluar menghampiri mereka.
“Mama, Mama kok tahu Manda di sini. Ayo duduk dulu, Ma.”
“Tidak perlu, Mama datang untuk menjemputmu.”
Manda tak pernah melihat wajah marah seperti itu sebelumnya.
“Ada apa, sebaiknya bicarakan dulu. Nanti Damian dan Amanda akan menginap di rumah Mama.”
“Nggak perlu! Saya mengharamkan rumah saya di masuki olehmu,”
Keluarga Damian terkejut mendengarnya.
“Maksud ibu, apa?” Kali ini Pak Grandi pun ikut angkat bicara.
“Dengar, kalian telah membohongi keluarga saya. Beraninya kalian. Hari ini teman kantor Amanda datang ke rumah mengantarkan berkas yang belum selesai di kerjakan. Mama syok mengetahui lelaki ini hanya orang biasa yang memiliki jabatan penting di perusahaan.”
“Lalu apa masalahnya, Ma? Damian memiliki rumah dan kendaraan, Manda nggak kekurangan sama sekali, Manda sehat dan sangat senang mendapatkan mereka sebagai keluarga Manda.”
“Diam kamu, Manda kamu sangat tahu maksud mama apa? Kamu nggak boleh tinggal sama Damian,"
Amanda bersembunyi di balik punggung suaminya. Wanita itu ketakutan, takut akan dipisahkan oleh lelaki yang di cintainya.
"Ma, jangan seperti ini. Aku janji akan membahagiakan Amanda. Aku janji sama Mama apapun yang akan di minta oleh Amanda aku akan mengisahkannya." Damian memohon pada ibu mertuanya.
"Diam kamu! apa yang kamu miliki hingga bisa bahagiakan anak saya! Nggak ada! Hari ini juga, saya minta kamu talak anak saya.”
“Astagfirullah,” ucap semua orang yang ada di sana. Damian terkejut luar biasa, pernikahan mereka baru berjalan beberapa minggu. Tidak ada angin tidak ada hujan, badai tiba-tiba datang menghancurkan pondasi yang baru di bangunnya.
"Ma, jangan seperti ini aku mohon." Amanda berlutut memeluk kaki mamanya.
"Kamu udah bohongin Mama, ini adalah resikonya. Dan keluarga Damia ini hanya orang biasa dari kalangan bawah! Mereka tidak pantas menjadi besan Mama."
Bu Restanti hanya bisa menutup mulutnya.
"Manda istri aku, Ma. Dia tidak akan kemana-mana tanpa izin dariku," Damian memilih tegas.
Soya merasa sangat tertantang.
"Lalu, jika saya membawanya kamu mau apa? Dengar Damian jangan buat saya mengambil tindakan untuk melaporkan kejahatan kalian pada polisi. Kamu mau orangtua kamu masuk ke penjara! Bisa bayar berapa kamu untuk menyewa pengacara?"
"Orang miskin jangan belagu! Aku akan membawa Amanda, anakku tidak oantas hidup bersama kalian!"
Manda di tarik paksa, wanita itu menangis membuat hati Damian terluka.
"Ma tolong jangan lakukan ini!" ucap lelaki itu memegang tangan istrinya.
Amanda berpegang kuat, mereka berusaha bertahan tapi nyonya Soya tidak menyerah.
"Aku bukan mamamu, Damian! Tinggalkan putriku baik-baik maka aku tidak akan menuntutmu."
Amanda menatap kedua mertuanya, wajah ibu Restanti tampak terluka tidak merelakan kepergian sang menantu.
Damian memeluk istrinya erat, dia tak ingin berpisah.
"Mama bunuh saja aku, Ma. Memisahkan kami tidak akan menyelesaikan masalah."
Amanda mencium pipi suaminya.
"Dam, aku akan membujuk mama. Kita akan bertemu lagi di kantor, biarkan aku pergi, jangan sampai mama benar-benar akan melaporkan ibu dan ayah," bisik Amanda.
Danian terpaku di tempatnya.
"Ayo pergi Manda!"
Damian hanya bisa merelakan, hatinya terluka dan dia melampiaskannya pada tembok. Satu pukulan meremukkan jari-jarinya.
"Dam!" teriak Bu Restanti.
Amanda menoleh melihat kepalan tangan Damia yang terluka. Semua ini adalah kesalahannya.