5.1

2694 Words
“Lo siapa?” Jauh-jauh dan tergesa-gesa kemari, Uci tidak pernah menyangka bahwa ia akan mendapati cewek asing menatapi Reza yang tidur dengan muka yang sangat mendamba. Dan lagi kemana si i***t itu (re: Raka)? Apa Uci harus terlihat menyedihkan di depan cewek asing  yang tampak tidak asing bagi Reza ini? Yang benar saja. “Lo yang siapa?” tanya Hanum heran. Apa orang di depannya ini tidak pernah melihatnya di TV? Meskipun jijik mengatakan ini tapi Hanum rasa kepopulerannya tidak kalah dari artis-artis kurang kerjaan yang petantang-petenteng kawin-cere-kawin-cere. Reza bukanlah orang yang bisa tetap tidur meskipun hanya dengan mendengar kucing mengeong. Sejak mendengar derit pintu kemudian suara yang sangat ia rindukan itu ia sudah terbangun sepenuhnya meski butuh waktu untuk benar-benar sadar. “Dia tunangan gue, Num,” ucapnya pada dua orang perempuan yang saling menilai satu sama lain. “What?? Bisa-bisanya kamu ngelamar aku dengan kondisi begini?” tanya Uci sangat tidak percaya. Apa menikahi dirinya adalah harga mati bagi cowok ini? Uci benar-benar bangga pada dirinya, bisa tolong sebutkan poin-poin yang membuat Reza begitu menginginkannya? “Bagaimana lagi? Yang ngelamarin kan Mama - Papa,” jawab Reza cuek. Uci yang itu sudah berada di depannya jadi Reza segera membuat dirinya setengah duduk. Tentu tanpa bantuan Hanum seperti tadi. “Tu- tunggu bentar bang! Lo ga cerita soal ini ke gue,” Hanum yang barusan merasa dilambungkan seakan ditikam dengan tombak tak kasat mata. Jantung wanita itu berdebar cepat dengan degub yang menyakitkan. APA-APAAN INI? “Hellow.. gue yang dilamar aja ga pernah dia tanya kesediaannya,” ucap Uci kesal. Kenapa pula cewek ini tampak kesal disaat Ucilah yang paling berhak mengamuk di sini? “Lo diam dulu!!” ucap Hanum sambil menunjuk hidung seorang Lucy Adelina. Untung tingkah Hanum ini tidak dilihat oleh Kakak iparnya Uci karena kalau iya telunjuknya pasti sudah patah. Uci yang digertak mendadak diam, tampak sekali nyalinya ciut. Entah dimana ia membuang sisi premannya semasa SMA dulu, Uci lupa. Padahal dulu waktu membully pacarnya Reza ia tidak tanggung-tanggung. Cewek yang kini berstatus sebagai tunangan Reza itu berusaha tampak sibuk dengan kukunya sambil mendengarkan omongan cewek tangguh di depannya. Sesekali Uci tersedak liurnya sendiri mendengar sedekat apa keduanya sesuai penuturan Hanum. Uci tidak pernah tau Reza punya teman lain di luar geng mereka. Atau harusnya cewek ini saja yang jadi istrinya Reza. “Ga seharusnya aku disini kan, Jak?” tanya Uci dengan cengiran riang setelah mendengar pernyataan cinta Hanum. Tuhkan, baru saja ia berniat mendoakan Reza dan Hanum berjodoh. Uci merasa geli dengan siaran langsung pernyataan cinta ini. Untung dulu Adam tidak mengucapkan kata-kata cinta tepat di depan hidungnya, Uci tidak yakin ia akan menerima Adam jika dulu ia menggunakan cara dengan yang Hanum pakai. Giliran Reza yang membentak Uci karena gadis itu hanya menyengir seolah posisinya saat ini adalah teman yang tidak sengaja mendengar pernyataan cinta kawan karibnya dan sekarang Uci ingin pergi? Seolah dengan ungkapan perasaan Hanum barusan ia merasa mendapakan kebebasan, begitu? Reza menyindir Uci yang lari ke batu nisan Adam adalah hal yang sangat tidak berguna dan konyol. Ia juga mengetahui bahwa Uci bermalam di rumah yang baru-baru ini dibalik nama atas nama Uci oleh saudara tertua calon istrinya itu. “Hei.. hei.. gue ke toilet bentar kalian udah kembali perang? Gimana kalo nanti gue udah nemuin tambatan hati? Apa gue juga harus selalu ada di antara kalian? Ngontrol kalian terus?” tanya satu-satunya penengah Uci dan Reza, di mana si penengah ini tidak pernah menyukai perannya. Baik Uci ataupun Reza tidak ada yang tidak mengabaikan ucapan Raka. Keduanya  hanya saling menatap tajam. Dan kejamnya adalah tidak ada di antara ketiganya yang peduli dengan perasaan Hanum. Tanggapan Reza beberapa menit lalu hanya berupa kalimat, “Lo cuma lagi bimbang, Num, karena kita cukup sering ketemu bukan berarti lo suka sama gue.” “Gue bener-bener mengesihani diri sendiri, Bang. Gue pagi-pagi buta kemari hanya untuk jagain cowok yang lagi ngejar tunangannya,” ucap Hanum berlinang air mata. “Lebih menyedihkan gue, Num. Si tunangan bahkan kabur saking ga mau diiket sama gue,” jawab Reza apa adanya pada Hanum. Si tunangan kabur ke segala hal tentang pacarnya yang udah ga ada, kekeh Reza tidak berselera. “Lo salah paham bro! Lo ga liat gue datang barengan sama Uci? Gue yang mohon supaya dia ikut gue ke Ibu, lo ingat obrolan kita yang lalu kan? Gue tau ini salah tapi gue ga berani ajak Uci ketemu Ibu saat status dia udah milik orang lain,” ucap Raka menelan ludahnya pahit. “Ka!” Uci menatap orang yang sedang merangkulnya namun Raka hanya menepuk pelan pundak gadis itu kemudian mendorongnya pelan untuk mendekati brangkar Reza. Si bodoh (re: Raka) selalu saja menjadikan dirinya sebagai orang terakhir yang harus di salahkan. “Dan kalian, please.. sehari aja akur. Kalian ga mungkin ngajak gue tinggal bareng setelah nikah nanti kan?” Kembali mendapatkan kedua orang ini tidak bisa menyanggah ucapannya, Raka berdecak kesal, “Ah.. kalian mungkin bisa aja ngelakuin itu tapi gue yang ga akan pernah mau,” ucapnya lagi tau sekali bagaimana mereka berdua akan selalu melibatkannya dalam masalah ini. Masalah percintaan yang sampai seribu kali senja belum akan selesai. “Gue balik, gue udah ga butuh tunangan lo lagi.” Dan lagi, Raka tidak mendapatkan sepatah katapun dari calon pasangan suami istri yang saling membunuh satu sama lain dalam tatapan mereka. Uci yang sepenuhnya sadar bahwa ia harus tinggal dengan Reza dan cewek yang tampaknya tidak mudah untuk pergi menjadi sangat serba salah. Padahal semalam Uci tidak lupa cuci kaki gosok gigi dan berdoa malah mendapati hal seperti ini keesokan harinya. >>>>  Bima benar-benar sudah khatam dengan keras kepala Papanya saat melihat dengan mata kepalanya sendiri acara lamaran dua jam yang lalu. Bahkan Papanya berbohong soal menghilangnya Uci dengan alasan bahwa Raka, Uci dan Reza sedang menghabiskan waktu bersama seperti kebiasaan mereka selama ini, sedang Indah, menantunya sudah tidak bisa bersenang-senang lagi, ia punya Naufal yang tidak bisa ditinggal lama. Bima benar-benar tidak tau bagaimana mendapatkan hati Adiknya lagi setelah ini. Edo mengacak-acak kepala Adiknya, ia sama taunya dengan Bima akan seperti apa amukan Uci atas hal ini namun sejauh yang terlihat memang Reza yang pantas untuk menjadi orang yang Uci diserahkan kepadanya. “Beberapa minggu lalu lo yang gertak Ejak mengenai keseriusannya, Bim.” Kini Edo mencoba mengingatkan Bima pada kelakuannya sendiri. “Gertakan gue ga lebih tentang dia yang masih belum dapetin hati Uci, Bang.” “Adek lo aja yang terlalu buta, Bim.” “Tau ah, Bang.” “Lo jangan minggat juga, kacau balau Mama kalo lo ikutan berontak sama keputusan Papa.” Kedua putra dokter Vivi melihat Mamanya yang mencoba menghilangkan kerisauannya pada si bungsu. Tak jauh di depan mereka Pak Alwi dan Papa mereka kembali bercengkrama seolah tidak ada yang salah dengan acara lamaran di mana calon mempelai bahkan tidak tau di mana keberadaannya. “Papa selalu lupa sama Mama kalo udah ketemu Pak Arifin,” dengus istri tercinta Alwi Sagara yang membuat kedua calon besan itu tertawa. “Itu karena kami punya ketertarikan pada hal yang sama, kenapa kalian para Mama tidak mengobrolkan sesuatu?” “Aku bukan dokter, asal papa tau,” jawabnya lagi. Bicara dengan Bu dokter, Mamanya Reza bingung apa yang harus mereka bicarakan. “Kalau begitu kamu bisa konsultasi kesehatan dengan dokter Vivi,” kekeh pak Alwi geli. “Boleh, sebaliknya aku ingin belajar masak sama Mamanya Ejak,” ucap Mamanya Uci malu-malu. “Wah.. bagus itu. Masakan mama Uci kalah telak sama masakannya Mama Ejak,” kata pak Arifin yang cukup sering menyantap masakan istrinya mantan gubernur itu. “Sudah jeng Vivi, sepertinya suami kita memang gemar mempermalukan kita. Gimana kalo kita bahas nama cucu kita kelak?” ajak mama Reza semangat sementara Mama Uci meringis meragukan keberlangsungan pertunangan ini. Bukann Reza yang Vivi ragukan tapi putrinya sendiri. >>>>  “Eh k*****t! Baru sampai dan lo udah mau pulang?” teriak Uci tidak peduli orang orang memperhatikannya. Raka melotot pada mantan pacarnya itu, siapa yang menyuruh si bodoh ini menyusulinya? Nah lihat si bodoh ini juga memberikan Uci julukan yang sama dengan yang Uci berikan padanya. Padahal Raka sudah mengorbankan dirinya sendiri dengan membuat image cowok tampan tiada taranya menjadi penculik tunangan sahabat sendiri dan kini Uci membuat usahanya sia-sia. “Reza yang suruh,” jawab Uci kesal seolah ia tau apa yang dipikirkan Raka, kemudian keduanya kembali ke ruangan Reza bersikap seolah pertunangan sialan itu tidak akan mempengaruhi mereka, sama sekali tidak. “Cewek itu..” “Junior kita, lo boleh liat acaranya di chanel tiga tiap kamis-jumat jam empat sore supaya tiap kali lo ngasih gue makan, ga ada lagi juru selamat MSG.” “Sialan, Ka. Gue ragu apa lo benar mantan gue,” ucap Uci mencubit kesal lengan Raka yang sengaja cowok itu kencangkan sehingga Uci kesulitan menjepit kulitnya dan tertawa, menertawai Uci yang berusaha keras menyakitinya tapi sama sekali tidak membuatnya kesakitan. Sekilas, sekilas saja mereka tampak seperti pasangan kekasih yang sedang ambek-ambekan. “Nanti di dalem, lo jangan bicara sama cewek itu ya,” pinta Uci. “Siap!” Raka menyanggupinya, meski akan terlihat sombong karena tidak menyapa Hanum padahal dulu ia cukup sering menggodai cewek itu, Raka tidak mau Uci terdiam sendiri dan membuat Hanum yang memang tidak pernah mau kalah merasa menang. Saat keduanya sudah melihat pintu ruangan Reza, mereka diam tanpa kesepakatan. Mereka ini, si bodoh satu dan si bodoh dua memang tidak harus membuat kesepakatan apa-apa dulu supaya terlihat kompak. >>>  Bian menggendong Danis kesana-kemari, ia juga tampak puas dengan panggilan Mommy yang ia dapatkan dari bocah menggemaskan itu. Padahal dulu ia mengaku bahwa ia sangat senang mendengar bagaimana Naufal dan Naura memanggilnya Onti. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan jika Danis men-Daddy-kan Adri. Terserah saja si aneh Adri senyam-senyum sendiri. “Dia anak Kakak gue tapi seolah dia milik kalian,” dengus Fateh kesal melihat Adri yang cengar-cengir melihat Bian menggendong Danis lalu mengekori bocah itu kesana kemari serta sesekali meneriaki Danis agar hati-hati saat ponakan genitnya itu hampir menabrak pelanggan cafe Adri. “Lo siap-siap ya, Teh.” “....” bodo gue mah, ucap Fateh membatin. “Gue udah peringatin dia kalo tahun depan gue bakal tembak dia,” kekeh Adri yang menyadari bahwa kalender yang tergantung di dinding depannya baru diganti beberapa hari yang lalu, mengabaikan ketidak pedulian sahabat karibnya yang jomblo akut. Selain jomblo akut Fateh seperti tidak berselera pada perempuan manapun. Tiba-tiba Bian mendekati keduanya, lebih tepatnya mendekati Fateh. Ia mengucapkan sesuatu sambil memohon. Bian ingin Fateh berpura-pura menjadi pacarnya dan mengatakan pada Danis bahwa Bian adalah pacarnya. Supaya apa coba? “Suntoloyo!! Copian lo banget itu cewek,” ucap Fateh ngeri melihat betapa cewek setua Bian bisa-bisanya dikontrol oleh ponakannya. Ternyata sejak tadi Bian ingin Danis tinggal lebih lama, gadis itu mungkin tidak rela Danis pulang ke Mamanya di Sumatera Barat kemudian Danis memberikan syarat ia mau saja tinggal lebih lama hanya saja ternyata Mommy bukan pacar Om. Ia hanya ingin berlama-lama dengan pacar Om, bukan pacar Daddy. “Manis kan, Teh?” “Manis kepala lo botak, oon yang ada. Bisa-bisanya dia nurut sama anaknya Fay. Anak Fay juga lagak kayak anak sultan, iya sih, sultan. Sultan yang ga bertanggung jawab dan juga sudah bangkrut dan melarikan diri. Sialan gue jadi melow gini keinget nasib Kakak gue kan, Dri.. ” “Mulut lo Teh! Fay pasti berat hati ngebiarin anak polosnya diawasin elo. Lo ga pernah bilang gitu ke Kakak lo kan? Dia aja bisa setegar ini, jangan ungkit-ungkit si b*****t Denis lagi.” Fateh meletakkan hapenya begitu saja di atas meja yang sejak tadi digosok pelan dengan lap oleh Adri dan meletakkan kedua sikunya di atas meja, hanya untuk menempatkan kepalanya di atas kedua telapak tangan. “Lagian, Dri..”, “Ya?” “Kalo lo terus liatin cewek yang barusan merengek buat jadi cewek gue lebih lama, lo pasti diberi lagi sama si anj*ng gila saingan lo.” Adri kembali bersikap normal sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah dan mendapati Dafka menatap keji padanya. Sial, Fateh benar. Si anj*ng gila yang katanya sudah mencampakkan Bian justru sering terlihat di sekitar Bian akhir-akhir ini, beruntung cewek itu ga peka. “Mommy sekarang pacarnya Om Fateh, tuh. Danis ga boleh ingkar janji loh, ingkar janji itu perbuatan tercela,” ucap Bian tanpa tau siapa yang mendengar ucapannya. “Bohong!” “Ih ga percaya.. tanya aja Om Fateh. Tapi Danis tetap harus panggil Mommy, soalnya aku suka dipanggil Mommy.” “Ga mau, pacar Om Fateh harus dipanggil Tante pacar sama kayak pacarnya Om Gilang.” Danis sudah terlalu paham soal pacar-pacaran diumurnya yang masih dua setengah tahun rupanya. Ucapkan terima kasih pada semua Om yang bocah ini punya, juga tak lupa Daddy Adrinya. “Kalo gitu Danis harus tidur dirumah Tante pacar, gimana?” tanya Bian pantang menyerah. Kalau-kalau saja Mamanya anak ini tidak membutuhkan anak ini lagi Bian akan dengan senang hati untuk memilikinya. “Ga mau!” “Di rumah Tante pacar banyak seper hero, nih liat sini,” ucap Bian mengajak Danis memperhatikan hapenya sementara ia mencari foto lemari koleksi miniatur Abangnya, sekiranya ada. Apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan saat menerima ajakan pacarannya setengah tahun lalu? Dafka sama sekali tidak tau, Bian berubah seperti robot saat menjadi pacarnya dan lihat sekarang. Entah sudah berapa kali Dafka dikejutkan oleh sisi lain yang Bian tunjukkan saat mereka sudah putus. Dan itu benar-benar membuat Dafka ingin terus-terusan berada di dekat seorang Ralin Abriana Chavali. Ia ingin tau semua tentang Bian. Ia ingin tau selain Bian si seksi dengan piyama panda, Bian si keras kepala, Bian yang suka berceloteh asal dan Bian yang tampak lebih menggemaskan dari anaknya Adri, Dafka ingin lebih. Pekikan Bian membuat lamunan Dafka buyar, ia mendapati gadis yang tadi cekikikan dengan bocah laki-laki yang tampaknya sangat ia sukai menatap kesal pada seseorang yang pasti menjadi alasan kenapa baju Bian basah sehingga kurang lebih Dafka bisa melihat dalaman mantannya itu. Sial! “Gimana kalo Danis yang kena? Lo bisa tanggung jawab kalo kulit anak kesayangan gue melepuh?” teriak Bian yang tiba-tiba mendapat kemampuan untuk menjadi seorang Emak-Emak muda. “Maaf, sekali lagi maaf, lagian dari tadi kalian keliaran seolah kalian sedang di rumah sendiri,” ucap cewek yang sama sekali tidak merasa bersalah, ia justru mencoba mengatakan bahwa Bian dan anaknyalah yang salah. “Apa? Wah, lo-” “...Ralin, sudah! Kita pulang,” ucap Dafka meraih pergelangan tangan gadis yang masih saja mempermasalahkan ­gimana kalo Danis yang tersiram minuman panas tersebut dan mengabaikan kulitnya yang mungkin sedang melepuh sekarang. “Apa-apaan ini? Aku belum selesai sama dia dan kenapa kamu disini?” tanya Bian yang tanpa sadar sudah meninggikan suaranya pada Dafka. Bian tidak pernah bicara seperti ini pada Dafka tapi ia terlanjur kesal saat ini. Dafka mengabaikan celotehan Bian dan menariknya menuju mobil, mendorong Bian agar masuk kemudian melepas bajunya sendiri –yang membuat pengunjung cafe yang diam-diam memperhatikan keributan yang cewek itu buat –mengeluarkan suara kekaguman. They are oh-ing and waw-ing Dafka’s body right after he put it off. “A- apa yang kamu lakuin?” untuk sekali ini Bian memberanikan diri melotot pada Dafka karena ia membuat pada pengunjung cafe berdiri terang-terangan dan mendekati dinding kaca untuk melihat tubuh sialan bagus milik mantan pacarnya. Bian yang pernah jadi pacar saja tidak pernah lihat, ah benar.. Bian kan memang si tidak pantas dipacari, mana mungkin Dafka mau memperlihatkan tubuhnya pada Bian. “Ganti sama baju aku dan kita ke dokter,” ucap Dafka menatap bajunya kemudian baju Bian yang basah. Bian malu setengah mati saat menyadari ke arah mana Dafka berani menatapnya. Ia merampas baju bekas milik bekas pacarnya itu dan menutup pintu mobil kencang. Dafka membelakangi mobilnya memberikan privasi untuk Bian dan juga memastikan tidak ada yang berani mencuri lihat kegiatan Bian di dalam sana. “Aku mau lihat Tante pacar, Om!!!” teriak bocah yang berhasil ditangkap Fateh, ia kesusahan memegangi Danis. Mungkin bocah itu merasa bersalah pada Tante pacarnya, namun Fateh kembali menariknya masuk kemudian berdiri tepat di depan pintu keluar, ia tampak memarahi ponakannya tidak peduli ada banyak orang yang mendengar. “Gara-gara kamu aset berharga Daddy Adri jadi rusak tau gak-KKHHH SAKIT DRI!!” “Manner, Om! Untung cuma gue gampar,” ucap Adri kesal. Nanti kalau Danis tanya aset apa yang sakit memang Fateh punya waktu luang untuk menjelaskan? Kembali pada Dafka yang memperhatikan kelakuan saingannya dari jauh, ia kemudian menoleh ke belakang saat mendengar cicitan Bian, “sudah,” begitu ucapnya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” “Ga perlu kok!” “Apanya yang ga perlu?” tanya Dafka marah. Oke karena kita tidak terlalu mengetahui bagaimana si Dafka Dafka ini, sebut saja saat ini ia sedang marah. Kelihatannya begitu. “Aku ba- baik-baik aja.” Bian membuang mukanya tidak ingin bertatapan dengan Dafka. Apa mantan itu kelakuannya memang sok perhatian begini? Nanti Bian tanya gugel deh. “Apanya yang baik-baik aja?” “It- itunya yang baik-baik aja! Cuma agak memerah, A-APPA KAMU HARUS BUAT AKU MALU DENGAN NANYA APANYA APANYA APANYA TERUS????” teriak Bian yang mukanya juga sudah memerah. Namun Dafka tampak tidak mau dibantah, ia mengantarkan Bian ke rumah sakit dan mengantar cewek itu pulang. Satu lagi sisi Bian yang dafka lihat hari ini adalah si pemarah dan si ketus. “Cukup satu mantan saja yang aku lihat mengekori mantannya, Ka, kamu ga usah ikut-ikutan! Dan terimakasih,” ucap Bian meninggalkan Dafka yang tidak mengerti sama-sekali. Disaat Dafka mencoba mengolah informasi yang Bian berikan barusan, Dafka kaget mendapati Bian yang memerah lagi. Eh bukannya tadi ia sudah pergi? “Konci rumahku, MANA??????”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD