Satu bulan kemudian ...
Coffee shop milik Yoga dan sahabatnya selalu ramai. Apalagi saat weekend, semua meja penuh hingga para pelanggan yang datang setelah magrib terpaksa harus pulang karena tidak kebagian tempat duduk.
Setiap malam minggu ada live music, pengisinya adalah Yoga dan Dandi sendiri. Saat SMA mereka sempat ngeband dan manggung di cafe-cafe daerah Kota Lama Semarang.
Malam ini Yoga mengisi live music seorang diri karena Dandi masih sibuk merayu sang kekasih yang lagi ngambek.
“Mas Yoga mau manggung jam berapa?” tanya karyawan kepercayaannya bernama, Wawan.
“Bahasamu, Wan. Berasa aku ini seorang biduan.”
“Hehe, ya maaf, Mas. Habisnya para pelanggan pada tanya manggung jam berapa gitu. Jadinya, aku ikut-ikutan.”
“Sebentar lagi ya. Sekalian nunggu isya’,” jawab Yoga, masih sibuk dengan ipad-nya.
Setiap ada waktu santai dia pasti akan mengerjakan pesanan desain dari kliennya. Selain menjadi bartender dan pemilik coffee shop, Yoga juga freelance di perusahaan konstruksi milik keluarganya. Tipe pekerja keras meski lahir dalam keluarga kaya.
Wawan kembali masuk ke dalam ruangannya. Ada sesuatu yang lupa dia sampaikan pada Bosnya. “Mas Yoga,” panggilnya.
“Hmmm.”
“Ada Ibu hamil yang ngidam perutnya minta dielus sama Mas Yoga. Orangnya sedang menunggu di meja out door.”
“Ada suaminya?”
“Iya, Mas. Suaminya ikut ke sini juga.”
“Suruh tunggu sebentar, nanti aku akan menemui mereka.”
Yoga pernah diminta seorang Ibu hamil untuk membelai perut buncitnya. Saat itu suaminya tidak ikut. Beberapa hari kemudian si suami datang ke cafe langsung marah-marah dengan Yoga.
Kejadian itu membuat Yoga sangat selektif menuruti permintaan Ibu hamil yang mengidolakannya. Dia tidak mau kejadian tempo hari terulang lagi. Hingga membuat kenyamanan pelanggan cafe terganggu.
“Terima kasih, Mas Yoga,” ujar suami dari pelanggannya yang tengah hamil.
“Sama-sama, Mas. Semoga Adek bayi dan Ibu sehat sampai waktunya melahirkan tiba.”
“Amin,” jawab sepasang suami istri yang sedang berbahagia menanti kehadiran anak pertama.
Yoga bergegas masuk ke dalam cafe, sebelum mengisi acara dia menuju ke dalam toilet khusus karyawan.
Melihat wanita hamil membuatnya teringat kejadian sebulan yang lalu, saat dia merenggut kesucian seorang perempuan.
‘Apa dia hamil?’ gumamnya pelan. Kembali membasuh wajahnya dengan air agar bayang-bayang wajah wanita cantik itu menghilang dari pikirannya.
Cafe milik Yoga terdiri dari dua lantai. Tempat live music berada di lantai satu. Pengunjung yang ada di lantai dua bisa menikmati pertunjukan lewat layar LED yang telah disiapkan oleh pemilik cafe.
“Selamat malam semuanya,” sapa Yoga, dia sudah duduk diatas kursi, di pangkuannya terdapat sebuah gitar yang akan menemaninya malam ini.
Pengunjung cafe menjawab sapaan dengan antusias, tak sabar mendengarkan suara merdu pemilik coffee shop. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin perempuan yang mengidolakan Yoga.
Lagu pertama yang dinyanyikan oleh Yoga berjudul istimewa dari petra sihombing. Sesuai keinginan para pelanggannya yang sudah memberikan list lagu-lagu yang harus dibawakannya malam ini.
Petikan gitar mulai mengalun indah, lampu menyorot ke arah Yoga membuat kaum hawa yang ada disekitarnya berteriak histeris, karena wajahnya terlihat semakin tampan.
Lagu ini ku nyanyikan untuknya
Bukan hanya sekedar lagu cinta
Karena ku tak hanya cinta biasa, cintaku istimewa
Saat menyanyikan lirik itu, Yoga melihat seorang wanita cantik yang sedang duduk di meja pojok. Wanita itu pun tengah menatap Yoga.
Tanpa sadar keduanya tidak memutus tatapan itu hingga lagu yang dinyanyikan Yoga berakhir. Suara tepukan pelanggan cafe lah yang membuat kesadaran Yoga kembali.
“Terpesona dengan pemilik cafe?” Tanya Ayunda, sahabat Vera.
Vera mendengkus, mengambil es kopi yang baru datang, lalu meminumnya. Setelah meletakkan kembali gelas ke atas meja dia baru menjawab, “Aku tidak tertarik dengan Pria yang lebih muda.”
“Ve, ayolah, buka hatimu. Buat apa kamu menangisi seorang b******n tukang selingkuh? Kamu cantik, karir bagus, tidak kekurangan uang. Rugi menangisi Pria seperti Ernest.”
“Aku justru bersyukur melihat sifat asli Ernest sebelum hari pernikahan. Namun, bukan berarti aku langsung mencari penggantinya, Yun.”
“Buktinya bulan lalu kamu mabuk dan berakhir tidur dengan Pria asing,” sahut Ayunda cepat.
“Yun!” tegur Vera, buru-buru dia menutup mulutnya.
Keduanya melihat ke sekitar, takut jika ada yang mendengar ucapan Ayunda barusan. Untungnya para pelanggan cafe sibuk mendengarkan dan menikmati penampilan Yoga.
“Hehe, maaf, Ve. Habisnya aku kesal sama kamu. Harusnya kamu cari Pria itu dan minta pertanggung jawaban darinya. Bukannya memintanya melupakan kejadian itu.”
“Buat apa dicari?” Tanya Vera.
“Ya, harus dong, Ve. Kamu ini gimana sih,” omel Ayunda, tak mengerti jalan pikiran sahabatnya.
“Dia pasti akan mencari ku,” ujar Vera, meminum kembali es kopi, melirik sejenak ke arah Yoga berada.
***
Malam ini Yoga hanya menyanyikan empat buah lagu. Dia beralasan jika sedang tidak enak badan. Padahal dia ingin segera menemui wanita cantik yang sudah tidak ada di mejanya tadi.
Yoga memberikan gitar kesayangannya pada Wawan karena dia harus mengejar Vera sebelum meninggalkan cafe. Sedikit berlari hingga menabrak karyawannya yang baru saja mengantarkan pesanan.
“Ada apa, Mas?”
“Tidak ada apa-apa. Kembalilah bekerja,” jawab Yoga.
Dengan langkah lebarnya Yoga sampai di parkiran mobil dan motor. Kedua matanya mengedar ke segala arah, mencari keberadaan wanita cantik tadi. Sayangnya dia tidak berhasil menemukannya.
Dia meremas rambutnya, mendesah kesal karena telat menemui wanita yang selama satu bulan ini dicarinya. Yoga kembali masuk ke dalam cafe, menuju ke ruangannya, karena dia ingin mengecek CCTV yang ada di parkiran.
“Wawan ke ruanganku sekarang.”
“Iya, Mas.”
Yoga berlalu begitu saja setelah bicara pada Wawan. Bahkan dia tidak melihat jika karyawannya itu sedang membawa nampan berisi piring dan gelas kosong.
Jari jemari Yoga mengetuk meja kerjanya ketika melihat rekaman CCTV. Dia tidak menemukan wanita yang dicarinya.
Tok ... tok ...
“Masuk,” ujar Yoga, mendengar pintu ruangannya diketuk.
Wawan masuk membawa es kopi yang sama dengan yang diminum oleh Vera tadi. Memberikannya pada bosnya, karena minuman itu adalah kesukaan Yoga.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanya Wawan.
Yoga mengangguk. “Apa kamu ingat dengan pengunjung di meja 15?”
Wawan mengernyitkan kening, mengingat kembali pelanggan yang duduk di meja 15. Tak butuh waktu lama, dia langsung mengingatnya. “Dua perempuan cantik. Satunya pesan Americano satunya lagi pesan ice coffee latte.”
“Apa kamu tahu mereka pulang memakai apa?”
Wawan menggeleng, mana mungkin dia tahu kendaraan yang dinaiki pelanggan cafe. Ada-ada saja Bosnya, batin Wawan dalam hati.
Yoga bertanya tanpa melihat ke arah Wawan. Kedua matanya fokus pada layar komputer yang menampilkan rekaman CCTV.
“Mas suka sama Mbak Ayunda?”
“Siapa Ayunda?” tanya balik Yoga, tangannya mengklik mouse untuk menjeda video. “Wanita yang duduk di meja 15?” tanyanya lagi.
“Iya, Mas. Mbak Ayunda yang rambutnya pendek. Pelanggan tetap cafe,” jawab Wawan.
“Kalau yang rambutnya panjang siapa namanya?”
“Aku tidak tahu, Mas. Soalnya baru pertama datang ke sini. Kalau Mbak Ayunda saya tahu tempat kerjanya. Setiap bulan dia memesan kopi dalam jumlah banyak.”
Mendengar penjelasan Wawan, Yoga seperti mendapatkan air ditengah gurun pasir. Semangatnya kembali muncul setelah hampir putus asa.
Yoga mencatat alamat kantor Ayunda yang telah disebutkan oleh Wawan. Setelah itu, kembali melihat rekaman CCTV.
“Sebentar lagi kita akan bertemu, Cantik,” ucap Yoga sambil tersenyum.