“Apa kau butuh bantuan Dior ?” Dhaffin berinisiatif menawarkan dirinya setelah berdiam diri melihat dari belakang bagaimana sang wakil kapten berkutat dengan beberapa peralatan dapur dan juga asap bau gosong yang menguar hingga ruang tengah. Pria yang dikenal sebagai pria paling hebat di grup ini rupanya menghabiskan seluruh bakat yang dia punya dalam bidang karirnya. Sebab dalam hal lain, pria ini sangatlah payah Dhaffin bisa menyimpulkan demikian ketika melihat sendiri hasil olahan pria tampan nan supel tersebut. Meski tentu saja raut ekspresi bersalah dan khawatir secara gencar dia coba tutupi tapi hal tersebut tidak mempan terhadap Dhaffin.
“Tidak perlu, ini hanya hal yang sederhana aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Sebaiknya kau tunggu saja.” Dior bahkan mencoba menutupi segala dosanya dengan gelak tawa yang terdengar hambar. Hal tersebut semakin tidak membuat situasinya nyaman. Justru Dhaffin malah makin tak bisa menyerahkan urusan perut ini pada Dior lagi. Sikapnya yang serampangan, juga bumbu yang salah? Ya, Dhaffin melihat sendiri pria itu memasukan banyak sekali gula kedalam spaghetti. Komponen yang jelas salah dalam komposisi spaghetti.
“Tapi, kurasa sudah tidak ada harapan untuk ini—“ Dhaffin berkata jujur pada sang pria, bahkan pemuda itu setengah memaksa sang pria untuk menyerahkan panci yang dipegangnya segera. Sebelum hal yang lebih buruk terjadi. Dhaffin tidak ingin mengambil resiko untuk perutnya hanya karena memakan olahan mengherankan ini untuk landing di mulutnya. Tidak. Tentu saja Dhaffin tidak akan pernah mau memakan benda ini.
“Tidak apa-apa Dhaffin. Sungguh, lagipula ini sudah hampir selesai, Edna dan Keyva sering sekali mempercayakan aku menjadi koki diapartement ini.” katanya dengan percaya diri, dengan terus saja berkutat dengan panci ditanganya. Sambil beratraksi pula melemparnya ke udara. Dhaffin tak percaya benda yang dia sebut sebagai spaghetti itu malah tetap jatuh dan utuh kembali kepanggangan. Padahal Dhaffin berdoa didalam hati jika benda itu semestinya jatuh dan berserakan dilantai ketimbang harus masuk keperutnya.
“Bisa tolong ambilkan piring saja? Kurasa aku lebih suka kau membantuku untuk bagian preparation.” Katanya lagi dengan senyuman yang memamerkan seluruh gigi dimulutnya. Sebenarnya dimana semua orang sampai Dhaffin perlu dengan sangat bersama dengan Dior dan menjadi kelinci percobaan pria itu untuk menjadi pencicip makanannya. Bisakah dirinya mempercayakan dirinya terhadap masakan aneh yang dibuat Dior? Atau lebih tepatnya bisakah makanan aneh itu dimakan dan terjamin mutunya hingga tak membuatnya keracunan?
***
Aku menggerak-gerakan tubuhku sendiri dengan gelisah. Hampir terlalu banyak gerakan yang kubuat sampai punggungku menghantam dinding kamar. Ponsel ditanganku masih tergenggam dengan erat, ekspresi wajahku masih sama seperti terakhir kali kabar itu kudengar dan kuterima. Aku tak bisa mempercayai apa yang barusan kudengar. Sesuatu yang sejatinya tak harus terjadi setidaknya untuk sekarang. Terhadap dirinya. Terhadap seorang pemuda yang naif –Dhaffin. Aku yang menerima misi ini tanpa sekalipun dilingkupi oleh stigma dan prasangka justu malah harus mendapati realita yang tidak serupa. Siapa yang menyangka jika permasalahan sepele itu malah menajdi sebuah bentukan baru dari problematika yang cukup dalam bahkan serumit ini. Bukankah nyatanya ini terlalu berlebihan?
“Bagaimana Luxor? Seharusnya tidak ada sedikitpun kesulitan darimu untuk melakukan hal ini. Kau hanya perlu menunggu hingga waktunya tepat.” Ujaran seseorang dari balik sambungan saluran komunikasi kembali membawa jiwanya berada pada tempatnya. Orang tersebut sangat santai dan tak mau peduli. Dan hal itulah yang membuatku mendesah kesal, kepalaku berdenyut nyeri sampai aku perlu memijit pelipisku sendiri untuk meredakan apa yang aku rasakan.
“Tapi ini tidak akan adil bagi Dhaffin Ketua,” suaraku mungkin terdengar berat sekarang. Sebab aku sedang mencoba menahan sesuatu yang memang seharusnya aku tahan. Perasaannya sendiri. Keberlangsungan misi dimanapun aku ditempatkan adalah menahan rasaku sendiri. Dan untuk seluruh misi yang kujalani aku bisa dengan mudah melakukannya tanpa perlu merasa dipusingkan seperti ini. Tapi sekarang? Mengapa begitu sulit bagiku untuk mengontrol hati dan perasaanku. Sekali lagi ku ujarkan pada diriku sendiri jika aku adalah seorang professional. Seorang anggota intelijen berkuasa dan terlatih menjalani semua misi tanpa cacat maupun kegagalan. Aku harus sadar akan hal itu lagi. Kuharap aku menerima tamparan keras untuk bisa menghapus seluruh empati yang aku punya dalam diriku seperti dahulu.
“Aku tahu soal itu.” Lanjut sang lawan bicara yang kupanggil dia sebagai ketua. “Seiring berjalannya waktu Dhaffin harus dilatih agar dirinya terbiasa menghadapinya. Dan, karena itulah aku mempercayakan dia kepadamu, Luxor. Aku tahu ini bukanlah jenis pekerjaan yang sesuai dengan bidangmu. Tapi inilah bentuk dari kepercayaanku padamu. Aku yakin kau bisa menyelesaikannya dengan sempurna seperti dirimu yang biasanya.”
Aku tak bisa dengan mudah menerima ini. Diantara memikirkan takdir hidupku dengan sesuatu yang kuanggap sebagai kewajiban sejatinya terlampau sulit untukku. Meski ini bukanlah jenis kewajiban yang secara pasti, tapi lebih pada merujuk pada sebuah kepercayaan yang merangkap sebuah ideologi. Jenis kelemahanku, sesuatu yang telah kupegang sejak dulu. Melindungi. Karena terlalu banyak hal yang diambil dariku secara paksa, maka secara naluriah timbulah inginku untuk melindungi sesuatu secara harfiah. Sesuatu yang aneh sekaligus menarik keras bagian dalam diriku bagai pegas. Tertanam sedemikian paten hingga ke akar jantung, sesuatu yang terlalu disayangkan jika harus musnah atau melebur bersama dengan beberapa hal dalam duniaku. Entitas nyata yang muncul secara tiba-tiba didepan diriku. Dhaffin.
Siapa Dhaffin bagiku? Entahlah keluarga bukan. Teman bukan. Saudara apalagi. Dia bukanlah jenis manusia yang semestinya kuberikan empatiku padanya, bukan pula seseorang yang harus aku lindungi dengan iringan dan dorongan motivasi hati. Pemuda itu bukan orang terdekatku. Dia juga bukan penyelamatku, aku merasa tidak memiliki hutang apapun padanya sampai harus sekeras ini. Dan terakhir dia bukanlah orang yang aku cintai. Tapi mengapa? Perasaan dalam diriku ini terlalu kuat untuk rela menjadi tameng baginya. Meski tubuhnya dihujam beribu peluru sekalipun? Ini terlalu lucu. Konyol. Terlalu aneh untuk dipikirkan seorang Edna Luxor sedemikian dalam.
“Kau bisa melakukannya Luxor.” Ucap sang ketua lagi. Orang itu tak henti memberiku banyak keyakinan bagi setiap pertanyaan yang tak kunjung berhenti menari dalam otakku. Segala hal yang belum pasti, segala hal yang ragu untuk bisa kupilih antara ya dan tidak. Segalanya tidak menentu. Tidak ada kepastian. “Aku juga akan membantu, begitupula rekanmu. Jadi percayalah. Percayakan segalanya pada intuisi dan hatimu. Itulah yang akan menjadi pegangan bagimu. Hanya itu yang bisa kukatakan untuk menghapus keraguan dalam dirimu.”
“Mohon intrupsi ketua. Bukankah anda menekan pada saya untuk tidak menggunakan hal-hal tak logis tersebut dalam setiap misi. Intuisi? Kata hati? Apa hal tersebut masuk akal sekarang? Saya tidak akan menganggap adanya pembicaraan ini.” sergahku cepat. Aku tidak bisa menebak maunya orang ini. Apa maksud dari setiap tindak tanduknya. Dan apa yang ingin dia sampaikan padaku dengan cara yang berbelit-belit macam ini.
“Ini perintah!”
“Katakan bila ini perintah. Apa itu berarti anda sendiri tidak konsisten terhadap apa yang anda katakan ketua? Memakai perasaan pribadi bukanlah pilihan utama. Itu prinsip saya.”
“Luxor, aku tidak pernah mengatakan padamu untuk tidak memakai hatimu saat perintah diturunkan. Hmm.. sepertinya agak sulit bagiku untuk menjelaskannya padamu. Bagaimana bagusnya ya?”
Hening. Kutunggu dia untuk menjelaskan apa yang tidak kupahami. Bagaimanapun aku berharap dirinya akan memberikanku jawaban yang bisa kuterima secara nalar dan logis. Jawaban wajar yang bisa memuaskan rasa ingin tahuku yang terlampau dalam ini. Semoga..
“Yah.. intinya pangeranmu itu membutuhkan perlindungan darimu sang kesatria wanita. Hahaha.. aku belum tahu jawaban yang paling tepat untukmu sekarang ini. Tapi kalau sudah kutemukan akan aku sampaikan padamu. Bye cantik.”
“Kapten!”
Sambungan komunikasi terputus secara sepihak. Kini benar-benar tuntaslah rasa marahku pada orang tak jelas yang sialnya memiliki reputasi tinggi sampai berada pada posisi ketua. Kesal. Demi Tuhan aku tidak tahu apa-apa soal maksud dari setiap tindakan sang ketua padanya. Bahkan rapat kecil jarak jauh ini saja malah meninggalkan rasa frustasi yang teramat tinggi padaku. Apa ini juga sesuatu yang ketua selalu katakan sebagai takdir?
“Ah persetan lah!” umpatku pada akhirnya karena pusing tak kunjung mendapatkan pencerahan. Lalu mendongakan wajahku keatas menatap langit-langit kamar. Keributan diluar sana sudah mulai mereda. Aku terlalu sibuk menggunakan otakku untuk berbincang dengan ketua ketibang memperhatikan dua orang bodoh yang sepertinya bersenang-senang dengan permainan dungu mereka.
***
“Apa yang kalian berdua lakukan sedari tadi?” tanya dari seorang satu-satunya perempuan diruangan ini mengangetkan dirinya maupun Dior. Dior yang sibuk menghias sesuatu yang dia sebut sebagai makanan tersebut meski kaget tetap pula melanjutkan kegiatannya.
“Halo Edna! Aku sudah membuat masakan yang berkelas tinggi dengan sedikit percikan seni dari tanganku yang berbakat ini—“
“Ini sampah.” Komentar pedas wanita itu benar-benar cukup sengit. Apalagi ketika iris kelamnya menatap Dior dengan tajam. Meski Dior memiliki otoritas lebih tinggi tapi dengan sedikit penekanan yang dilakukan Edna pria itu mau tak mau terlihat sedikit goyah. “Edna bukankah itu jahat sekali?”
Tiba-tiba pandangan matanya yang menakutkan dia alihkan pada sosok Dhaffin yang ikut takut terhadapnya. Spontan pria itu juga mengalihkan pandangannya. Sesungguhnya Dhaffin selalu dibuat ngeri jika Edna sudah berlaku begitu. Dia terlihat sepuluh kali lipat menyeramkannya dibanding Keyva yang notabene memiliki paras paling menyeramkan diantara mereka bertiga.
“Dhaffin.” Geramnya diakhir, mau tak mau pria itu begidik namanya disebut dengan penuh nada intimidasi. Rasanya ingin kabur, tapi kemana? Aksesnya untuk keluar saja sudah tidak dia kantongi apalagi mau kabur. “Kenapa kau membiarkan orang bodoh itu menyentuh dapur seenaknya? Kau sendiri tahu jika dia tidak bisa memasak!”
“Ah.. itu.. aku..” Demi Tuhan Dhaffin kehabisan kata-kata. Dhaffin sudah berusaha semampunya menghentikan Dior tapi, dia tak enak dan pada akhirnya memang hanya membiarkan pria itu berbuat seenaknya. “Demi Tuhan Edna, tadi aku sudah memperingatkannya tapi dia tak mau dengar.” Dhaffin segera pasang pula raut muka yang benar-benar memelas siapa tahu wanita itu mau sedikit luluh dengan ekspresinya.
“Kau pikir dia mau dengar?” wanita itu secara spontan menarik bagian atas kaos yang Dhaffin kenakan. Menggenggamnya dengan keras hingga wajah mereka dekat. Dhaffin yang terlalu terkejut dengan situasi ini, tak bisa langsung terbiasa berdekatan dengan Edna. Apalagi ketika napas wanita itu menerpa wajahnya.
“Oy.. Edna kurasa kau terlalu berlebihan. Lepaskan dia!” kali ini Dior bertindak. Meski dia cukup payah dalam beberapa hal, Dhaffin bersyukur pria itu masih cukup bisa diandalkan untuk memisahkan dirinya dari sisi Edna yang terlampau liar secara tiba-tiba. Tangan besar pria itu menepis tangan Edna yang bertengger di bagian atas baju Dhaffin. Edna menyerah dan menghempaskan pemuda itu menjauh darinya, Dhaffin terengah setelahnya. Hanya tersisa jarak dan juga baju bagian atasnya yang kusut sebagai saksi bisu atas aksi brutal yang baru saja Edna lakukan terhadap Dhaffin yang belum bisa mencerna situasi. Mengapa wanita itu terlihat marah? Mengapa dia tiba-tiba meledak tanpa alasan setelah berdiam diri didalam kamar selama beberapa waktu?
“Nah.. sekarang bagaimana kalau kita makan saja.” Dior menepuk kedua tangannya. Keheningan yang hadir diantara mereka berangsur pulih. Dior memang ahli mengganti suasana. Pria itu kembali pada perangainya yang hangat dan ceria. Edna sendiri kembali pada titik diamnya. Dia tak lagi emosional dan lebih tenang.
“Jadi apa yang kita makan?” Dhaffin ikut ambil bagian dalam suasana yang sudah susah payah pria itu bangun diantara mereka. Menatap Edna dengan sedikit kikuk. Tapi perempuan itu tidak bereaksi sama sekali.
“Tentu saja ini!” pamer Dior lagi, menyodorkan makanan hasil olahannya kedepan Edna yang sudah duduk manis di meja makan. “Nah, ayo makan!”
Dengan tenang Edna menarik sekaligus panci berisi antah berantah yang sudah disodorkan Dior padanya kemudian berjalan dengan santai menuju dapur. Mengabaikan teriakan Dior yang mengekor dibelakangnya. “Kau mau apakan makanan buatanku Edna!”
“Aku tidak akan membiarkan perutku memakan sesuatu yang lebih mirip sampah ini. Dior.”
“Kau tidak akan tahu sebelum mencobanya. Edna.” Dior masih berupaya untuk membujuk Edna. Namun wanita yang memiliki prinsip itu tidak mudah tergoyahkan oleh karena rasa dan empati semata. Dia tak mau dengar dan dengan kejam tetap melakukan apa yang dirasa perlu dia lakukan.
“Tunggu! Tungguuu! Edna jangan dibuang!” Dhaffin bisa mendengar teriakan Dior yang putus asa dari arah dapur. Hingga kemudian ada sedikit isakan juga disana. “Hiks.. Edna kau kejam sekali.. demi Tuhan kau ini wanita yang tidak punya perasaan.”
“Sampah harus dibuang. Bukan dimakan.” Komentar Edna lagi tanpa berdosa dan menyimpan panci kotor tersebut diwastafel. Siap untuk dicuci.
Meski sedikit kejam cara Edna mengeksekusi sang wakil ketua. Tapi setidaknya wanita itu perlu diapresiasi karena telah menyelamatkan perutnya daripada mengkonsumsi sesuatu yang antah berantah tersebut. Terimakasih pada Edna yang telah menyelamatkan nyawanya hari ini. Meski Dhaffin masih dibuat penasaran atas tindakan yang terlalu emosional yang Edna perlihatkan didepan mereka semua. Tanpa alasan jelas, tanpa adanya aba-aba. Apa mungkin dirinya sedang dalam masa-masa yang orang sebut sebagai sesi pramensturasi dimana perangai perempuan akan lebih mirip singa mengamuk padahal para pria tidak melakukan dosa apapun. Apa Edna sedang mengalaminya sekarang? Entahlah.. siapa tahu.