Ketidaksukaan Leona

1127 Words
Leon duduk di kursi kemudi. Kedua tangannya mengepal pada setir mobil. Di indra pendengarannya terpasang earphone. Entah sudah ke berapa kalinya, ia mencoba untuk menghubungi nomor yang tidak kunjung aktif juga dari kemarin. Mobil yang Leon kendarai menepi. Ia keluar dari dalam mobil dan mengedarkan pandangannya, pada gedung apartemen, dimana calon pengantinnya tinggal. Pintu mobil ditutup dengan sekali dorongan dan Leon melangkah, untuk memasuki gedung apartemen. Langkah kaki yang semakin cepat Leon lakukan, saat baru saja keluar dari dalam lift dan terhenti di depan kamar apartemen, yang Michelle tinggali. Leon mengulurkan tangannya, ia menekan setiap angka, yang memang sudah ia ketahui sebelumnya. Pintu pun terbuka. Leon menyentuh pegangan pintu, lalu mendorongnya. Kedua bola matanya langsung terarah, ke dalam ruangan. Menyapu setiap sudut, untuk menemukan tanda-tanda kehidupan. Langkah kakinya menuntun Leon untuk masuk. Kamar yang cukup rapi, seperti tidak berpenghuni. Karena biasanya, ia ingat betul, akan banyak pakaian yang berserakan di atas ranjang, karena Michelle yang selalu memilih pakaian, dengan hampir mencoba setelah dari isi lemari. Leon pergi dan membuat pintu balkon kamar, berjalan hingga menepi di pagar pembatas. Memperhatikan ke arah sekeliling, dengan disertai hembusan napas. Ia benar-benar tidak mengerti, kenapa Michelle pergi meninggalkannya dengan cara seperti ini, dengan hanya di menit-menit terakhir, saat mereka akan saling mengikat satu sama lain. Leon merogoh saku celananya dan kembali berusaha, untuk menghubungi ponsel milik Michelle. Akan tetapi, hasilnya masihlah sama. Tidak ada jawaban, bahkan nomornya tidak aktif. "Kamu kemana sebenarnya?? Apa terjadi hal buruk kepada kamu?? Tapi, kalaupun memang benar, kenapa kamu masih sempat mengirimkan pesan? Padahal, aku merasa kita baik-baik saja sebelum ini, kenapa tiba-tiba kamu pergi meninggalkanku?" Leon bergumam sendiri. Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin ia tanyakan secara langsung, tapi ketidakberadaan orang yang ingin ia temui di tempat, membuat Leon hanya bisa bergumam sendiri. Hembusan napas panjang Leon lakukan. Ia berbalik dan sempat tertegun, saat melihat asbak dengan banyaknya puntung rokok. Dahi Leon mengerut. Sepertinya, ia merasa Michelle bukan seorang perokok dan beberapa hari inipun, dirinya tidaklah datang ke sini. Milik siapa semua puntung yang ditinggalkan begitu saja ini?? Berbagai spekulasi muncul di dalam kepala Leon. Bahkan, tidak menutup kemungkinan dengan adanya pria idaman lain. Tapi, langsung ia segera tepis sendiri, dengan gelengan kepala. "Tidak mungkin Michelle begitu!" gumam Leon sembari kembali masuk ke dalam kamar. Sementara itu di kediaman keluarga Harrison. "Lho? Kamu sedang apa di sini??" tanya Mirna, kepada wanita yang rambut lurus panjangnya, diikat tinggi ke atas, kedua tangannya pun tengah sibuk menggosok gelas dan piring-piring yang kotor. "Bantu ibu," jawab Kyra sambil menoleh sekilas, ke arah wanita di belakang tubuhnya. "Kamu kan sudah menjadi istrinya Tuan Leon. Kenapa masih mengerjakan ini semua?? Sini, biar ibu saja." Mirna mengulurkan tangannya dan hendak mengambil alih gelas kotor, dengan busa yang banyak dari tangan putrinya tersebut. "Nggak usah, Bu. Biar Kyra yang kerjakan semua ini. Lagian, Kyra bosan juga tidak ada pekerjaan," ucap Kyra sambil kembali menggosok gelas. "Memangnya, suami kamu kemana??" pertanyaan yang Mirna layangkan dan sukses membuat Kyra diam membatu. Kyra bergeming sambil berusaha untuk mencari jawaban yang pas. Karena tidak mungkin juga mengatakan, bila suaminya sendiri, sedang pergi untuk mencari wanita lain. "Nggak tahu, Bu. Tadi pamit pergi, mau ke tempat temannya mungkin," balas Kyra sambil kembali menggerakkan tangannya. "Masa sih? Baru habis menikah pergi??" ucap Mirna, yang tahu betul, saat baru menikah dengan ayahnya Kyra dulu, Jangankan pergi. Bahkan, rasanya, mereka hanya keluar untuk mencari makanan dan sisanya, dihabiskan di dalam kamar. "Ya iya, Bu. Ada urusan mungkin," balas Kyra lagi. "Tidak sedang pergi mencari calon istrinya itu bukan??" terka Mirna, yang seolah tahu betul tentang apa yang terjadi, dari gelagat, bahkan intuisinya sendiri. Kyra kembali tertegun sambil menelan salivanya sendiri. Mirna yang melihat hal tersebut, langsung bisa menerka dengan begitu mudah. Tangan kanannya Mirna ulurkan, untuk mengusap lembut putri semata wayangnya ini. "Kamu yang sabar ya? Ibu yakin, lama kelamaan, dia pasti akan jauh lebih memikirkan kamu, istrinya sendiri." Kalimat-kalimat hiburan, yang agaknya tidak mempan. Kyra masih ingat dengan jelas. Bagaimana Tuannya, yang kini telah menjadi suaminya sekalipun, mengatakan bila dirinya hanya sebatas pengganti saja. Bila hubungan diantara mereka berdua, tidaklah seserius itu. "Iya, Bu," jawab Kyra hanya untuk menyenangkan hati ibunya. Padahal, hal ini sudah cukup menyakitkan, dengan memiliki suami tapi rasa sendiri. "Ya sudah. Kalau begitu, ibu mau lanjut mengerjakan tugas yang lain, tidak enak kalau ketahuan mengobrol begini," ucap Mirna sambil meninggalkan putrinya tersebut. Tok tok tok! "Leon??" panggilan yang disertai ketukan, dilakukan oleh Leona, di pintu kamar putranya sendiri. "Leon?" panggilnya lagi, sambil terus mengetuk. Leona nampak gusar. Putranya ini tidak mau membuka pintu sama sekali baginya, sedang begitu asyiknya kah? Bergumul bersama anak pelayan? Leona mengembuskan napas sambil menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk menepis pikiran yang tidak-tidak, yang sempat melintas di dalam kepalanya. "Leon." "Iya, Bu." Sebuah jawaban yang malah terdengar dari balik tubuh Leona dan itupun suara wanita yang menjawabnya. Perlahan-lahan, Leona memutar tubuhnya, hingga menemukan sosok wanita, yang baru kemarin dinikahi oleh putranya sendiri. "Dimana Leon??" tanya Leona dengan sini. "Em, tadi pagi-pagi sekali pergi." "Kemana??" tanya Leona lagi. Kyra menggelengkan kepalanya, untuk menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya ini. "Ya sudah kalau begitu," ucap Leona sambil melengos pergi. Namun, sebelum jauh ia nampak menghentikan gerakan kakinya, lalu berbalik dan menatap Kyra. "Jangan panggil saya ibu! Saya ini, bukan ibu kamu!" tegas Leona sambil mendelik tajam kepada Kyra. Kyra menelan salivanya sendiri dan mengangguk paham. "I-iya. Baik Nyonya," ucap Kyra dengan terbata-bata. "Bagus! Memang sudah seharusnya kamu memanggilku begitu!" cetus Leona sambil mengembuskan napas dan berjalan pergi meninggalkan Kyra, agak sesak napas juga, harus menghirup udara yang sama, dengan apa yang dihirup oleh seorang anak pelayan. Putranya benar-benar keterlaluan. Ia bisa-bisanya tahan, berada di satu kamar yang sama, dengan wanita ini. Siang harinya, saat akan menyantap makan siang. Kyra nampak kikuk, ia tidak tahu dimana seharusnya tempatnya berada. Ingin bergabung di meja makan. Tapi, ia merasa, bukanlah tempatnya di sana. Jadi, ia pun hanya berdiri sejajar bersama dengan para pelayan yang lain. "Kenapa kamu berdiri disitu??" tanya Hans, ayah dari Leon, kepada Kyra yang tengah menundukkan kepalanya. "Ha?" Kyra nampak kebingungan dan melirik kepada setiap orang, yang tengah memperhatikannya juga. "Ayo sini, kita makan siang bersama," ajak Hans dan langsung mendapatkan delik mata yang tajam dari Leona. "Untuk apa mengajaknya ke sini?" bisik Leona geram. "Lho? Dia kan menantu kita. Ya dia makan bersama kita juga," ujar Hans dengan sangat enteng. "Ayo Kyra. Kemari lah, duduk di sini. Kita makan siang bersama," ajak Hans lagi. Kyra menelan salivanya sendiri dan mulai melangkah, mengikuti perintah dari ayah mertuanya. Kyra pun duduk pada kursi di sebelah kiri Hans, tempat dimana biasanya Leon duduk. Leona memasang raut wajah sinis. Apalagi, saat sepasang mata miliknya, saling bertukar pandang dengan Kyra. Kyra langsung memalingkan wajahnya dan berusaha untuk cepat menyelesaikan santapannya, lalu pergi, dari tempat yang suasananya cukup mencekam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD