Matanya terasa begitu berat, ingin sekali rasanya menutupnya dengan rapat. Belum lagi Dhaffin merasa kelopak matanya jadi terasa bengkak. Hawa dinginlah yang memaksanya untuk tetap dapat tersadar sepenuhnya. Sebagai ekstra tambahannya hawa dingin tersebut juga menambah ketegangan terhadap otot tubuhnya. Sekujur tubuhnya terasa membeku karena hujan salju yang turun secara mendadak, kedua tangannya bahkan mati rasa sekarang. Kepulan asap dingin yang keluar dari mulutnya bisa terlihat begitu jelas. Seperti asap rokok? Ya bisa dibilang seperti itu. Gemetar diseluruh tubuh juga bila tak ditahan kuat-kuat bisa menyebabkan lututnya menekuk. Atau lebih parahnya terjatuh pada kegelapan sepenuhnya, kentara diantara kumpulan orang-orang yang lewat dengan casual. Mereka mungkin telah beradaptasi terhadap cuaca yang Dhaffin rasa terlalu ekstrim macam ini.
“E.. Edna.. sampai kapan... kita terus berdiri dan menunggu seperti inihh.. di.. disinih?” kata-kata yang keluar dari bibirnya terdengar menggelikan. Dhaffin berusaha untuk tampil seperti biasa, namun rasa dingin yang terlalu mendominasi rupanya mempengaruhi cara bicara hingga suaranya. Menggigil.
“Kemarilah..” Edna berucap begitu datar, namun tangannya menarik tubuh Dhaffin untuk mendekat. Memposisikan tubuhnya untuk berada didepan Dhaffin. Kemudian melingkarkan kedua tangan Dhaffin untuk memeluknya dari belakang. Kontan wajah Dhaffin memanas. Pria itu memang memerlukan sesuatu untuk dipeluk, tapi dirinya masih tak habis pikir bila Edna akan memberikan tubuhnya sendiri sebagai objek untuk menghangatkan dirinya seperti ini. “Kau benar-benar membeku..” ujarnya. Anehnya Dhaffin sama sekali tidak menemukan perubahan berarti dari Edna. Wanita itu masih sama seperti biasanya. Tidak terlihat begitu tersiksa akan cuaca dingin yang benar-benar menggigit.
“Ini karena... kkhh.. karenamu..” Dhaffin berkata lagi, dan lucunya dia benar-benar terlihat seperti seorang pria yang tak bisa diandalkan.
“Berani mengeluh didepanku?”
Ah..
“Sabarlah sebentar lagi.” Lanjut wanita itu dengan santai. Sesekali dia menggosokan tangannya pada tangan Dhaffin yang menjuntai didepannya. Memberikan kehangatan kecil yang tak begitu terasa namun Dhaffin butuhkan. “Itulah kenapa kubilang padamu untuk mengenakan jaket tebal. Tapi kau yang so jagoan malah memakai jaket setipis itu. Kau tidak berhak mengeluh padaku. itu salahmu sendiri.”
“Aku kan... ti..tidak tahu khh.. kalau Russia bisa sedingin.. inihh.. yang aneh itu.. justruhh.. dirimu sendiri.. kenapa kau.. bisa sekkhh.. kuat itu di cuaca shh.. dingin ini?”
“Berhentilah bicara kalau kau tidak mau lidahmu tergigit. Kau ini cerewet sekali.” Perintah Edna dengan nada suara yang lebih lembut. Tunggu lembut? Sejak kapan wanita itu jadi lebih melunak dan memberinya perhatian seperti ini? apa karena ukha yang dimakan saat mereka masih berada dikereta api beberapa waktu lalu?
Masa bodo, persetan dengan segala hal. Dia merasa lehernya kaku. Pada akhirnya dia membenamkan kepalanya pada bahu Edna tanpa tahu malu. Mencari kehangatan. Namun Dhaffin gagal. Apa yang dia temukan bukanlah kehangatan melainkan harum bunga lavender yang menguar dari perpotongan leher wanita ini. Apa ini minyak wangi yang dia kenakan? Baunya enak sekali. Anehnya Edna tidak menunjukan rasa terganggu apalagi marah terhadapnya. Wanita itu justru mengulurkan tangannya untuk mengelus rambutnya dengan begitu lembut. Demi Tuhan perubahan sikap dan caranya memperlakukan dirinya dengan begitu lembut seperti ini membuat Dhaffin jadi dibuat untuk meyakini sesuatu yang gila. Sungguh bisa membuatnya mati secara perlahan-lahan.
Tiba-tiba Edna berteriak dengan suara yang cukup keras. Seperti memanggil seseorang. Tentu saja posisiku yang terlanjur dekat dengannya terlonjak begitu saja karena kaget. Bahasa Russia kembali dia gunakan, membuat Dhaffin menjauhkan dirinya dari Edna meski sedikit tidak rela. Tidak rela? Sejak kapan Dhaffin memiliki anggapan bila Edna adalah miliknya dan tak suka bila Edna memberikan perhatiannya pada pihak luar selain dari dirinya. Inilah efek samping bila Edna memperlakukannya dengan begitu manis. Merubahnya menjadi seorang pria egois yang posesif.
Matanya yang tadi sempat terpejam kini memandang pada sosok pria berbadan tinggi dihadapannya. Pria itu mengenakan jaket tebal berwarna hijau botol, dilengkapi dengan shawl bermotif garis hijau hitam yang aneh namun masih senada dengan pakaian yang sedang dia kenakan. Dan yang paling mencolok dari penampilannya adalah topi baret berwarna hijau garis-garis yang dia kenakan. Pria yang nyentrik dalam urusan busana. Apalagi cara dia mengenakan topinya hampir menutupi seluruh matanya, karena ukuran topi yang terlalu kebesaran dari ukuran kepalanya. Atau memang dia sengaja agar terlihat lebih misterius? Rambutnya pirang sebahu. Dengan janggut tipis didagunya. Pria Russia itu sempat kedapatan melirik Dhaffin dalam beberapa kesempatan, sembari memberikan pemuda itu sebuah senyuman lebar yang membuat Dhaffin dibutakan oleh sebuah firasat buruk. Sikapnya seperti seorang salesman meskipun Dhaffin tak mengerti apa yang Edna dan pria itu bicarakan.
“Bonjour bel homme.” Ucapnya dengan logat aneh membuat Dhaffin mengernyitkan dahi tak mengerti apa yang dia ucapkan. Bahasa prancis? Apa orang ini orang prancis?
“Kenapa kau menyapanya dengan bahasa prancis, Leon?” Edna sendiri mengerutkan dahinya meski begitu wanita itu menegurnya dengan bahasa percakapan biasa yang bisa dimengerti. Pria itu tertawa lebar, Dhaffin perkirakan orang ini lebih mirip orang inggris daripada Russia.
“Tapi pria tampan ini terlihat seperti orang prancis. Jadi kupikir aku harus menyapanya dengan bahasa daerahnya agar dia terkesan padaku.” pria itu kembali melirik Dhaffin dengan tatapan yang aneh. Sedikit kikuk setengahnya bingung. Mungkin perkiraannya sedikit meleset. Tangan pria itu juga mengusap janggutnya yang tipis.
“Dia ini orang Grandblue. Dia clientku.”
“Oh ya? Kupikir dia pacarmu karena sejak tadi dia melihatku dengan tatapan menyeramkan seolah aku akan merebutmu darinya.” Sekarang Dhaffin memelototi si pria salesman ini dengan tatapan tak percaya. Bisa bisanya dia berspekulasi seperti itu.
“Ah.. maafkan aku tuan.” Koreksinya langsung begitu melihat Dhaffin memberinya tatapan intimidasi yang cukup kuat. “Sebelumnya maaf atas kelancanganku, perkenalkan namaku Leon. Sepertinya Luxor tadi sudah sempat menyebut namaku. Aku teman dari wanita yang sedang kau peluk dengan mesra itu. Salam kenal~” pria itu lagi-lagi tersenyum dengan cara yang dibuat-buat. Membuat Dhaffin sedikit canggung dengan posisinya sekarang.
“Dia memelukku karena aku sedang mencoba memberinya rasa hangat.” Edna berkata pula. Anehnya Dhaffin merasa sedikit kecewa atas statment yang wanita itu katakan terhadap Leon.
“Benarkah? Kalau begitu sebaiknya kita segera berangkat sekarang. Sebelum kalian berdua membuat iri seantero russia karena bermesraan ditepi jalan seperti ini!” Leon berkata dengan nada bicaranya yang begitu riang gembira. Bahkan pria itu menepuk-nepuk tangannya yang terbalut sarung tangan hitam. “Untuk apa yang akan kalian lakukan dan kenapa kalian dikirim kemari aku akan menjelaskannya ketika kita tiba dirumah nanti.” Katanya lagi meski terlihat ramah namun memberikan kesan yang mencurigakan.
“Oh iya aku sampai lupa. Selamat datang di Moscow, anggap saja tempat ini sebagai rumah sementara bagi kalian berdua.”
***
Mereka tiba disebuah rumah sederhana yang tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar. Bagian luarnya sama seperti rumah pada umumnya. Monoton. Cat tembok berwarna coklat tua yang sebagian telah dipenuhi oleh salju yang putih. Terlapis dibeberapa tempat, sepertinya pria ini tidak merawat rumahnya dengan baik. Meski begitu, dari luar masih terlihat bersih dan elok. Beberapa bingkai jendela tampak mencolok karena dilapisi oleh warna putih bersih. Senada dengan salju yang menemani di ambang jendela dan kacanya. Tidak beraturan namun terlihat seperti sebuah karya seni. Rumah dua lantai yang terletak di sebuah perumahan sederhana, tempat yang akan menampung dirinya lagi untuk dapat sedikit merelaksasikan dirinya meski dalam waktu yang singat. Hanya sementara sebagai tempat peristirahatan yang kesekian kalinya. Dhaffin mulai melangkahkan kakinya dengan begitu perlahan lahan diatas salju yang tingginya hampir semata kaki. Terus begitu sampai kakinya menapaki alas kayu yang merupakan lantai dari beranda rumah tersebut. Tempat yang cukup menjanjikan kedamaian untuk menghabiskan waktu dalam keheningan. Cocok sebagai rumah yang diperuntukan untuk orangtua.
“Baiklah kita tiba. Selamat datang dirumah baru kalian!” ucap Leon lagi dengan begitu antusias. Membukakan pintu rumahnya lebar-lebar seperti seorang kepala pelayan rumah tangga dalam mansion yang pernah Dhaffin baca dalam n****+ romansa kegemaran para gadis di kampusnya. “Silahkan masuk.”
Edna menjadi orang pertama yang melangkahkan kaki untuk memasuki rumah tersebut. Berbeda dengan Dhaffin yang tidak terlalu memperhatikan sambutan dari Leon, Dhaffin justru memberikan respon berupa anggukan pada pria itu sekadar menghargai usahanya. Dan apa yang kali ini membuatnya tertarik adalah dekorasi yang terlalu sederhana untuk rumah seluas ini. wallpaper ruang tengahnya berwarna merah burgundy yang berpadu dengan perabotan kayu serta warna hijau tua. Lagi-lagi pengaturan latarnya seperti menarik dirinya masuk dalam sebuah buku klasik. Seperti dirinya berada dalam dunia lain, hidup di era abad pertengahan eropa. Ada pula sebuah sofa usang berwarna coklat tua yang agak kusam didepan perapian antik. Ada pula jam besar yang menarik perhatian. Seperti miniatur dari Big ben yang diatur tata letaknya sehingga membaut suasananya jadi makin terasa berbeda dari rumah biasa. Pendul besarnya bergerak satu irama. Terciptalah sebuah rima dengan ketukan halus yang mengisi sunyinya ruangan ini. Ada pula sebuah rak buku yang penuh dengan beberapa buku tebal yang hampir seluruh sampul bukunya tidak dalam kondisi bagus. Sepertinya sering dibaca.
“Kau suka pengaturan ruangan yang aku buat Dhaffin?” tanya Leon secara langsung yang menyadari bila dirinya terlalu larut dalam penilaian ruangan ini. Mengamati memanglah kegiatan yang menyenangkan. Tak ada yang bisa Dhaffin keluarkan melalui bibirnya, pemuda itu hanya mengangguk singkat mengiyakan pertanyaan dari Leon. Mengabaikan fakta bila pria itu menyebut dirinya dengan nama. Sedikit demi sedikit Dhaffin sudah tak terkejut lagi ketika mendapati orang orang yang terhubung dengan Edna mengetahui soal namanya. Rasanya privasinya juga sudah diketahui orang-orang ini. Dirinya lebih suka mengamati sekeliling ruangan lagi, seakan memang meminta dirinya mengobservasi. Mulai dari jendela kaca yang berembun akibat salju diluar sana, juga tirai yang berenda tersampir apik di jendelanya sederhana tapi begitu klasik. Bahkan anak tangga yang menjadi penghubung lantai satu dengan lantai duanya saja sampai ditutupi oleh karpet beludru berwarna merah. Ini sih epic.
“Sepertinya kau banyak melakukan perubahan besar pada rumah tua ini. Kau pasti sangat nyaman tinggal disini meskipun awalnya kau terpaksa.” Edna berkomentar, entah sejak kapan wanita itu sudah berdiri disampingnya begini.
“Begitulah aku serasa menikmati hidupku disini, bagian menyenangkannya adalah saat badai salju datang tanpa diduga sebelumnya. Kau hanya perlu duduk di depan perapian dengan seduhan secangkir kopi atau coklat panas ditangan. Menikmati kenyamanan sendirian.” Jelas Leon yang mulai berlalu melepas jaket tebalnya disusul shawl juga topi baret yang menghalangi pandangan. Menampakan parasnya dengan lebih jelas. Seandainya bila bertemu pertama kali dengan kondisi ini Dhaffin yakin dia tak perlu mewaspadai sesuatu sebab, dia terlihat normal.
“Kalau begitu sekarang akan aku perlihatkan kamar untuk kalian berdua.” Pria itu kembali berlagak layaknya seorang tour guide. Leon menuntun Edna dan Dhaffin untuk mengikutinya. Tentu saja keduanya mengekor pada pria itu menuju lantai dua. Tangga kayu yang dipijak menimbulkan bunyi derit bagian dari sebuah simfoni untuk keheningan yang datang kembali karena tiada satupun yang mau unjuk suara. Dan Dhaffin merasa perjalanannya kali ini dapat lebih menenangkannya. Setidaknya ketika berada disini, dirinya tidak perlu khawatir akan sebuah pelarian tanpa ujung yang telah dilewati beberapa waktu yang lalu. Leon berbelok menuju kearah kanan koridor menyusurinya sambil tak henti menyenandungkan sebuah nada yang entah berasal dari lagu apa. Tapi dari nada yang tercipta, Dhaffin yakin itu adalah sebuah lagu jazz klasik. Selera musik yang terlalu kuno untuk masa kini.
Leon berdiri pada satu pintu besar yang bisa dipastikan merupakan tujuan akhir dari keliling rumah ini. Tangannya spontan memutar kenop pintunya lalu tersenyum lagi pada Dhaffin sambil mengedipkan sebelah matanya. Lagi-lagi Dhaffin disambangi rasa curiga dan firasat buruk atas pandangannya itu. “Oke, jadi inilah kamar kalian mulai saat ini.Di dalam sana ada satu ranjang besar yang sudah kuatur untuk tidak menimbulkan suara—“
“Tu-tunggu dulu Leon!” aku memotong perkataan pria itu dengan buru-buru. Bahkan mungkin membuat dia sedikit kaget karena suaraku yang terdengar begitu keras setengah berteriak. “Maksudnya kamar kami itu aku dan dia tidur dalam satu ruangan. Ditambah lagi hanya dengan satu ranjang? Yang benar saja!”
Leon mengerutkan alisnya seolah bingung atas sanggahan yang Dhaffin ujarkan terhadap layanan super spesial yang telah dirinya siapkan. Sebelah tangannya lagi-lagi mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu bulu tipis. Janggutnya. “Memangnya apa yang salah dengan itu? Bukankah kalian ini sedang honeymoon? Cinta terlarang antara seorang intelejen wanita dengan client prianya—“
“Hentikan omong kosong ini Leon!” kali ini Edna balas berkata dengan nada yang cukup sengit. Menghempaskan ransel yang sedari tadi masih tersampir dibahunya sendiri ke atas lantai hingga menimbulkan bunyi bedebam yang cukup keras. “Apa tidak ada kamar yang terpisah untuk kami berdua?”
“Tidak ada. Sejauh ini hanya ini layanan spesial yang sudah aku siapkan. Berdasarkan perintah dari atasan tentu saja.” Jelas Leon lagi terlihat santai dan tidak bersalah.
“Siapa?”
“Apanya?”
“Siapa yang memerintahkan hal konyol macam ini?” sebenarnya Edna sudah mencurigai satu nama. Namun dia masih pula ingin meyakinkan dirinya dari keterangan yang bisa dia dapatkan dari Leon.
“Tentu saja ketua kita semua. Edna sayang. Tuan Frederic.” Leon kembali tersenyum lebar, seperti orang yang baru saja memenangkan undian berhadiah jutaan dolar.
Sekali lagi Dhaffin mendengar Edna mengumpat. Meski menggunakan bahasa Russia tapi Dhaffin tahu bila apa yang wanita itu ucapkan adalah jenis sumpah serapah pada atasannya yang Dhaffin nilai memang terlalu seenaknya. Tapi yang mengusik batinnya lebih parah adalah bagaimana bisa dia tenang dan menjadi Dhaffin yang biasa, ketika ditempatkan bersama Edna dalam satu ruangan yang sama. Genderang bertabuh dalam dadanya. Jelas ini tidak bagus untuk kesehatan mentalnya.