DALAM HUJAN

2476 Words
            Musim hujan datang lebih cepat. Hari yang tadinya cerah tiba-tiba saja dirundung mendung. Angin yang berhembus tidak hanya membawa kesejukan tapi juga membawa awan hitam yang siap mengguyur kota dengan air. Petir mulai menyambar dan membuat beberapa siswa di SMA Bhakti ketakutan, begitu pula dengan Mei, gadis manis, bertubuh mungil dan berambut sebahu ini begitu kaget saat kilatan petir bergurat di atas langit.             “Gimana kita bisa pulang Mei? Bentar lagi kan jam pulang sekolah,” tanya Dyah, teman sebangku Mei.             “Semoga hujan belum turun Yah. Rumah aku kan jauh. Aku gak bawa  payung pula,” jawabnya lirih agar guru yang sedang mengajar di depan kelas tidak mendengar percakapan mereka. Petir beberapa kali menyambar dan membuat Mei menutup telinganya. Beberapa saat kemudian hujanpun turun. Mei mulai khawatir kalau ia akan pulang terlambat hari ini. Lagipula hujan itu tidak bisa diprediksi kapan akan berhenti.             Bel pulang berdering. Murid-murid bergegas pulang karena hujan masih gerimis. Ada yang dijemput oleh orang tuanya, membawa kendaraan sendiri, naik angkutan umum bahkan ada yang jalan kaki. Dan Mei adalah salah satu dari mereka yang naik angkutan umum. Jarak antara tempat tinggal Mei dan sekolah cukup jauh. Dia harus dua kali berganti angkutan umum dan dilanjutkan berajalan kaki selama 5 menit untuk sampai ke rumahnya.             Tidak sulit mendapat angkutan umum dari sekolah Mei. Dia menaiki angkutan yang sudah setengah penuh di depan sekolahnya. Hujanpun mulai berubah deras. Mei berharap hujan akan berhenti sebelum dia turun. Angkutan itu akhirnya melaju setelah Mei dan beberapa murid SMA berada di dalamnya. Setelah 10 menit, Mei menghentikan angkutan itu untuk melanjutkan perjalanan dengan angkutan yang menuju kea rah tempat tinggalnya. Ia berteduh sebentar di halte bus dan kemudian naik angkutan yang baru saja behenti di depannya.             Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Mei pasrah jika nanti akan basah kuyup. “Seragam satunya sudah di cuci apa belum ya? Ini kan masih hari Senin. Kalau belum besok pake saragam apa ini?” tanyanya dalam hati.             “Stop, Pak,” Mei menghentikan angkutan setelah sampai di sebuah pasar. Ia membayar ongkos dan kemudian bergegas turun dari angkutan. Mei mengangkat tasnya dia atas kepalanya. Matanya bergerak mencari tempat berteduh dan tertuju pada sebuah warung yang sudah tak terurus lagi yang berada tepat didepannya. Tanpa pikir lagi ia segera berlari kesana karena hujan malah semakin deras. Seragamnya sudah setengah basah. Sepatunya penuh dengan air. Ia memeriksa isi tasnya berharap menemukan sandal atau kantung plastic untuk membungkus sepatunya yang basah tapi ia tak menemukan apapun kecuali buku-buku pelajarannya yang lembab.             Mei mengerutkan wajahnya dan memandangi air yang jatuh dari langit. Tangan lembutnya mulai memainkan air yang terus jatuh itu. Tanpa ia sadari, ada seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari Mei. Seorang pria 20 tahunan yang tinggi, berkulit putih dan juga tampan. Ia memperhatikan Mei dengan seksama kemudian tersenyum geli melihat tingkah Mei yang seperti anak kecil.             Mei mulai menyadari kalau ada seseorang yang sedang berteduh di sana juga. Ia menoleh kearah pria itu dan pada saat bersamaan pria itu mengalihkan pandangannya dan juga senyumnya pada Mei. Saat melihat wajah pria itu, Mei seperti pernah melihatnya di suatu tempat, tapi entah dimana. Mei sama sekali tidak bisa mengingatnya.             “Orang ini seepertinya pernah bertemu, tapi dimana? Haruskah aku menanyainya? Tapi SKSD banget,” gumamnya dalam hati.             Suasana menjadi hening. Mei tak lagi memainkan tetesan hujan. Ia bersandar di tembok warung yang catnya sudah kusam. Pria itu juga sama. Ia bahkan menutup matanya karena mulai mengantuk. Akhirnya hujan mulai reda. Mei bergegas pulang karena hari sudah senja tanpa menoleh kearah pria yang membuka matanya dan tersenyum saat memandang Mei pergi.             Sesampainya di rumah, Mei segera menjemur seragamnya dan buku pelajarannya dan juga membersihkan dirinya. Ia terfikir lagi tentang pria yang tadi berteduh di tempat yang sama dengannya. Ia yakin sekali bahwa ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan pria itu. “Semoga bisa bertemu lagi dengan orang itu,” cetusnya.             Keesokan harinya Mei jadi harap-harap cemas apakah hari ini akan turun hujan lagi atau tidak. Cuacanya tidak mendung tapi juga tidak cerah. Secara tidak sadar, Mei berharap  hari ini akan turun hujan lebat agar dia bisa berteduh di tempat yang sama. Berteduh menunggu hujan reda. Berteduh bersama orang yang sama.             “Kenapa aku berfikir seperti itu ya?” tanyanya dalam hati lalu tersipu malu.             “Kenapa Mei? Kok kamu senyum-senyum sendiri?” tanya Dyah yang merasa gelagat Mei sangat aneh.             “Enggak Yah. Cuma aku kemarin ketemu cowok ganteng banget. Tapi bukan itu sih point pentingnya.”             “Terus kalau bukan itu apa?”             “Mukanya itu familiar banget. Kayaknya pernah ketemu dimana gitu sama masnya.”             “Dalam mimpi kali?” ledek Dyah.             “Ya enggak lah Yah,” ujar Mei sambil mencubit pipi sahabatnya yang cubby. “Moga-moga ketemu dia lagi ya,” ujarnya lagi sambil tersenyum.             Sepertinya Tuhan mendengarkan doa Mei. Awan-awan mulai menghitam dan petir mulai menyambar. Mei yang biasanya cemas dan takut jika hujan turun kali ini berbeda. Wajahnya terlihat begitu puas dan senang sampai-sampai jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ia merasakan hhal seperti ini, benar-benar pengalaman pertamanya.             “Yah, aku duluan ya,” kata Mei saat bel pulang berbunyi.             “Cepet banget? Masih hujan Mei,” Dyah mencoba menghentikan Mei karena hujan masih sangat lebat namun Mei tak menghiraukannya.             Seperti biasa, mei tak membutuhkan waktu lama untuk mendapat angkutan umum yang menuju rumahnya. Setelah melewati rute yang biasa ia lewati, ia turun di pasar dekat rumahnya dan matanya langsung mendapati pria itu di warung yang sama. Mei bergerak ke sana dengan alasan menunggu hujan reda.             Pria itu tengah asik membaca sebuah buku. Mei mencuri-curi pandang untuk melihat sampul buku itu tapi sepetinya itu adalah buku biasa. Tiba-tiba saja ponsel pria itu berbunyi. Ia meletakkan bukunya di atas meja yang entah sejak kapan berada di sana.             “Iya Ma?” kata pria itu saat menjawab teleponnya. Mei juga berkonsentrasi untuk mendapatkan informasi tentang pria itu. Minimal ia tau siapa nama pria itu.             “Enggak, Adit masih kejebak hujan. Nunggu reda dikit, Ma.” Mei mengangguk-angguk saat mendengar Adit menyebutkan namanya. “Jadi namanya Adit,” pikir Mei.             “Iya, Ma. Beres deh,” jawab Adit saat mengakhiri percakapan dengan ibunya di telepon.              Dalam hati, Mei sangat girang. Ia bisa tahu siapa nama pria itu dan juga bagaimana suaranya. Suara Adit yang berat dan serak memenuhi pikiran Mei secara tiba-tiba. Entah apa yang terjadi sebenarnya tapi sejak pertemuannya dengan Adit kemarin hati Mei jadi berbunga-bunga. Bibirnya selalu tersenyum senang. Dan sekarang perasaan grogi sedang menghinggapinya saat ia bertemu dengan Adit. Wajahnya sekarang berubah merah padam. Telingganya tersa panas dan jantungnya berdegup sangat kencang. “Apa ini efek karena mengetahui nama dan juga mendengar suara Mas Adit?”             Ditengah rasa grogi Mei, Adit pergi meninggalkan tempat itu. ia masuk ke dalam pasar. Sepertinya ada sesuatu yang harus ia lakukan setelah ibunya menelpon tadi. Tapi ada sesuatu yang Adit lupa, buku yang ia letakkan di atas meja. Mei yang melihat buku itu langsung menggambilnya dan membaca isi buku itu. Ia tercengan melihat isi buku yang dibaca oleh Adit tadi. Mei memeriksa halaman per halaman dan isinya dalah sama, puisi.             “Jadi ini kumpulan puisi? Tapi dia kemana? Boleh ya aku baca sambil nunggu dia balik ke sini?” ujarnya.             Mei membaca buku itu dengan seksama. Buku dengan tulisan yang rapi dan puisi yang begitu menyentuh hati. Buku itu sangat mengagumkan bagi Mei. Ia belum membaca seluruh halaman tapi ada satu puisi yang jadi favoritnya dengan judul Salju. SALJU BEKU Tatkala hati melintasi pikiran Menjamu angan yang kian melayang Meramu asa yang terus terbayang Lambat laun sesal terasa Hati bergeming bagai manara guncang Mematung di jalanan Melantunkan nada yang tak kunjung usai Bagai ratapan sang teraniaya Menyapu angin dalam hening Membuat daun jatuh berguguran Bergeming dalam lara ketidakpastian hati Terpasung sedemikian rupa Member harapan yang kian semu Tempat hangat berubah dalam sekejab Dalam kegelapan bagai lautan salju beku                “Ini keren banget,” pekik Mei. “Tapi Mas Adit kemana sih? Kok gak balik juga? Hujan juga udah berhenti. Ini buku aku bawa pulang apa ditaruh sini aja ya?” Mei gusar. Ia meletakkan buku itu di atas meja tapi kemudian ia ambil lagi. “Kalau dia balik, kalau dia udah pulang nanti bukunya malah hilang. Kan sayang.” Akhirnya Mei memutuskan untuk membawa serta buku milik Adit itu bersamanya.              Hari ini hujan turun lagi. Mei berteduh di warung itu seperti biasa. Ia mengeluarkan buku Adit dari tasnya. Jika nanti Adit berteduh di sini, Mei berniat untuk mengembalikan buku itu. ia bahkan memberikan sampul plastik agar buku itu tidak lecek dan lusuh.             Sudah setengah jam hujan turun tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Adit. Mei mulai cemas. Mungkin Adit tidak kesini hari ini. Lagipula untuk apa dia setiap hari pergi ke pasar ini. tapi jika ia tidak bertemu Adit, bagaimana caranya ia mengembalikan buku itu. pada akhirnya Mei pulang tanpa bertemu dengan Adit. Ia sesekali menoleh ke warung tempatnya berteduh, berharap Adit tiba-tiba muncul tapi harapannya tak jadi nyata.             Mei berbaring di tempat tidurnya. Ia membuka-buka buku itu, mungkin saja ada alamat yang bisa ia ketahui. Sayangnya sampai halaman terakhir tak ada tulisan tentang biodata si penulis, Adit.             “Gimana ini? Apa seharunya waktu itu aku gak ambil buku ini?” tanya Mei pada dirinya sendiri dengan gusar. “Pasti Mas Adit kelimpungan nyariin buku ini. Mudah-mudahan besok ketemu.”             Mei merasa ada yang bergetar disampingnya. Ia melihat ponselnya dan mendapati nama Dyah di layar ponselnya. “Ngapain dyah nelpon malem-malem gini?” tanya Mei sembari menerima panggilan. “Halo Yah, ada apa? Tumben malem-malem gini nelpon?”             “Kamu gak denger pengumuman tadi?”             “Pengumuman apa?”             “Ah, kamu sih buru-buru pulang melulu. Tadi itu ada pengumuman kalau dua hari lagi kita ada study tour ke Bali.”             “Eh? Kok mendadak Yah?” tanya Mei kaget.             “Iya, kata Bu anis seharusnya masih seminggu lagi. tapi berhubung minggu depan ada acara lomba karya ilmiah nasional jadi dimajuin. Kan sekolah kita jadi tuan rumahnya,” jelas Dyah.             “Kok aku gak tau ya Yah?”             “Makanya jangan ngurusin mas siapa itu namanya? Adi?”             “Adit!”             “Ah iya itu. kita tiga hari di sana.”             “Lama bener tiga hari? Oke deh. Makasih ya infonya.”             Mei memutuskan panggilannya. Ia sedikit kecewa karena selama tiga hari akan pergi ke luar kota jadi ia tidak bisa bertemu Adit dan mengembalikan buku itu. “Mas Adit, maaf ya.”               Tiga hari telah berlalu. Mei dijemput Ayahnya dari sekolah karena barang bawaannya banyak sehingga tidak mungkin untuk naik angkutan umum. Mobil ayah melaju melewati pasar. Mei mendapati ada sesuatu yang berbeda di sana. Warung yang sudah tidak terurus yang jadi tempat berteduhnya selama ini telah berubah. Warung itu kini lebih cantik dengan cat berwarna hijau. Dinding depan berganti dengan jendela kaca yang besar. Di halaman depannya terdapat dua buah kursi dan sebuah meja.             “Pa, itu toko baru?” tanya Mei.             “Iya, baru buka kemarin. Itu toko roti. Kemarin waktu grand opening ada tester gratis terus Mama mampir kesitu. Katanya rotinya enak-enak sih, tapi Papa belum sempet nyobain. Emang kenapa?”             “Enggak apa-apa kok Pa.” ujar Mei.             Mei sempat melihat siluet Adit di dalam toko dan juga sebuah motor yang terparkir rapi di luar. Motor berwarna kuning yang juga familiar dimatanya. Mei mulai teringat sesuatu tentang motor itu tapi semuanya masih sangat samar.             Ayah Mei menghentikan mobil di jalan turunan. Karena akses jalan yang sempit, mobil harus bergantian melewatinya. Mei melihat mobil yang melewati mobilnya dengan perlahan. Ia seperti de javu. “Jalan ini? Motor?” tanya Mei tercengang. Saat itu juga ia ingat tentang sebuah motor dan pengendaranya. Ingatan saat dia masih SMP kembali menghinggapinya. Saat itu dia sedang berjalan menuju rumahnya seperti biasa. Di jalan yang sama dengan jalan yang ia lewati sekarang, ada sebuah motor yang melaju. Saat itu di jalan hanya ada dia dan juga pengendara motor itu. Saat berpapasan dengan Mei, pengendara motor itu terus saja melihat ke arah Mei. Mei yang masih polos melihat ke arahnya juga. Mereka terus berpandangan sampai keduanya mengambil belokan dan tak terlihat lagi satu sama lain. Kala itu Mei hanya berfikir kenapa orang itu melihatnya seperti itu.   Mei mengingat kejadian itu sekali lagi. Ia memejamkan mata dan meyakinkan diri bahwa motor yang diapaki pengendara itu adalah motor yang sama dengan motor yang terparkir di depan toko roti dan pengendaranya adalah ADIT! “Tatapan itu, tatapan mata itu beneran Mas Adit?” Mei benar-benar terkejut. “Jadi orang itu Mas Adit? Beneran Mas Adit?” Mei masih tidak percaya dengan ingatannya. Ia membuka tasnya dan mengambil buku puisi Adit. Ia membuka dua halaman terakhir. Di dalamnya ada puisi yang baru saja ditulis oleh Adit dengan tanggal 26 Desember.   DALAM HUJAN Jalan itu masih saja berhamburan Tatapan itu masih terus menatapku dalam diam Hujan ini begitu menyejukkan Hingga hati ini berdendang riang Jika aku hatimu pasti kita akan bertemu Jika kamu hatiku pasti kita kan bersatu Ini rahasia Tuhan Tapi ini juga rahasia besarku           “Puisi ini bukankah sangat mirip? Tanggal 26. Aku dan dia bertemu tanggal 25 Desember kan? Berarti dia,” Mei menebak-nebak apa yang terjadi dan siapa Adit. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia tertawa begitu keras karena semua isi pikirannya.         “Kamu itu kenapa sih Mei? Kok ketawa-ketawa gitu?” tanya Ayah Mei yang kaget dengan tawa keras Mei.          “Mei menang lotre, Pa,” jawab Mei singkat sambil tertawa.          “Jaman sekarang masih ada lotre?” gumam ayah Mei.          Sesampainya di rumah, Mei segera memasukkan barang-barangnya ke dalam kamar. Ia langsung berpamitan pada kedua orang tuanya untuk pergi membeli roti. Ia membawa buku pusisi milik Adit. Ia tak sabar ingin segera bertemu dengan Adit sampai-sampai ia berlari agar cepat sampai pasar.         Mei mengontrol emosinya. Ia berusaha untuk tampak sewajar mungkin. Ia memantapkan hati untuk masuk ke dalam toko roti yang masih belum jelas ada Adit atau tidak di dalamnya. Mei membuka pintu toko dan melihat Adit berada di balik meja kasir. Adit tersenyum ramah pada Mei yang baru saja datang. Mei membalas senyuman Adit dengan senyum manisnya dan mendekati meja kasir.         “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Adit ramah yang membuat hati Mei meleleh.         “Saya mau mengembalikan ini,” Mei menyerahkan buku yang ia bawa pada Adit. “Ini punya Mas kan? Waktu itu ketinggalan,” ujar Mei malu-malu.         Adit menerima buku itu dan memeriksa isinya. “Ah, iya. Makasih ya udah mau balikin, Mei.” Mei terbelalak karena Adit mengetahui namanya. “Kok Mas tau nama aku?” tanya Mei heran.         “Kamu belum baca halaman terakhir?” tanya Adit serius. Mei menggeleng dan tersenyum. Adit tidak percaya kalau mei belum membaca halaman itu dan kemudian memukul kepalanya dengan buku itu perlahan sambil tersenyum juga. Mei telah membaca puisi di akhir halaman setelah ia sampai di rumah. Puisi yang berjudul Untuk yang begitu menggambarkan sosok Mei. Puisi indah yang tak mungkin Mei lupakan samapi kapanpun.   SELESAI                 

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD