"Biar aku... aku... antar ka... kamu pulang Ris," kata Said takut-takut. Disebelah Ica, Dimas berdiri sambil melipat kedua tangan di d**a dengan dagu terangkat. Melihat tak suka pada Said, walaupun dia tidak bicara apa-apa.
"Ca, lo balik sama gue. Motor lo ntar Rakha yang urus," kata Dimas menyela kalimat Said. Seolah cowok berkacamata itu tidak ada.
"Ya u... udah Ca, nanti aku telepon kamu yaa," Said ingin menjauh, melihat raut bingung di wajah Ica, dia mengalah. Dia juga tidak punya nyali harus mendebat Dimas.
Ica masih belum bersuara sejak kejadian tadi, dia masih sangat terkejut. Dia seperti de javu, dulu juga pernah terjadi seperti ini, bahkan lebih parah. Kesalahpahaman yang membuat Rakha begitu tidak suka dengan Said. Padahal Said hanya korban bully. Ternyata itu terus berlanjut hingga pemuda itu duduk di bangku kuliah.
"Sorry ya Kak, aku pulang dulu," kata Ica kemudian mengambil beberapa brosur yang akan dia bagikan di kos. Mencoba membantu meringankan beban Said. Meski sempat menolak, tapi Said akhirnya pasrah saja karena Ica yang memaksa. Dimas menarik nafas kasar jadinya. Kesal sendiri sama Ica yang terlalu baik ini.
Ica nurut saja saat Dimas membawanya kembali ke kos. Wajahnya pucat, terlihat sangat shock. Salah dia sendiri yang sok jadi pahlawan padahal Rakha selalu memperingati agar jangan sampai terlibat masalah, karena sekarang mereka di benua orang jauh dari orang tua.
"Thanks Dim," kata Ica saat turun dari boncengan. Cowok itu hanya membalas dengan tersenyum.
Tidak berselang lama Rakha juga tiba.
Buru-buru dia memarkir motornya dan bersimpuh di depan Ica yang terduduk di gazebo depan kos, menggenggam tangannya penuh kekhawatiran, "Lo nggak pa-pa kan?" tanyanya.
"Lama bener lo!" gerutu Dimas yang sudah siap berangkat lagi. Dimas kesal setengah mati karena sejak tadi Rakha tidak mengangkat teleponnya. Padahal dia sudah siap menabuh genderang perang dengan geng kating belagu itu kalau Rakha tadi mengnyahut.
"Sorry ada sedikit gangguan tadi," balas Rakha yang lalu kembali meneliti tangan dan kaki Ica. Matanya melotot melihat biru kecil di kaki Ica. "Ini karena digangguin tadi juga?"
Ica masih diam saja, sampai akhirnya Rakha memencet biru itu hingga dia merasakan sakit yang membuatnya bereaksi.
"Sakit Kha!" katanya sambil menggeplak tangan Rakha.
"Ini kenapa?"
Ica melihat ke arah tunjuk Rakha, "Oh itu jatuh tadi pagi waktu keluarin motor," jawab Ica santai.
"Jatuh kok karena motor Ca! Jatuh ke hati gue aja coba," gerutu Rakha yang sebenarnya masih bisa di dengar Ica namun dia enggan menimpali gombalan koin itu.
Rakha menghembus nafas lemah, "mulai sekarang lo gue antar jemput kalau mau pergi-pergi!"
"Ih enggak! Gue nggak mau!"
Dimas yang menonton dari tadi memutar mata malas. Sekilas jika di lihat mereka memang seperti bertengkar. Tapi jika di telisik, itu adalah love language yang sangat manis. Dari pada menjadi setan alias orang ketiga dari dua sejoli yang lagi berdebat, Dimas memilih balik lagi ke kampus.
"Gue nggak peduli! Papa, Mama, Bang Rio nitipin lo ke gue, jadi gue harus jagain lo," Rakha ngotot dengan keputusannya.
"Idih, mereka nggak lihat juga kali Kha."
"Pokoknya urusan lo pergi keluar kos, tanggungjawab gue mulai sekarang! Dan satu lagi, gue kan udah bilang jangan dekat-dekat sama si Said, see kejadian kan? Lo terluka lagi!"
"Ini bukan karena Kak Said Rakha, lo ..." Rakha membekap mulut Ica dengan sebelah tangannya.
"Stop! Gue nggak mau denger lo belain cowok itu. Sekarang lo balik kamar, ntar sore gue jemput!"
Ica melepas tangan Rakha dan memukulnya pelan.
"Mau kemana emang?"
"Nonton gue tanding voli," balas Rakha singkat yang mulai berdiri. Sejak tadi bersimpuh di depan Ica rasanya pegal juga.
"Gue nggak mau!"
"Yah masa lo tega nggak semangatin gue Ca," Rakha memasang wajah merengut tidak semangat.
"Maksud gue, gue berangkat sama Karin aja! Disana pasti banyak cogan kan? Si Karin doyan tu pasti, gue juga pengen cuci mata," elak Ica, kali ini dia mulai tersenyum. Sudah mulai melupakan kejadian tadi.
"Dihh, yang depan lo ini nggak kelihatan apa?" kata Rakha sambil mengangkat kerah kemejanya.
"Iya lo juga cogan, cowok nggak akan nikah! Gue mau cari yang pasti-pasti aja," Ica terkikik.
"Apa lo bilang?" Rakha mengaitkan leher Ica ke tangannya, memiting tidak begitu keras.
"Ntar lo yang gue nikahin!" Rakha sebenarnya serius tapi di anggap hanya gurauan oleh Ica yang kini kegelian karena Rakha mulai menggelitiki pinggangnya. 'Ah, sebenarnya ada rasa seneng juga di hati Ica mendengar kalimat Rakha itu.'
Anak-anak kos yang sudah kembali dari luar melihat ke arah dua sejoli yang nampak tak terganggu dan bahkan terlihat sangat mesra. Mereka mengira Rakha dan Ica pacaran. Dunia memang seperti hanya ada Rakha dan Ica.
"Aww sakit Kha," kata Ica tiba-tiba saat tangan Rakha tidak sengaja menyentuh pinggang belakangnya.
Rakha terdiam sejenak dan menyingkap sedikit hoodie yang Ica pakai. Benar saja, merah kebiruan yang cukup besar di sana. Ica juga sampai meringis kesakitan saat Rakha menyentuhnya lagi meski sangat pelan.
"Ini kebentur apa lagi?" tanya Rakha.
"Meja mungkin," jawab Ica asal.
"Udah ah lo pulang sono, ntar gue suruh Karin pijetin punggung gue pas dia balik!" usir Ica lagi.
"No! Jangan di pijet, di kompres aja Ca. Ntar gue beliin salepnya dulu!"
Ica menahan tangan Rakha yang sudah berbalik, "Nggak usah Kha, gue nggak pa-pa. Lo pulang aja istirahat buat pertandingan ntar sore, oke?"
"Tapi itu harus di obati Ca, ntar bengkak!"
"Iya habis ini gue kompres, salepnya gue beli pas keluar nanti sore, puas lo?"
"Nggak! Salepnya gue beli sekarang!"
"Oke, tapi habis itu gue buang! Dan gue ogah nonton lo ntar sore!" Ica mengangkat alis menantang.
Rakha mengumpat tertahan, dia menyugar rambutnya yang mulai memanjang ke belakang. Tentu saja dia bisa keras kepala tapi tidak kuasa jika melawan Ica.
"Oke, gue balik dulu, habis ini langsung diobati ya... Ingat pesan gue, jangan deket-deket lagi sama Said, gue nggak suka lo deket sama cowok lain!" peringat Rakha sambil mengusap kepala Ica lembut.
Ini kedua kalinya Rakha mengatakan hal yang sama, ' tidak suka Ica dekat dengan cowok lain!'. Ada desiran aneh di hati Ica mendengar kalimat itu terulang lagi di bibir Rakha yang nampak tidak bercanda saat mengucapnya. Desiran di hati yang membawa rona merah di pipi, tapi membuat kelu di lidah. Hingga akhirnya Ica berbalik dan hanya mampu bergumam, "Iya iya bawel!"
***
"Dim, anter gue ke orang itu!" kata Rakha penuh kilat amarah di matanya. Tak lama dia memasukkan ponselnya di saku dan melajukan motor gedenya ke arah fakultas ekonomi menyusul Dimas.
Di kantin kampus, Rony, Bowo, Resty dan dua orang mahasiswa lain duduk satu meja menikmati soto ayam khas Banjar.
"Lo liat si culun bagi bagi selebaran pinggir jalan nggak?" tanya Bowo pada Tio dan Adit yang baru saja bergabung dengan mereka.
"Ho oh, di simpang empat masuk fakultas dia bediri sendirian bagi bagi brosur. Kasian gue liat nya!" sahut Adit.
"Mempan juga ancaman gue sama tuh cupu," Rony tertawa senang. "Ngapain lo kasian, bantuin sono kalau lo iba," Rony tersenyum remeh.
"Tapi lo nggak boleh diam aja Ron, kalau acara kita sepi pengunjung gara-gara tuh culun, kita juga yang rugi entar! Udah capek-capek persiapan acaranya juga," Resty ikut mengomentari sambil menghirup kuah soto.
Rony nampak menimbang ucapan Resty yang ada benarnya itu. Tentu dia tidak mau rugi.
"Gampang, tinggal lo promosikan lewat sosial media aja, bisa minta advertise kopma juga yang urus, ntar gue hubungi mereka," Bowo kini yang memberi solusi.
Mereka kini nampak tersenyum, setuju dengan usulan itu.
Lalu tiba-tiba dua orang cowok keren duduk di meja yang sama persis berhadapan, menyodorkan ponsel ke depan mereka. Awalnya mereka bingung, tapi saat video itu diputar, mereka mulai paham situasinya.
"Kalau video ini gue sebar lewat advertise kopma, kira-kira event kalian tambah sukses nggak?" kata Rakha santai.
Dari ponselnya nampak video adegan kejadian di sekre tadi. Aksi dorong juga bentakan hingga hukuman push up Said, tergambar jelas di video itu. Bahkan Said yang nyebar brosur di jalan sambil panas-panasan juga sempat di rekam Dimas.
Mata kelima orang yang melihat video itu langsung melotot. Rony bahkan langsung mencengkram kerah kemeja Rakha, "Lo siapa anjing? Gue nggak ada masalah sama lo ya, maksud lo apa!"
Rakha melepas cengkraman Rony dan menatap nyalang padanya tanpa ada rasa takut.
"Kenalin gue Rakha! Gue nggak peduli sama si Cupu itu, tapi... cewek yang lo dorong tadi, cewek gue!" balas Rakha santai. Dimas yang berdiri di sebelah Rakha ikut tersenyum miring sambil memasukkan tangan ke saku celana, hanya menonton tidak ada niat ikut campur.
"Kalau lo nggak mau video ini sampai kesebar,
dan bikin event kalian gagal total, atau bahkan kalian semua kena DO, jangan pernah ganggu cewek gue lagi!" ancam Rakha yang penuh intimidasi di setiap katanya.
"Dan lo," Rakha menunjuk Resty tepat di wajahnya.
"Beruntung gue sangat mengasihi makhluk yang namanya perempuan, jadi kali ini lo gue maafin. Tapi kalau sekali lagi lo dorong cewek gue, gue nggak akan anggap lo makhluk indah itu lagi, tapi anj... ups sorry gue nggak mau kasar sama cewek, sorry ya beneran nggak sengaja! Lo nggak tersinggung kan?" Rakha sengaja mengerling sambil tersenyum manis ke arah Resty. Bukannya terpesona, cewek itu malah takut setengah mati. Dia tau itu ancaman, hanya gaya Rakha yang menyampaikan dengan santai.
Rony dan teman-temannya hanya mampu menahan emosi di d**a. Kali ini mereka memang salah mencari lawan. Seharusnya tidak melibatkan cewek itu yang sebenarnya memang tidak tau apa-apa.
Rakha tersenyum sinis, dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Dan berbalik meninggalkan kelima orang itu disusul Dimas di belakang.
"Brengsekk!" Rony mengumpat kesal. "Semua gara-gara lo tau!" tunjuknya pada Resty yang kini nampak pucat.