Mendewasakan Diri Bersamamu

1053 Words
Jika kata abadi sulit untuk diwujudkan, maka Chelsea ingin mewujudkan hal itu bersama Angga. Selamanya tertawa dalam cinta dan terbuai dalam rasa yang memabukkan. Tak ada yang salah dengan rasa itu, kini semuanya terasa lengkap. Saat membuka mata, maka Chelsea menemukan Angga di sampingnya. Menikmati wajah tertidur lelaki itu menjadi hobby barunya, senyum pun tak mampu menghilang dari wajahnya. Ia bahagia bukan main, hingga takut terpejam. Chelsea tersenyum saat Angga membuka mata, mereka berbagi senyum. Keduanya saling menatap dalam diam, menikmati saat terindah dalam hidup. Menemukan wajah yang kau kasihi saat fajar menyingsing. “Mau sarapan apa?” Angga mengusap lembut wajah Chelsea. “Apa aja.” Angga tampak berpikir sesaat. “Suka sandwich?” Chelsea mengangguk antusias. “Suka.” Keduanya berbagi tawa. “Ku buatin bentar ya.” Chelsea menahan tubuh Angga saat lelaki itu ingin meninggalkannya sendiri. “Sebentar lagi,” ia menyurukkan wajah pada d**a bidang Angga. Enggan berpisah. Ia masih belum puas menikmati kebersamaan mereka, mungkin, tak ‘kan pernah bisa merasa puas. “Kamu bisa kelaperan kalau begini terus.” “Biarin aja.” Angga menggeleng-geleng, lalu mengusap puncak kepala gadis itu. Ia mengecup puncak kepala Chelsea, lalu memeluk erat tubuh gadis itu. Mereka saling berpelukan dan kembali memejamkan mata, menikmati kehangatan yang membuat mereka nyaman. *** Chelsea seakan tengah berada di medan perang. Ia menjauhkan tubuh dari kompor dan mencoba membalik ikan yang tengah berada di penggorengan dari kejauhan. Ia berteriak saat minyak mulai meletup. Chelsea memutuskan untuk menutup penggorengan agar aman dari serangan minyak yang mengamuk. Chelsea bernapas lega, lalu menyandarkan tubuh ada meja makan. Ia sungguh tak tahu, jika menggoreng ikan bisa begitu menyusahkan. Ia merasa bersalah karna selama sebulan pernikahan mereka, dirinya selalu membiarkan Angga memasak, jika tak sempat, maka mereka akan membeli makanan dari luar. Padahal ia tahu, lelaki itu tak punya banyak uang untuk mengikuti semua keinginannya. Chelsea tak ingin merepotkan suaminya, maka ia memutuskan menggoreng ikan yang dibelinya di tukang sayur. Tentu saja belajar dari ibu-ibu gosip yang berkumpul di Kang sayur tips dan trik menggoreng ikan, namun ia lupa menutup penggorengan, hingga berperang dengan minyak yang mulai mengganas begitu ikan dimasukkan ke dalam penggorengan. Chelsea menatap tangannya yang penuh bekas minyak, pedih. Ia memutuskan berjalan ke kamar mandi dan mengobatinya dengan pasta gigi. Obat paling praktis saat terkena panas adalah pasta gigi—begitu kata Bi Lisa—saat dirinya tak sengaja terkena teh panas miliknya dulu. Chelsea menjerit ketakutan ketika kembali ke dapur dan melihat banyaknya asap yang mengepul. Dengan panik, ia berusaha mencapai kompor untuk mematikannya, namun dirinya terlalu takut, hingga teriakannya semakin histeris. Sedetik kemudian, Angga tiba entah dari mana dan segera mematikan kompor. Ia menoleh ke arah Chelsea dan menatap tajam gadis itu. “Kamu mau ngebakar rumah, Chel!” Angga berteriak. Sungguh, Angga tak bisa menahan amarahnya. Bagaimana jika gadis itu dan calon bayi mereka terluka? Seharusnya, gadis itu duduk manis saja di rumah tanpa melakukan apa pun untuk menjaga hatinya tetap aman, tak dilanda ketakutan seperti saat ini. Air mata mengalir melalui kedua mata Chelsea, tatapan lelaki itu melembut saat melihat Chelsea menangis. Ia segera menghapus air mata gadis itu, namun isak tangis Chelsea terdengar. Ia meraung bagai anak kecil. “Aku hanya mau menyiapkan makanan untukmu. Aku mau menyambutmu pulang dengan makanan agar kamu nggak kecapekan, Ga. Aku cuma mau goreng ikan ... ikannya aja yang nggak bisa diajak berdamai ...” Chelsea terisak, tangisnya semakin kencang. Angga menggeleng-geleng dan tak kuasa menyembunyikan senyumnya. Ia memeluk gadis itu erat. “Lain kali, kalau mau belajar masak, tunggu ada aku. Jangan sendirian begini ya.” “Kamu marah?” Chelsea mengadahkan wajah dan menatap sendu lelaki itu. Angga tersenyum untuk yang kesekian kalinya. “Nggak, Chel. Maaf karna aku berteriak. Aku hanya takut kamu kenapa-napa.” Ia melepaskan pelukan mereka dan kembali mengusap air mata Chelsea. “Udah, jangan nangis ya.” Kini, senyum menghiasi wajah gadis cantik itu. “Nggak nangis lagi kalau dicium,” ucap gadis itu sembari memejamkan mata dan memajukan bibirnya, bersiap menerima ciuman Angga. Angga tertawa kecil, lalu mengecup bibir gadis itu sekilas. “Kamu duduk aja, biar aku yang urus ikannya.” “Kalau aku berdiri di samping kamu, boleh?” Angga menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. “Tapi nggak boleh deket-deket ya,” Angga memperingati, ia tak ingin gadis itu terluka. Chelsea mengangguk-angguk antusias sembari tersenyum lebar. Angga tersenyum tipis, lalu membuka penutup penggorengan dengan perlahan. Ia menghela napas gusar saat melihat ikan yang telah menghitam, sedang air mata Chelsea kembali mengalir. “Maaf ya, Ga. Jadi nggak bisa dimakan.” Gadis itu mengigit bibir bawahnya. Angga menggeleng. “Nggak pa-pa. Kita masak telur dadar aja ya, atau kamu pengen makan apa? Aku bisa beliin kamu makanan di luar.” Dengan cepat Chelsea menggeleng. Ia tak boleh merepotkan Angga lebih dari ini. Ia telah menyia-nyiakan bahan masakan mereka, yang harusnya bisa untuk makan malam ini dan tak ingin Angga kembali mengeluarkan uang demi memuaskan nafsu makannya. “Makan telur dadar aja.” Angga tersenyum miris, hatinya pedih melihat gadis itu hidup susah bersamanya. Ia lebih suka bila Chelsea menuntut dibelikan makanan enak, daripada memaksa diri makan seadanya demi dirinya. Sungguh, pernikahan tak semudah yang ia pikirkan. Terutama mengelola keuangan. Dulu, ia tak masalah makan seadanya demi menyisihkan penghasilan untuk pendidikan dan biaya hidup, namun kini, ia menanggung kehidupan Chelsea bersamanya, yang artinya biaya hidupnya pun kian bertambah dan ia harus mencari pekerjaan lain demi mencukupi mereka. Ia tak ingin Chelsea merasa kekurangan, hingga tak peduli dengan lelah di tubuh agar gadis itu bisa makan enak dan menikmati kopi seharga lima puluh ribu secangkir yang kerap ia nikmati setiap harinya. Menit demi menit berlalu, Angga telah menyiapkan telur dadar dan juga tumis kangkung di meja mereka. Chelsea menata perlatan makan, sementara Angga bolak-balik ke dapur untuk menata hasil masakannya ke meja makan. Keduanya duduk sembari berbagi senyum, lalu Chelsea mengisi piring Angga dengan nasi, hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk lelaki itu. “Maaf ya, Ga.” Chelsea masih merasa bersalah. Tak seharusnya ia mengacaukan semuanya. Angga menggeleng. “Nggak ada yang perlu dimaafin, Chel. Makan dulu.” Chelsea mulai menyendok nasi di piringnya, lalu mengulurkan sendok berisi nasi dan juga lauk ke hadapan mulut Angga. “Aaa ...” gadis itu tersenyum lebar, senyuman yang mampu menyihir Angga. Angga membuka mulut dan menerima suapan Chelsea. Angga menyendokkan nasi dan juga lauk, lalu menyulangi Chelsea. Dengan senyum Chelsea menerima suapan lelaki itu. Mereka tertawa dan saling menyuapi. Acara makan makan sederhana dihiasi dengan berbagi cerita dan juga tawa. Semuanya sempurna. Lelah yang menyelimuti tubuh Angga setelah kuliah dan bekerja sirna dalam sekejap. Tawa Chelsea mampu menyembuhkan hatinya yang pedih dan selamanya ia ingin menyaksikan kebahagiaan gadis itu. Pernikahan memang tak mudah seperti mengatakannya, akan tetapi bersama Chelsea, ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Mereka akan sama-sama mendewasakan diri dalam pernikahan dini itu. Ya, mereka mampu melewati semua rintangan bersama.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD