Amanda tidak bisa tinggal lebih lama lagi di hotel, teleponnya tak berhenti berdering. Soya menginginkannya kembali hari itu juga. Damian tersenyum melihat reaksi Amanda yang cemberut karena hal itu.
"Ish, mama kenapa sih, kalau nyuruh sesuatu tuh udah pasti harus langsung dilakuin."
"Hush, biarin aja. Namanya juga orangtua, Ibu dan Ayah sebenarnya juga sama. Mereka menginginkan kita segera kembali tapi mereka mementingkan perasaan mamamu."
"Maaf ya, Dam." Amanda merasa bersalah karena tak dapat menemui orangtua Damian lebih dulu.
"Tidak apa-apa, kita bisa minta ke mama Soya nanti agar di beri izin menginap di rumah ibu."
Amanda setuju, setelah cek out, mereka langsung berkendara pulang, masih mengendarai ferarri milik Tomi. Keduanya menikmati masa pengantin baru dengan hati berbunga.
"Besok aku akan masuk kerja, sekalian mengembalikan mobil Pak Tomi," ucap Damian sambil menyetir.
"Iya, nggak apa-apa. Em Dam, aku mau jujur sama kamu."
"Apa?" Lelaki itu tetap fokus ke depan.
"Tapi, kamu janji jangan marah?" pinta Amanda membuat Damian mengerutkan kening.
"Apasih, gimana mau marah cerita aja belum."
Amanda mengeluarkan kartu atm milik Damian.
"Uangnya habis, Dam. Aku pakai semuanya."
Damian mulanya shock, tapi setelah melihat megahnya bangunan dan persiapan menyambut tamu. Dia pun memaklumi bajet yang harus di keluarkan.
"Ya udah, nggak apa-apa. Aku akan bekerja keras lagi untuk memberikan kamu rumah."
Amanda sangat bahagia mendengarnya.
"Terimakasih, sebenarnya uang kamu nggak habis begitu saja. Aku beliin mobil agar kamu nggak perlu naik sepeda motor lagi."
Manda memperlihatkan kunci mobil baru di tangannya. Dan foto kendaraan yang telah di belinya.
Kicckkk!!
Spontan mobil yang mereka kendarai berhenti mendadak karena Damian menginjak rem terlalu kuat.
"Aaaccch! Pelan-pelan dong, Dam. Kita hampir aja mati." Manda menggerutu, jantungnya berdetak sangat kuat. Hingga dia kesulitan untuk bernafas.
"Manda! Kamu beli mobil baru tanpa izin dariku? Harga mobil itu cukup untuk membeli rumah sederhana, aku yakin tabunganku juga nggak cukup membelinya."
"Eh, d-denger dulu, Dam. Jadi gini." Amanda mulai gelagapan. Takut jika suaminya merasa tersinggung.
"Sebenarnya, aku menambahkan sedikit uang tabungan aku. Aku mau kita kemana-mana bersama, kamu ngerti kan. Jadi aku beli mobil yang nyaman. Soal rumah, kita akan usahakan uangnya nanti. Lagi pula, Mama mungkin nggak izinkan kita untuk tinggal terpisah dengan mereka."
.
"Itu tak bisa di terima, kau tahu. Kita tidak bisa terus satu atap dengan orangtua. Kita harus mandiri dengan cara kita sendiri."
"Tapi, Dam. Aku anak satu-satunya," ucap Amanda membela diri.
"Akupun sama, aku tidak memiliki saudara tapi kedua orangtuaku memaklumi."
Amanda tertunduk, dia tidak mau membuat Damian semakin kesal. Apalagi mereka akan segera sampai.
"Apa kau memiliki kebohongan yang lain? Aku tidak mau hubungan kita di landasi dengan sikap yang tidak jujur. Selama kita pacaran, aku terbuka padamu, begitu juga kamu, Beb. Tapi, saat menjelang pernikahan kau seperti orang yang berbeda."
Amanda menggeleng kuat.
"Nggak, percayalah padaku."
**
Mereka kini tiba di kediaman nyonya Soya, Damian membuka pintu mobil untuk Amanda dan berjalan pelan memasuki rumah. Keadaan Amanda jauh lebih baik sekarang. Cara berjalannya pun demikian.
"Sore, Ma," ucap Amanda saat tiba di ruang tamu.
Nyonya Soya dan suaminya menyambut dengan hangat.
.
"Selamat sore. Kalian, kok datang nggak ngabarin?" tanya Soya basa-basi.
Damian hanya tersenyum lalu menjabat tangan kedua mertuanya.
"Sebenarnya masih mau nginap, Sih, Ma. Tapi Mama nelpon terus," ucap Manda jujur.
Nyonya Soya jadi sungkan pada sang menantu.
"Kalian ini, mentang-mentang pengantin baru maunya berduaan terus. Jadi lupa sama orangtua," tegur Rama.
"Nggak gitu juga, Pa."
"Ayo duduk dulu, Nak Damian," ucap Soya mempersilahkan.
“Bibi tolong buatkan minuman,”
“Baik, Nyonya.”
Amanda langsung duduk di sofa di susul dengan Damian.
“Oh iya, kapan rencana kalian untuk ambil liburan berbulan madu? Papa udah nggak sabar mau nimang cucu,” tanya Rama to the point.
Damian dan istrinya tampak kikuk mendengarnya.
“Papa apaan sih, nanyanya kok gitu?”
“Emang ada yang salah, Ma? Nggak salah kan.”
Damian tertawa ringan, lelaki itu menyentuh belakang telinganya karena grogi.
“Sebenarnya begini, Tante, Om.”
“Loh, kok tante dan om, sih? Mama dan papa dong kan sekarang kalian udah resmi menikahnya.”
Damian sekali lagi merasa gugup.
“Iya, Ma. Jadi Damian nggak bisa meninggalkan pekerjaan di kantor. Besok pun rencananya Damian akan langsung masuk kerja. Jadi nggak terpikirkan untuk ambil libur, iya kan sayang," ucapnya meminta dukungan.
Amanda mengangguk dan tersenyum.
“Iya, mumpung masih muda.”
Mama, Papa Amanda tampak berpikir.
“Bagaimana kalau kamu berhenti kerja dulu, Man. Kan ada Damian, kamu nggak boleh terlalu capek kalau mau jadi seorang ibu,” ucap Papanya.
Cara pandang lelaki itu langsung di tangkis oleh istrinya sendiri.
“Mama nggak setuju, memangnya kenapa kalau Manda kerja. Manda akan menghasilkan uang sekaligus membesarkan anak-anaknya sama seperti mama.”
Amanda merasa sangat malu di hadapan Damian, bagaimana tidak. Suaminya itu tampak mematung melihat bagaimana kedua orangtuanya beradu mulut.
"Wanita kodratnya di rumah."
"Siapa bilang, wanita bisa sukses sekarang tidak lsrlu berpatokan pada masa lalu."
Mereka saling beradu pendapat.
“Ma, sebaiknya Manda dan Damian ke kamar dulu.”
Manda berdiri dan menarik suaminya naik ke lantain dua. Nyonya Soya tak dapat berbuat banyak selain melihat kepergian mereka.
“Kok kabur sih, Pa. Mama kan belum selesai ngomong.”
“Mama sih cerewet banget, makanya menantu kita nggak tahan.”
Manda menghela napas mendengar pertengkaran mereka, bahkan saat Manda akan menutup pintu kamar. Dia masih bisa mendengar suara mamanya yang tidak mau mengalah.
“Mama, Papa ternyata orangnya asyik, ya,” ucap Damian dan duduk di sisi ranjang.
Amanda mengerutkan kening dan duduk tepat di samping suaminya.
“Maksud kamu apa?”
Damian merengkuhnya dan membawa tubuh sang istri ke atas pangkuannya.
“Kamu tahu betul maksud aku apa. Bagaimana di sana apa masih sakit?”
Damian melihat ke arah bawah tepat di pangkuannya.
“Dam.”
“Ehmm, apa?” tanyanya dengan suara serak.
Amanda terpejam, tangan kokoh milik sang suami kembali menjelajah di atas lekukan tubuhnya.
“Ini masih sore, bagaimana kalau ada yang datang?”
Damian tertawa mendengarnya.
“Hey, apa kamar ini tidak memiliki pintu.”
Amanda tersenyum malu, dia segera menyingkir dari tubuh suaminya dan bangkit untuk mengunci pintu. Tak peduli dengan rasa ngilu di bawah sana. Damian selalu berhasil membuatnya ketagihan.
Mereka seperti candu dan saling membutuhkan.
Mengulang kegiatan yang panas, kali ini Damian melakukannya dengan lembut, bahkan dia melakukan dengan tempo lambat, hal itu sangat menyiksa Amanda. Wanita mengambil alih permainan dan menunjukkan kepiawaiannya.
Damian tersenyum, dia sangat menyukai sisi agresif Amanda yang jarang terlihat. Mereka mengerang bersama saat berhasil terpuaskan.
Damian memangut bibir Istrinya kala wanita itu mencapai puncak kenikmatannya. Damian cukup sadar diri, bahwa mereka kini bukan lagi berada di hotel.