Satu-satunya kebahagiaan Lia saat ini adalah putra kecilnya Raka. Penghilang stress dan juga perasaan buruk lainnya. Setelah pulang kerja dari tempat yang seperti neraka itu, mengalami hal buruk dan tidak adil, Lia akan kembali baik-baik saja saat Raka berhambur dan memeluknya.
"Mama kenapa lama puyang? Raka kangen dan lapal," ujar Raka yang masih belum pas bicara, sehingga beberapa kata-katanya masih terdengar cadel.
Lia melepas pelukan putranya dan langsung menggandengnya ke dapur. "Mama banyak kerjaan Sayang dan harus mencari uang yang banyak supaya bisa membeli mainan yang Raka inginkan."
"Benarkah?"
"Ya."
"Kalau begitu apakah Raka sekarang sudah boleh beli mainan balu lagi?"
Lia mendesah sedikit kasar lalu berhenti untuk menatap sejenak putranya. Hatinya langsung merasa sesak saat menyadari sorot mata Raka persis seperti mantan suaminya atau orang yang sama dengan yang sudah membuat harinya buruk seperti di neraka. Namun, dia segera menepisnya karena tak mau membenci Raka.
Tidak. Mereka memang sangat mirip, tapi sifat, Lia takkan membiarkan Raka seperti ayahnya. Lia bersumpah akan hal itu.
"Tentu saja boleh, tapi setelah uang Mama terkumpul banyak ya, Nak!" ujar Lia akhirnya menjawab putranya dengan memberi pengertian.
Raka mengangguk paham dan mereka melanjutkan ke dapur. Tak mau membuat putranya menunggu lama, Lia segera memasak dan mereka makan setelahnya.
Akan tetapi saat malam tiba, Raka datang padanya dengan sebuah lukisan yang segera dia perlihatkan. "Lihat Mama, Raka dah bisa menggambal!"
Lia seperti ibu pada umumnya menyambut dengan girang dan bersemangat untuk memuji anaknya. Sayangnya saat dia melihat gambarnya, bibirnya langsung kelu.
"Ini Mama, ini Raka dan ini--" Raka geleng-geleng kepala sambil menatap sosok gambar yang berada di lukisannya. Selain ada dirinya dan sang ibu, ada sosok lain di sana, sayang anak itu pun sepertinya tak mengerti siapa itu. "Teman-teman Raka menggambar om bersama meyeka dan mama meyeka, tapi Raka tidak mengerti kenapa harus ada om-nya. Siapa dia, Ma?" tanya Raka menuntut ibunya.
Lia tertegun memikirkan sosok pria yang anaknya gambar bersama mereka di lukisannya. "Kamu aneh, tidak tahu siapa kenapa harus digambar?"
"Syudah Raka biyang, teman-teman menggambarnya, dan Raka gak mau beda!"
Menghela nafasnya kasar kemudian mengusap puncak kepala putranya dengan penuh kasih sayang. "Itu papa, Nak."
"Iya, Raka tahu. Teman-teman juga bilang gitu, tapi Papa itu apa, Ma dan apakah Raka punya Papa?" tanya Raka dengan polosnya, tapi ketahuilah bahwa itu menyakitkan Lia.
Walaupun setelahnya Lia mampu menghadapi Raka, tapi tidak dengan dirinya sendiri. Semalaman dia tidak bisa tidur dan terus memikirkan perkataan putra kecilnya.
Pagi tiba dan mau tak mau Lia kembali ke neraka dan bertemu iblish di sana. Menghadapinya dan menguatkan diri menghadapi siksaannya.
Namun, sepertinya bukan hanya itu yang akan dihadapi olehnya. Melainkan hal lain.
"Cukup Liona, jangan begini dan pergilah!"
"Tidak Davin, aku sangat merindukanmu!"
Setelah percakapan yang didengarnya, apa yang dilihatnya selanjutnya adalah adegan yang langsung membuatnya spontan berpaling, ditengah perasaan sesak yang tiba-tiba menghimpitnya.
"Maaf!" seru Lia buru-buru membuang muka dan berpaling.
Namun Devan dan Liona wanita yang bersamanya langsung melihat kearahnya. "Sial!! Lancang sekali, berani masuk ke ruanganku tanpa izin!!" bentak Davin marah.
Sementara Liona sosok wanita yang bersamanya langsung mengerutkan dahi. Menatapnya dan berpikir keras.
"Kau Adelia?!" tanya Liona sambil kemudian berbalik menatap Davin, menuntut penjelasan. Namun, tak jawaban sama sekali dari pria itu, sehingga dia melanjutkan ucapannya.
"Adelia mantan istri Davin yang selingkuh itu? Ah, iya. Benar. Kau penghianat itu!" Kembali menatap Davin lalu lebih menuntutnya kali ini. "Bagaimana bisa dia disini, Dav. Jelaskan padaku?"
"Dia sekretaris baruku, Liona," jawab Davin akhirnya jujur.
"Tapi bagaimana bisa kamu menerima penghianat di kantormu?"
"Sudahlah. Lebih baik kau pulang sekarang!" ujar Davin tegas dan tak mau di bantah.
Liona tak berdaya dan menurut saja. Saat Liona pergi, Lia masih di sana, sebab dia harus membereskan ruang kerja Davin. Walaupun pekerjaannya sekretaris, tapi di sana dia juga terpaksa merangkap menjadi pembantu pribadi untuk Davin. Itulah alasannya mengapa dia langsung masuk ruangan Davin tanpa izin, sebab Lia pikir empunya pasti belum datang.
"Lain kali gunakan sopan santunmu, walaupun kau jala-ng, tapi ini kantor dan kamu tidak bisa seenaknya!" ujar Davin dengan ketus.
Lia memilih tak perduli, jujur saja setelah apa yang dia saksikan di pagi hari dimana dia sendiri baru sampai di kantor, sudah sangat membuat moodnya buruk. Pikirannya berkelana kemana-mana.
'Apakah akhirnya dia menikah dengan perempuan itu?' batin Lia menebak-nebak. 'Sudahlah. Apa yang aku pikirkan. Kami bahkan sudah lama berpisah dan aku tidak seharusnya memperdulikan itu,' batin Lia sambil geleng-geleng kepala.
Tanpa disadari olehnya, ternyata Davin terus menatap dan memperhatikan dirinya bekerja. Pria itu mengerutkan dahi saat menatap sekretaris yang merangkap jadi pembantu pribadinya itu geleng-geleng kepala. Sehingga dia mendekat dan tanpa Lia sadari jarak diantara mereka sudah menipis.
"Apa yang kau pikirkan?" ujar Davin membuat Lia tersentak kaget dan syok saat menyadari mereka hampir tak berjarak.
Wanita itu spontan mundur dan menghindar, tapi Davin merasa tersinggung sehingga dengan cepat menahan pinggangnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Tidak usah sok suci, aku tahu kau pasti menyukainya!" ujar Davin sebelum kemudian menyentuhnya dengan kurangajar.
Lia mendorong tubuh Davin dengan keras dan setelah berhasil, perempuan itu segera mengusap bibirnya dan menampar Davin dengan kerasnya.
Plakk
"Aku bukan jala-ng!!!"
"Cih, lalu apa? Ckckck, aku tahu yang barusan terjadi kau pasti sangat menyukainya apalagi aku sendiri yang berinisiatif. Kau setelah ini pasti berpikir sudah berhasil menaklukkanku Lia, tapi jangan terlalu senang dulu. Aslinya jala-ng adalah tubuhnya menggoda dan aku akui itu.
Namun, sadarlah yang menarik darimu itu cuma tubuhmu, bukan pikirkan kotor dan hatimu yang busuk!!" ujar Davin kejam menatap Lia seperti bajing-an penghuni tempat-tempat malam.
Wanita itu merasa terhina, berkaca-kaca sambil menahan diri untuk tidak menangis. "Seharusnya kau yang sadar, karena walaupun aku jala-ng, jala-ng ini bahkan tidak sudi denganmu. Kau terlalu pecundang karena terlalu mudah untuk ditaklukkan!!" balas Lia dengan tak mau kalah.
Baiklah terserah Davin mau memandangnya apa sekarang, tapi dia juga takkan mau diinjak-injak begitu terus dan mulai sekarang dia takkan mengalah lagi pada pria yang merasa dirinya paling segalanya itu.
"Dengar Davin Geraldo, aku bahkan tidak sudi denganmu dan bahkan muak!!"
*****