Tomi dan Damian kini berada di atas atap gedung perkantoran, alih-alih membawa Damian ke Café atau ke tempat hiburan, Tomi malah membawanya ke kantor.
“Untuk apa kita kesini?” tanya lelaki itu bingung.
Tomi meraih kursi, yang telah tersedia di sana.
“Duduklah, aku tahu hari ini begitu berat untukmu.”
Damian menurut dan duduk di sana. Tomi menghela napas. Masalahnya tak lagi mudah karena Damian dengan sangat terpaksa haru menjauhi Amanda.
“Apa kau membenci Amanda?” tanya Tomi dan melempar pandangan pada gedung pencakar langit di depan sana.
Damian termangu, tidak langsung menjawabnya.
“Apa yang terdengar, dan terlihat kadang tidak menampilkan apa yang sebenarnya. Hubungan kalian secara hukum telah berakhir, tapi hubungan yang sebenarnya baru saja di mulai.”
Damian menoleh, Tomi tampak begitu bijak. Lelaki itu tidak hanya sebagai atasan melainkan seperti seorang teman. Teman yang tak pernah di miliki Damian seumur hidupnya.
“Kau mengetahui sesuatu? Amanda bersikap tak seperti seharusnya. Dia telah sepakat akan berjuang bersamaku.”
“Kau hanya perlu percaya padanya, Dam. Jika kedepannya keadaan semakin tak masuk akal, kau hanya perlu menerima.”
Damian tersentak, Tomi seolah memberinya sebuah petunjuk.
“Apa yang dia katakana padamu? Aku tahu kalian bicara banyak sebelum aku datang,” ucap Damian bangkit dari kursinya.
Tomi mengeluarkan bungkusan yang di dapatkannya dari Amanda.
“Ini, alasan hancurnya pernikahanmu hari ini karena benda ini.”
Tatapan tegas Tomi membuat Damian mematung, perlahan dia menggapai bungkusan itu.
“Apa ini?”
Tomi menceritakan segalanya tanpa ada yang di tutup-tutupi. Damian shock, lelaki itu tertegun tak percaya.
“Dia hanya berusaha mempertahankan bayi kalian, tolong jangan membencinya.”
Tangis Damian luruh, di genggamnya bungkusan itu kuat. Hatinya sangat sakit mengetahui ini.
“Ini keterlaluan, dia menggunakan bayi kami untuk menekan Amanda.” Tubuh kekar itu ambruk, dia tak kuat lagi.
Rasa sakit di bagian kepala, menyerang Damian tiba-tiba.
“Aku tahu ini sulit, Dam. Tapi cobalah untuk bertahan.”
Di dalam pikiran lelaki itu, dia hanya memikirkan mental Amanda saat ini.
“Amanda memintaku untuk menjagamu, dia sangat mengkhawatirkanmu.”
“Lalu, bagaimana dengannya? Siapa yang menjaganya, bagaimana dia bisa memutuskan untuk menanggung semua ini sendirian?”
“Dia wanita yang kuat, aku hanya memikirkan hal yang lain sekarang.”
“Apa itu?”
Tomi menghela napas panjang.
“Aku takut, firasatmu benar soal Daniel.”
“Dia lelaki terhormat, apa mungkin akan berpikir menikahi wanita yang sedang hamil?”
Tomi tersenyum miring.
“Dengar, jika wanita itu adalah Amanda. Tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi. Sungguh kau sangat beruntung karena dia memilihmu. Karena saat jaman kuliah dulu, banyak lelaki yang ingin mempersuntingnya.”
“Dan kau menjaganya dengan baik, aku tahu kau mencintainya.”
Kini Tomi yang tertegun, lelaki itu sampai kehilangan kata-kata.
“Aku tahu kau mencintainya, jabatan ini. Liburan itu sampai persiapa lamaran kau lakukan demi menjaga perasaan Amanda. Kau ini lelaki terbuat dari apa? Bagaimana bisa kau merelakan wanita yang kau jaga mati-matian demi lelaki lain?”
Tomi berdehem, menghilangkan rasa gugup karena ketahuan.
“Aku benar bukan? Kau menyembunyikan perasaanmu dalam ikatan persahabatan.”
“Itu tidak penting, aku tidak melakukan semua itu karena aku mengalah.”
“Lalu?” Damian menatapnya lekat.
“Karena aku sadar, tidak ada lelaki yang lebih pantas mendampinginya selain dirimu.”
“Puitis sekali,” ucap Damian menertawakan dirinya sendiri.
“Aku sangat mengenalnya, ada moment dimana Amanda tak dapat di bujuk. Dia akan kekeh dengan keputusannya. Tapi, berbeda denganmu. Dia bisa mengalah, dia memilih menjadi sederhana dan tidak banyak menuntut. Bagiku itu cinta, Dam.”
Damian terpaku, menyeka sisa-sisa airmata yang membasahi wajahnya.
“Dia akan menjadi wanita yang hebat demi calon bayi kalian, jika kau ingin mendukungnya. Maka hiduplah dengan baik,”
Damian tak dapat menerima semuanya, begitu saja. Dia masih tak puas dengan hasil dari perjuangannya.
“Aku ingin menemui lelaki itu, jika dia seorang lelaki sejati. Dia mungkin akan mendengarkan aku.”
Damian berjalan menuju ke pintu, Tomi yang menyadari keinginan lelaki itu segera mencegatnya.
“Urungkan niatmu jika kau dan keluargamu ingin hidup tenang, jangan buat pengorbanan Amanda berakhir sia-sia.”
“Acchh!” teriakan frustasi keluar dari mulut Damian.
“Sebagai kawan, aku merasa perlu mengatakan ini. Daniel Argantara adalah cucu dari Bramantyo Angkasa, pengusaha besar yang menguasai pertumbuhan bisnis di negeri ini. Kau bahkan tidak ada apa-apanya di bandingkan dirinya. Jadi mengertilah dan mundur.”
Tomi meninggalkan Damian sendirian. Sadar jika lelaki itu butuh waktu untuk berpikir.
**
Setibanya di rumah, Amanda langsung ke kamar dan mengunci pintunya. Wanita itu mengurung diri meratapi perbuatannya. Rama sangat khawatir, dengan sabar dia mengetuk pintu dan memanggil putrinya.
“Manda sayang, apa kau baik-baik saja?”
Tangis Amanda pecah di bawah selimut, segala kepedihannya di lampiaskan di sana.
“Manda, biarkan papa masuk, Nak.”
Soya jengah mendengar betapa dramatisnya penghuni rumah saat ini. Dia lalu mendekati suaminya, yang terus berteriak membuat kepalanya pusing.
“Pa, bisa diam nggak? Dia tu kecapean, butuh istrahat. Jika kamu berteriak terus dia nggak akan bisa tenang. Emang papa nggak punya pekerjaan lain, apa, ha!?”
Rama menjauh dari pintu kamar putrinya.
“Dia sedang hamil, Ma. Papa takut Manda kenapa-napa.”
“Alah, nggak usah lebay. Dia di dalam kamar, nggak akan ada yang berbahaya. Kalaupun terjadi sesuatu yang tidak kamu inginkan. Itu artinya Tuhan memberkati kita.”
Amanda mendengar semuanya, tak ada belas kasih sedikitpun dari sang mama untuk dirinya dan calon bayi yang ada di rahimnya.
“Udah deh, mama mau istrahat. Nanti malam kita akan kedatangan tamu. Jadi, papa sebaiknya bersiap-siap.”
Amanda tersentak, dia terkejut mendengar berita itu.
“Ma, apa maksudmu? Manda baru aja bercerai.”
“Lalu kenapa? Sampai kapan kita harus menunggunya selesai berduka, untuk apa menangisi lelaki miskin itu, dia tak meninggalkan apapun selain benih sialan yang menyusahkan keluarga kita.”
“Ma!”
“Persetan dengan kalian, aku mau tidur.” Soya meninggalkannya begitu saja.
Amanda sangat frustasi, ditatapnya foto Damian yang terpajang di atas nakas. Semua ini tak mudah baginya, mencintai sepenuh hati, lalu di paksa memutuskan hubungan, Dan dengan mudahnya. Mamanya telah menyiapkan perjodohan dengan lelaki asing yang belum dia ketahui siapa orangnya.
“Apa aku bisa melalui ini, Tuhan? Kenapa dunia terlalu kejam untukku dan calon bayiku.”
Puas mengadu dalam rintihannya, Manda jatuh terlelap dan melewatkan makan siang. Wanita itu bangun saat waktu beranjak gelap.
Kini jam 05:37
Manda begitu lelah hingga badannya terasa berat. Tenggorokannya kering karena menangis terlalu lama. Di raihnya gelas yang ada di samping tempat tidurnya.
Kosong.
Manda sangat lemah bahkan untuk beranjak dari tempat tidurpun terasa sulit.
“Bi, Bibi!” panggilnya.
Tak seorang pun datang memenuhi panggilannya.
“Kemana mereka? Apa tidak ada yang mendengar suaraku?”
Perlahan Amanda meninggalkan tempat tidur, wanita itu bangun dan berjalan memutar kunci yang menancap di bawah kenop pintu.
Klik.
Manda menuruni tangga perlahan, kepalanya terasa berat dan pusing.
“Bi, Bibi!”
Wanita itu terjatuh sebelum mencapai anak tangga terakhir.
Bugg.