Bab 5. Ancaman
“Tadi aku mengundang satu orang untuk bermain dengan kita. Sayang sekali sepertinya dia tidak tertarik,” ucap Esvaldo uaai pergumulan panas mereka yang entah sudah berapa kali pagi ini. Bahkan mereka melewatkan sarapan dan kini matahari sudah tepat di atas kepala. Tanda hari sudah beranjak siang.
Kini keduanya tergeletak tak berdaya dengan jejak pergumulan mereka yang berserakan dan berceceran di hampir seluruh ruangan hotel yang disewa oleh Esvaldo.
“Siapa? Temanmu?” sahut Antonietta tak suka. Dia langsung beranjak sembari mnutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. Esvaldo terkekeh melihat wanita yang masih malu-malu padahal dirinya sudah melihat semua lekuk tubuhnya. Bahkan dengan lidahnya dia dapat merasakan setiap jengkal tubuh Antonietta tanpa terlewat satu jengkal pun.
“Kenapa kau susah payah menutupinya, tak ada yang belum kulihat,” goda Esvaldo dengan seringai mesumnya membuat Antonietta gusar. Dia merutuki dirinya sendiri yang terkesan gampangan di depan lelaki yang baru kemarin malam dikenalnya. Lelaki itu pasti mengira dirinya sama saja dengan jalang yang biasa lelaki itu sewa.
Antonietta tak mempedulikan godaan dari lelaki itu.
“Apa kau tak penasaran siapa tadi yang kuundang?” tanya Esvaldo dengan seringai di wajah tampannya. Lelaki itu bangkit dari rebahannya tanpa mempedulikan ketelanjangan tubuhnya.
“Aku tidak peduli, asal dia tidak menyentuhku,” sahut Antonietta malas. Wanita itu bergegas memunguti pakaiannya. Dan membawanya ke kamar mandi.
Saat dia keluar dari kamar mandi, Esvaldo sudah berdiri menjulang di depannya tanpa mengenakan apapun memamerkan tubuh kekarnya yang mempesona. Ingin rasanya jemari Antonietta bermain-main di d**a bidang itu. Dirinya memang tak menaruh hati kepada lelaki yang kini berdiri menantang, akan tetapi dia bukanlah wanita munafik yang mengatakan kalau tubuh di depannya tidak menggiurkan.
“Benarkah kau tidak mau dia menyentuhmu? Kalau aku kau bolehkan, masak tunanganmu tak kau perbilehkan. Pantas saja kau masih perawan,” ucap Esvaldo yang tidak pernah disangka oleh Antonietta.
“Kau bilang siapa yang kau undang?” tanya Antonietta dengan nada tinggi.
“Pelankan suaramu aku belum tuli. Dan apa yang kau dengar benar sekali kalau aku mengundang tunanganmu—Abraham Gill,” sahut Esvaldo tanpa merasa ada yang salah dengan ucapannya.
“Kau apa?” pekik Antonietta lebih keras dari yang tadi.
“Sudah kubilang jangan berteriak padaku!” bentak Esvaldo sembari mencengkeram leher Antonietta ke atas. Seakan ingin melemparkan Antoinietta.
Wajah Antonietta menjadi pias karena takut dan juga mencemaskan Abraham. Tunangannya.
“A-apa dia ke sini?” tanyanya terbata. Dia menatap Esvaldo berharap lelaki itu menjawab tidak.
“Iya, dia menyaksikan aksi kita berdua,” ucap Esvaldo dengan nada puas, apalagi mengingat bagaimana reaksi Abraham saat memergoki dirinya sedang mencumbui tunangannya tepat di depan matanya. Pasti rasanya sakit sekali. Sayang sekali, Esvaldo tak merasa prihatin atas apa yang dirasakan oleh Abraham ataupun Antonietta.
“Tidak … itu tidak boleh terjadi,” geleng Antonietta menolak untuk percaya setiap perkataan Esvaldo.
“Apa aku perlu menayakan padanya?” tantang Esvaldo dengan tatapan meremehkan.
“Kau tidak boleh mengatakan apapun padanya,” larang Antonietta tak bisa membayangkan betapa terlukanya Abraham. Selama ini, lelaki itu begitu menghargai dan menjaganya hingga belum pernah melewati batas saat saling mencumbu. Kini, tunangannya itu bahkan memergokinya melakukan hal yang selalu dia jaga. Hati Abraham pasti terluka. Dia harus menjelaskan kepada Abraham, Antonietta tak ingin kehilangan lelaki sebaik Abraham.
“Baik, toh dia juga sudah melihat kita asik bercinta tapi dia tak melakukan apa-apa untuk melarang kamu,” ucap Esvaldo kian membuat perasaan Antonietta tak karuan, “kalau aku jadi dia, pasti aku sudah memukul lelaki yang berani menyentuh tunanganku.”
Perkataan lelaki itu benar sekali, harusnya Abraham memukul lelaki kurang ajar itu bukan malah pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun, batin Antonietta.
“Mungkin saja, lelaki itu tak terlalu mencintaimu,” ucap Esvaldo lagi karena melihat Antonietta hanya diam membisu.
“Dia mencintaiku,” sahut Antonietta tak terima.
“Kamu sekarang milikku, dan akan selamanya jadi milikku,” ucap Esvaldo menekankan posisi Antonietta kini.
“Siapa kamu sampai berani mengklaim ku,” ejek Antonietta tak suka dengan ucapan lelaki di depannya itu.
Mendengar itu geraham Esvaldo mengetat, dia langsung mendorong tubuh Antonietta hingga membentur dinding. Tak ada lagi kelembutan yang tadi dia perlihatkan demi membuat wanita itu terpesona. Karena sepertinya semua itu rasanya percuma, wanita itu terlalu keras kepala untuk mengakui kalau tanpa disadari sudah terpesona dengan sosok Esvaldo. Kini, dia akan memakai jalan kekerasan untuk menahan wanita ini untuk tetap di sisinya.
Tak peduli, apa Antonietta bersedia atau tidak. Asal semua keinginannya untuk mendapatkan wanita itu berhasil.
“Sejak aku melihatmu, aku sudah berjanji untuk menjadikanmu milikku. Tak peduli bagaimana caraku mendapatkanmu,” ucap Esvaldo dingin.
“Aku sudah bertunangan,” sanggah Antonietta dengan berani menatap manik kelam Esvaldo seakan menantang.
“Dan kurasa sejak melihatmu mendesah di bawah kendaliku lelaki itu pasti membatalkan pertunangan kalian malam nanti,” sahut Esvaldo menohok tepat di jantung Antonietta.
“Dia tak mungkin sepicik itu,” bantah Antonietta menolak percaya.
“Baik, lebih baik aku menyuruhnya datang ke mari,” tantang Esvaldo dengan seringai di wajahnya. Antonietta ketakutan mendengarnya. Dia belum siap menghadapi Abraham dengan adanya lelaki lain di antara mereka.
“Tidak perlu, biar aku yang menemuinya,” sahut Antonietta mengambil langkah yang menurutnya terbaik.
“Silahkan,” ucap Esvaldo dengan nada mengejek.
Antonietta geram mendengarnya. Dengan kesal dia mendorong tubuh Esvaldo dan berlalu dari kamar hotel yang menjadi saksi betapa liarnya dirinya semalam dan tadi pagi.
Dia merututuki dirinya yang bahkan tidak menolak sentuhan dari lelaki asing tersebut, kini hanya penyesalan yang menggayuti hatinya. Antonietta segera membuka pintu kamar dan segera menghilang dari pandangan lelaki kurang ajar itu.
“Jika kamu memilihnya, maka jangan salahkan aku kalau dia akan mati di depan matamu,” ucap Esvaldo kembali terdengar saat Antonietta sudah akan berlalu dari kamar itu. Tubuh Antonietta menegang di tempat.
Wanita itu kembali menoleh ke arah Esvaldo berada. Lelaki itu sudah bersandar di dinding dekat dengan pintu kamar hotel. Lelaki itu sudah memakai piyama dan memakainya tanpa mengikat talinya. Berdiri bersandar ke dinding dengan kedua tangan melipat di depan d**a. Terlihat menggoda sekaligus berbahaya.
“Apa maksud ucapanmu?” tanya Antonietta tak mengerti arah pembicaraan lelaki di depannya itu.
“Kurasa ucapanku mudah untuk dipahami, sayang. Kamu milikku dan jika sampai lelaki itu masih menerimamu, dan kalian bersama lagi … maka jangan salahkan aku kalau lelaki itu akan mati tepat di depan matamu,” ancam Esvaldo tidak main-main, dia sunguh-sungguh dengan semua ucapannya. Membunuh lelaki yang masih merajai hati wanitanya tentu dengan senang hati akan dia lakukan.
“Kamu sudah gila,” pekik Antonietta tak percaya dengan ancaman dari lelaki yang bahkan namanya pun tak dia ketahui.
“Aku gila karenamu,” ucap Esvaldo dengan senyuman menghiasi wajahnya. Senang sekali rasanya dia menggoda wanita yang kini melotot marah padanya.
>>Bersambung>>