TTB 12. Piknik

1565 Words
Ica berjalan bersisian bersama Bue di sepanjang Pantai Ujung Pandaran tanpa alas kaki. Lelaki tua itu dengan hangat menggenggam tangan sang cucu di tengah udara dingin pagi hari. Tanpa kata, hanya menikmati mentari dan menyelami rasa masing-masing. Sementara itu, di dekat karang di sebelah barat pantai, Karin sedang asik berselfie, mengabadikan momen indah bersama sunrise. Begitu melihat Ica dan Bue, Karin gegas menghampiri. "Ciyeee yang semalem di tembak..." godanya. "Apa'an sih, nggak jelas!" sungut Ica. "Buee, tau nggak semalem cucu Bue ini berubah jadi Cinderella? Di tembak cowok paling ganteng se SMA! Digosipin seangkatan Bue, terkenal dia sekarang! Bisa open endorse..." cerita Karin tentu dilebih-lebihkan, dia beralih pada lelaki tua yang masih menggandeng tangan Ica, dan di hadiahi jitakan oleh sahabatnya itu . "Bue sudah tidak heran. Cucu Bue memang cantik! Orang munafik aja yang bilang Ica jelek!" "Oh yaa? Emang ada yang ngatain Ica jelek?" "Tetangga sebelah...!" Bue tersenyum penuh misteri. "Apa'an si?!" sungut Ica melihat ekspresi bue yang mencurigakan. "Tuh orangnya nongol!" tunjuk Karin. Di kejauhan dua mobil sedang memarkir sejajar di area khusus tamu vila. Satu persatu penumpang mobil keluar dan terlihat repot mengeluarkan bawaan masing-masing. "Caa, bantuin!" teriak Mama. Ica mencebik tapi ikut berjalan mendekat bersama Bue dan Karin. "Bue tunggu sini aja!" kata Ica saat melewati sebuah gazebo. Terlihat Ayah dan Papa mengeluarkan alat pancing masing-masing, sedang Rakha membawa gitar andalannya. Ngomong-ngomong Rakha, sekarang Ica merasa agak keki bertemu cowok tengil itu. Mungkinkah karena tidak sengaja menonton adegan live kissing semalam? Ica sekuat tenaga berusaha bersikap sewajarnya. Dia terus melangkah ke arah mobil orang tuanya. Meski tidak ingin menatap ke arah Rakha. "Semalem pulang jam berapa?" tanya Papa saat Ica menyalami punggung tangannya. "Jam 11 Pa, kalo nggak percaya tanya aja Karin!" jawab Ica yang langsung di angguki Karin. "Kalau om nggak percaya tanya aja om Panji," tunjuk Karin lagi ke arah pria berbadan gempal yang sedari tadi tak putus-putus menelpon. "Terang aja dapet izin, pake jasa pengacara," cibir Rakha dalam hati. Dia tahu Om Panji itu asisten Papanya Karin yang seorang pengacara. "Khaa, bantuin angkat termos nasi!" itu suara Kak Ane yang kesusahan membawa barang bawaan sendiri sementara Rakha hanya menenteng gitarnya. Rakha sudah kembali memutar langkah ingin membantu Kak Ane, tapi melihat Ica dan Karin juga berada di dekat mobilnya, Rakha jadi mengurungkan niatnya. Dia mencoba mengurangi interaksi dengan Ica. Ingat kejadian tadi subuh dia jadi malu sendiri. Masa sahabat sendiri dia jadikan objek fantasi di kamar mandi. Rakha merasa otaknya rada gesrek. Rakha memilih menghampiri Bue yang duduk santai di gazebo melihat Mama dan Bunda yang sibuk menggelar tikar. Mencoba mengambil hati, takut kalau Bue lagi mode kumat, Rakha inisiatif menyanyikan sebuah lagu. 'Jrengg' "Lagu ini khusus untuk Bue, aki-aki paling keren se-Pantai Ujung Pandaran!" Jika memang dirimulah tulang rusukku Kau akan kembali Pada tubuh ini Ku akan tua dan mati Dalam pelukmu Untukmu seluruh nafas ini Jika memang kau terlahir Hanya untukku Bawalah hatiku dan lekas kembali Ku nikmati rindu yang datang Membunuhku Untukmu seluruh nafas ini Untukmu seluruh nafas ini Sambil memetik gitar dan bernyanyi mata Rakha awas memandang ke arah Ica yang makin mendekat. Suara Rakha memang bagus maka tak jarang dia diminta bernyanyi mengisi acara sekolah. Semakin banyak lah cewek yang bertekuk lutut dengan pesonanya. Hanya saja segudang prestasi Rakha tertutup sifat tengilnya di mata Ica. Sementara itu, Ica nampak kesusahan membawa wadah makanan besar yang dipeluknya. Sesekali dia berhenti, entah untuk membenarkan lengan bajunya, menata rambutnya atau mengelap keringat. Mungkin karena mimpi semalam, cara Rakha memandang Ica sedikit berbeda. Gadis itu tiba-tiba sangat imut dan anggunly di mata Rakha sekarang. Tapi tiba-tiba sosok yang tidak disukai Rakha sejak tadi malam muncul menghampiri Ica. Lelaki tinggi dengan perawakan yang hampir mirip dirinya, hanya saja cowok itu berkulit putih bersih, Daniel. Dia nampaknya baru saja kembali joging terlihat dari pakaian yang digunakannya. Area vila dan resort Daniel memang searah. Entah mengapa Rakha menjadi kurang respect terhadap cowok ini, padahal biasanya dia biasa saja meskipun sering mendengar orang menyanjung Daniel setinggi langit di depannya. Terlihat Ica nampak tersenyum dan Karin yang tiba-tiba bersemangat. Daniel membantu membawakan barang di tangan Ica, dia juga nampak berkenalan dengan Kak Ane. Rakha jadi gerah melihatnya. "Kamu kelamaan Kha, keburu di gaet orang!" celetuk Bue tiba-tiba. Rakha memutar arah pandangnya, "kelamaan apa Bue?" "Kelamaan sadar sama perasaan sendiri," Bue lalu terkekeh dan beralih melambai pada Panji agar mendekat. Rakha masih meresapi kalimat Bue, sampai suara berat seseorang menyapa. "Hey bro!" tiba-tiba saja Daniel sudah berdiri di depan Rakha. Rakha memaksakan senyum dan mengepalkan tangan lalu tos ala laki-laki dengan Daniel. Meski terkesan kaku. "Ya ampun siapa ini Kha?" itu Bunda yang mengambil barang bawaan dari tangan Daniel. "Kenalin, saya Daniel tante," Daniel mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. "Ganteng banget, cocok sama Ica," meski menghadap Daniel tapi mata Bunda melirik ke arah Rakha. Daniel mesem-mesem di tembak langsung begitu. "Kalau Ica mau, saya juga mau tante," katanya sambil melirik Ica dengan tersenyum lebar. "Apa an si?" gerutu Ica sambil memukul bahu Daniel. "Ihh pegang-pegang..." goda Bunda. "Bunda..." sewot Ica manyun sambil menjauh. Sumpah Rakha kepanasan melihat adegan itu. Dia jadi pengen nyelam ke laut biar adem. "Eh monyet, enak banget lo duduk-duduk doang nggak bantuin. Berat ini!" itu Kak Ane menunjuk Rakha dengan matanya yang melotot. Rakha nyengir aja tak ingin berdebat dengan perempuan di depan Daniel. "Yuk nak Daniel sekalian ikut makan sama-sama!" ajak Mama Amel. "Nggak usah tante makasih, udah ditungguin Papa di resort mau balik ke kota." "Ya udah, terimakasih ya bantuannya. Eh ngomong-ngomong kalau mau sama Ica bisa aja tanya sama tante. Ica itu kayak anak tante sendiri. Dia juga nurut apa kata tante." Bunda kembali memanas-manasi. "Oke tante, thanks ya. Daniel pergi dulu." Mood Rakha semakin bertambah buruk, wajahnya semakin tertekuk seiring dengan semakin lebar senyum sumringah Daniel. Setelah kepergian Daniel mereka mulai makan bekal yang dibawa dari rumah. Para orang tua duduk melingkar di gazebo sedangkan anak muda duduk di bawah beralas tikar. Awalnya Ica ingin duduk bersama para tetua di atas, tapi benar-benar sudah tidak ada tempat untuknya. "Om Panji ngabisin tempat," celetuk Ica. "Eh saya tuntut kamu yaa," balas Om Panji yang disambut tawa semua orang. Terpaksa Ica melipir di bawah, mau mepet dengan Kak Ane, dia males dekat-dekat dengan Rakha. Tapi lagi-lagi keduluan Karin. Tak punya pilihan, Ica akhirnya duduk di sebelah Rakha. Hening. Hingga cowok itu berbisik dengan mencondongkan bandan mendekat, "Lo jadian sama Daniel?" "Enggak." jawab Ica dengan mulut penuh makanan. "Kenapa? Bukannya dia tipe lo?" Rakha menghentikan suapannya. "Bukan, sok tau lo!" Rakha tersenyum samar, dalam hati dia bersorak karena Ica tidak menjalin hubungan lebih dengan Daniel. Pengen sujud syukur cium tanah saking senengnya. Ica mengambil potongan d**a ikan dan meletakkan ke piring. Tapi di ambil lagi oleh Rakha dan menukar dengan miliknya yang bagian ekor. Ica ingin protes tapi tidak jadi mendengar kalimat Rakha. "Kena sambel itu," kata Rakha penuh perhatian masih sambil menyuap lagi. Dia tau Ica nggak bisa makan pedas. Ica diam saja lalu kembali makan. Dia balik meletakkan rebusan kentang dan wortel kesukaan Rakha dari piring nya ke piring Rakha. Tidak ada kata lagi hanya makan hingga semua terisi ke perut. Tapi mereka tidak menyadari semua mata melihat interaksi mereka sambil menahan senyum. Karin yang juga ikut mengamati dari tadi mengamini dalam hati. "Fix, Rakha suka Ica, Ica juga punya rasa yang sama." Selesai makan, Ayah dan Papa lanjut memancing. Sementara Bue dan Om Panji kembali beristirahat di villa. Rakha yang moodnya telah kembali, tersenyum senang melihat Ica yang sibuk menata beberapa buah dan minuman kaleng dalam box, sisa makan mereka. Melihat wajah serius Ica, Rakha jadi gemas sendiri. "Awas Ca, kodok belakang lo!" tunjuk Rakha tiba-tiba ke arah belakang tubuh Ica. "Aaaaa!!" sontak Ica berdiri dan menghambur naik ke atas gazebo jingkrak-jingkrak. "Mana ada kodok di pantai Ca, percaya aja lo sama Si Rakha. Yang ada juga kadal, noh dia kadalnya!" tunjuk Kak Ane ke arah Rakha yang sedang terpingkal. "Rakha, kamu iseng banget sih! Pantes aja Ica nggak mau sama kamu!" hardik Bunda ikut jengkel. Ica yang tidak terima ingin membalas Rakha, dia mengambil air sisa cucian dan bersiap menyiram Rakha. 'Byurr' "Nggak kena!" ejek Rakha sambil menjulurkan lidahnya. "RAKHA!!!" Ica berlari mengejar Rakha yang mengarah ke bibir pantai. Sesekali Ica melempari Rakha dengan batu kecil namun selalu saja meleset. "Awww!" pekik Ica tiba-tiba sambil menunduk memeriksa kakinya. "Gue nggak bisa lo kibulin Cacamarica!" Ica tetap diam, mengamati kaki yang memang tanpa alas itu dan sesekali mengelap sudut matanya. Melihat tidak ada reaksi Ica, Rakha mulai ragu kalau Ica hanya sedang berakting, diapun perlahan mendekat. "Coba gue liat!" katanya ikut jongkok di depan Ica. 'Byurr' tiba-tiba saja Ica berhasil menyiram Rakha dengan air laut bercampur sedikit pasir yang dia kumpulkan dengan tangan. "Ica!!" Ica menjulur lidah dan siap berlari menghindari balasan Rakha. Tapi kali ini kakinya benar-benar terinjak ranting hingga mengeluarkan darah. "Aduhh duhh sakit!" "Kualat kan lo!" kata Rakha memeriksa kaki Ica yang berdarah, dia meniup-niup pelan luka itu untuk mengurangi perihnya. Ica jadi salah fokus melihat bibir Rakha yang monyong-monyong di depannya. 'Ihh bibir itu yang tadi malam cium Zara kan? Seksi banget! Tapi udah berapa bibir yang dia cium,' batin Ica. Rakha juga sebenarnya tak kalah salfok berada sedekat ini dengan Ica. Dia curi-curi pandang ke arah bibir Ica yang manyun karena kesakitan. Bibir yang tadi malam dia cium sampai bengkak dalam mimpinya. Bahkan paginya dia jadikan objek fantasi di kamar mandi. 'Ah sial! tiba-tiba adik kecilnya bereaksi!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD