Sesekali Dhaffin melirik kearah Edna yang sudah kembali memasang ekspresi dinginnya. Wanita itu berjalan didepannya dengan penuh keyakinan. Seperti dugaannya Dior ikut mengawal mereka, rupanya permintaan sang wakil kapten dikabulkan oleh Edna. Namun satu hal yang pasti, Dhaffin merasa diamnya mereka justru terasa hening dan mencekam. Dhaffin membenci situasi mengerikan itu. Tapi dia sendiri tidak punya topik apapun untuk dibicarakan. Sejak keluar dari pintu apartment Dior yang biasanya kerap mengajaknya bicara pun ikut tutup mulut. Seluruh rasa kesal pada Edna sendiri masih tertanam apik didalam kepalaku. Kenyataan yang masih pula terbungkam didepannya. Dan kunci tersebut ada di GSF dengan Edna sebagai penyambung antara dirinya dengan si pemegang kendali. Edna terlalu kaku, sehingga sedikitpun dia enggan buka suara soal sesuatu yang terlampau menghantui Dhaffin sejak dirinya terjebak dengan perempuan itu.
Edna berhenti melangkah didepanku, tentu saja gerakan tersebut diikuti oleh dua orang dibelakangnya. Mobil hitam yang telah terparkir didepan mereka adalah destinasi selanjutnya. Orang yang berpakaian serba hitam telah berada didalam sana. Jemputan mereka. Edna maju kedepan seraya bicara beberapa hal terlebih dahulu sebelum pada akhirnya orang tersebut turun dari mobil dan menyerahkan kunci pada wanita itu. Edna menerimanya tanpa mengatakan apapun, langkahnya yang pasti menuntun kedua pria yang mengikutinya.
“Taruh barangmu dibagasi.” Suruhnya lagi tanpa melihat pada Dhaffin. Dior menepuk pundak Dhaffin pada akhirnya hingga dirinya sadar akan sebuah lamunan tak berarti yang sempat mampir dikepala. Dhaffin mulai bergerak memasukan barangnya kebagasi. Setelah itu mengambil tempat duduk dibagian belakang. Berbanding dengan Dior yang melangkah mendekat pada Edna. Sebelum masuk mobil keduanya sempat berdebat. Hingga pada akhirnya Dhaffin melihat pada sosok Edna yang kehilangan kata-kata untuk mendebat balik sang wakil kapten. Dhaffin juga baru tersadarkan akan sosok orang berpakaian serba hitam yang telah menghilang entah kemana. Seperti hembusan angin, yang tidak terlihat wujudnya. Apa dia melakukan teknik teleportasi hingga bisa menghilang dalam hitungan detik?
“Masuklah Edna.” Tegur Dior pada Edna yang sepertinya masih stagnasi ditempat. Hasil daripada perdebatan yang entah apa itu rupanya sudah diputuskan. Dior yang membukakan pintu untuk Edna dengan ekspresi yang ditujukan khusus pada perempuan itu. Tidak marah, tidak pula senang maupun sedih. Sejenis ekspresi yang sulit dideskripsikan. Hanya ada hampa dan keseriusan yang dominan dalam air mukanya. Disitulah lagi-lagi sebagai pihak ketiga, Dhaffin merasakan adanya rasa sedikit kecewa juga sesuatu tak kasat mata sukses menohok dadanya.
Edna yang mengangguk patuh tiba-tiba langsung menghentikan kontak mata dengan pria itu. Wanita itu memilih masuk dalam mobil tepat dikursi penumpang depan. Dior menutup pintu yang dibukanya, pria itu lebih terlihat sebagai bodyguard ataupun penjaga baginya. Dan untuk sebuah alasan yang masih mengabur dikepala Dhaffin tidak menyukainya.
Dior sendiri masuk ke kursi kemudi. Menyalakan mesin mobil dan mengendarainya dalam kondisi hening seperti saat mereka bertiga dalam perjalanan menuju mobil ini.
“Jadi.. kita akan kemana?” Dior lah yang membuka suara pertama kali setelah menyalakan mesin mobilnya. Pria itu masih pula berani mencairkan suasana yang terlalu kental menekan. Berharap wanita disebelahnya mau sedikit melonggarkan diri. Dan memberikan kenyamanan pada mereka bertiga.
“Underground.” Edna berkata dengan datar. Disitulah Dior terlihat melotot tiba-tiba. Dhaffin yang sedari tadi diam sebagai pengamat tidak berkomentar apapun selain melihat dua orang didepannya dengan alis yang tertekuk. Berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya dengan jelas dengan telinga nya sendiri. Tapi tidak bisa. Sebab pada akhirya hanya ada perdebatan kembali, dan Dhaffin sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka berdua ributkan. Apa yang mereka bicarakan serta apa yang mereka maksudkan. Sebab sejak awal dirinya memang tidak pernah terlibat dengan mereka berdua. Tidak pernah sekalipun diakui untuk masuk kedalam lingkaran mereka, hingga kadang Dhaffin merasa begitu kesepian sebab tak tahu apa-apa. Sejak awal Dhaffin sudah begitu amat menyadari posisinya yang hanyalah sebagai orang luar dalam kelompok ini.
***
Someone in different place
Mengetukan jari diatas meja kayu. Dengan jam pasir diatasnya. Tanpa ada hitungan detik pasti selain daripada berjatuhannya pasir didepan mata. Keheningan yang memanipulasi dalam ruangan seperti berada dalam ruang dimensi tanpa adanya gravitasi. Nyaris seperti hampa udara karena tiada suara yang dapat terdengar dalam keheningan tersebut. Segalanya membosankan. Entah pria yang duduk disana pula merasakan hal yang sama. Waktu yang bergulir secara konstan dan tak dapat diubah oleh siapapun kecuali oleh Sang Maha kuasa yang selaku pemilik waktu. Bahkan jam pasti saja dia tak tahu. Tidak ada petunjuk apapun disini.
Pintu kayu mahoni besar terbuka, menimbulkan suara nyaring yang secara kontan mencuri seluruh atensi darinya. Teralihlah matanya yang turun karena sejak tadi hanya disibukan menatap pada jam pasir. Tiada ketukan pada pintu melainkan gema yang ditimbulkan dari sepatu lah yang menuntun orang itu mendekat pada sang pria. Tiada kesopanan terselip daripada dirinya selain kemudian terdengar sapa yang santai tanpa embel-embel kehormatan. “Masih suka membelenggu diri ditempat kumuh ini?”
“Siapa?”
Siluet tubuhnya terlihat jelas kali ini. Pria bertubuh kekar juga besar. Tidak mengenakan apapun dibalik jaket kulit loreng yang terlihat sobek sana sini. Entah hanya style belaka atau memang bekas daripada pertarungan biasa yang pria itu lakukan layaknya rutinitas pekerjaan manusia biasa. Rambutnya bergelombang dengan warna coklat tua yang jauh daripada kata rapi. Panjangnya sebahu dan jatuh, lebih mirip gelandangan sebenarnya. Si pria yang duduk menghadap dirinya mesti menahan dirinya untuk tidak mengejek balik pria kurang ajar yang menganggu keheningan yang diciptakan untuknya beberapa saat lalu. Dia mengenal pria ini. Suara serta ciri dari tubuhnya mampu membangkitkan sebuah seringai yang lama sekali tak pernah terpatri diwajahnya.
“Egor! Itu kau bukan?” ucapnya lagi saat tanya siapa yang beberapa saat lalu dia ajukan tidak dijawab si tamu tak diundang. Meskipun dirinya hanya setengah memastikan. Tidak terlalu yakin karena ada beberapa hal yang mengabur dari ingatannnya soal si pemilik nama yang dia sebutkan.
“Otakmu masih bekerja dengan baik rupanya. Bagaimana bisa kau tahu siapa aku?” tanyanya lagi dengan nada suara yang kentara jika riangnya dia sebab bisa dengan mudah dikenali sang pria yang duduk didalam kegelapan.
“Tentu saja aku tahu itu kau. Ciri tubuhmu, gaya bicaramu, bagaimana bisa aku melupakan itu? Tuan Vladimir kerap membicarakan soal kau.” Balasnya santai seraya bangun dari tempat duduknya. Pria itu menampakan wujudnya pada sang tamu seraya memberikannya sebuah senyuman manis. “Tuan Vladimir telah menantikan dirimu sejak tadi Egor. Masuklah kedalam.” Pria itu menunjuk kearah pintu kayu lainnya yang dia jaga yang masih pula tertutup rapat. Egor masih terpaku, dia sepertinya masih mencerna situasi. Pintu yang di tunjuk barusan tiba-tiba terbuka lebar, terdapat cahaya yang keluar dari dalam sana tak luput pula menampilkan seorang pria lainnya dari dalam. Seorang pria sangar berambut biru dan juga sosok Tuan Vladimir sang pimpinan.
“Ah.. sepertinya kau tidak perlu masuk.”
“Pergilah Phavel.” Perintah Vladimir pada pria yang berjalan disisinya barusan. Seperti biasa kharisma yang menguar dalam dirinya tidak berkurang sedikitpun. Bahkan pria yang dipanggil Phavel barusan hanya bisa mendengus sebal sambil melangkah pergi tanpa perlu melirik kebelakang. Pria yang keangkuhannya masih sama seperti mereka semua pertama kali dipertemukan dan bekerja untuk Vladimir.
“Anda sudah mendapatkan informasi yang cukup berguna darinya, Tuan Vladimir?” si penjaga pintu bertanya seraya memulai perbincangan dengan tuannya. Tidak ada jawaban yang didapat melainkan hanyalah sebuah senyuman puas dari Vladimir. Bukankah dengan itu saja sudah cukup sebagai kepastian baginya jika sang tuan sudah mengetahui sesuatu yang cukup bagus ?
“Ah, iya Phavel sangat berguna sebagai informan dunia underground, walaupun masih cukup terbatas tapi dia sudah memberiku sedikit garis besarnya. Dia masih harus terus diasah. Dia masih tumpul.” Jelas Vladimir lagi. Kemudian matanya yang awas memandang lurus dan mendapati keberadaan Egor dihadapannya. Pria yang merupakan tamu juga ditunggu kedatangannya oleh sang tuan. “Jadi apa lagi yang kita dapatkan disini sekarang Egor? Kuharap kau punya kabar baik yang bisa menambah gairahku.”
Egor belum buka suara. Pria itu masih disana, terpaku memandang pada Vladimir.
“Ya, aku juga tidak sabar mendengar cerita darimu.” Celetuk pria itu lagi, dan hal tersebut sukses membuat tatapan dari Egor menajam.
“Baiklah kita mulai dari, bagaimana perkembangannya. Bagaimana dengan targetmu Egor?” tanya Vladimir lagi yang memotong pembicaraan diantara anak buahnya. Sebelum terjadi perdebatan yang tidak ingin didengar. Benar-benar mencerminkan sekali tipikal pemimpin yang benci dengan adanya basa basi tak perlu. “Pemuda itu..”
Egor menyeringai lebar, membuat pria yang mengusilinya beberapa saat lalu perlu mengerutkan keningnya karena bingung atas perubahan sikapnya yang terlampau drastis. Orang kasar dan aneh.. tentu saja sebutan tersebut sudah terlanjur melekat pada dirinya. “Ya, saya sudah menemukan tempat dimana pemuda itu tinggal Tuan Vladimir, tinggal menunggu perintah dari anda saja.”
“Dia dimarkas GSF ?”
“Ya.” Balas Egor singkat.
Vladimir terdiam sebentar, terlihat sekali jika pria itu sedang berpikir cukup keras. Entah apa yang berada dalam kepalanya saat itu tiada satupun diantara keduanya bisa menerka. Jalan pikiran sang tuan memang terlalu rumit untuk dapat dipahami oleh orang-orang biasa. Itulah yang menjadikannya alasan sebagai pemimpin kelompok.
“Haruskah saya membunuhnya saja untuk anda?” Egor yang memang tidak suka mengulur waktu untuk berpikir unjuk gigi dengan mengatakan usulan yang dia rasa paling efektif baginya tersebut. Sekaligus memancing Vladimir untuk mengatakan pendapatnya dengan durasi yang lebih cepat. Lebih bagus baginya jika setuju dengan usulan sembarangan yang dia cetuskan.
“Tidak perlu. Aku tidak ingin kau membunuhnya sekarang. Itu tidak akan berguna.” Vladimir berkata dengan nada yang sangat tenang dan penuh pertimbangan. Dia berjalan menuju kearah Egor yang menantinya sambil merogoh sesuatu dari balik saku jaketnya. “Aku hanya ingin kau menyakitinya sedikit, kalau dia berusaha berontak atau kabur. Jangan bunuh. Tangkap saja dia kau paham bukan?” sebuah amplop coklat tebal dia serahkan pada pria dihadapannya. Mendapati perintah dari pria itu, Egor menyeringai lebar. Siapa yang tidak senang ketika mendapati seseorang menyerahkan padamu amplop berisi uang lembar yang nominalnya bisa menunjang kehidupan untuk beberapa bulan kedepan? Tidak ada yang bisa munafik soal uang. “As you wish Tuan. Saya akan memastikan semuanya sempurna.”
“Bagus, sekarang kau boleh pergi.” Vladimir tersenyum lebar, membiarkan Egor berlalu pergi meninggalkan mereka berdua kembali. “Ada yang salah Pasha?” akhirnya setelah sekian lama Vladimir memanggil namanya lagi. Pasha menghela napasnya.
“Aku tidak suka pada orang itu Tuan Vladimir. Dia terlalu munafik dan serakah sebagai seorang manusia. Bukankah anda berpikir hal yang sama ?” jawab Pasha yang menatap tuannya dengan penuh tanya. Mereka seharusnya sepaham. Sebab sejak dulu mereka memang sudah seperti itu. Alasan Pasha berada disisinya pun karena mereka berada dalam frekuensi yang sama. Dan tepat seperti dugaannya Vladimir menganggukan kepalanya.
“Ya, tidak hanya itu. Egor adalah tipikal orang yang sulit sekali diatur. Tapi dia orang yang mudah juga karena mudah tergiur dengan uang dan juga kekuasaan. Karena itulah dia gampang sekali tunduk padaku.” Pasha tertawa miris. Menatap nasib Egor yang bisa dengan mudah dibalikan begitu saja oleh Vladimir tanpa memandang atas buah dari kerja kerasnya selama ini.
“Sangat ironis.”
“Dan semakin aku memperhatikannya, aku malah semakin tertarik terhadap pemuda itu. Si Dhaffin.” Pasha kini melirik pada sang tuan. Sikapnya kali ini agak sedikit sulit diterka.
“Dhaffin? Bukankah anda sangat membencinya? Untuk apa anda tertarik pada orang yang anda benci?” tanya Pasha memastikan kembali jika dirinya hanyalah salah memahami.
“Memang aku membencinya karena dia hampir membahayakan nyawa kita. Tapi, aku tidak percaya jika dia memiliki koneksi dengan lembaga pemerintah. Pemuda biasa macam dia. Tidak masuk akal.”
“GSF?” ucap Pasha lagi. Dia tahu soal cerita itu, karena beberapa orang yang diutus untuk menghabisi Dhaffin malah tamat riwayatnya. Selain itu mereka sendiri perlu banyak biaya untuk membungkam kejadian yang ada. Keributan itu cukup besar, dan dana yang keluar tentu juga dinominal angka yang tinggi.
Vladimir tersenyum lebar lagi, kali ini menatap lembaran dokumen yang berserakan di meja kerja Pasha. “Ya. GSF. Entah langkah apalagi yang akan mereka ambil selanjutnya. Mereka tak pernah bisa berhenti membuatku penasaran menantikan aksi mereka.”
Pasha hanya dapat tersenyum memandangi Vladimir serta obsesinya, selama berada disisi pria itu dia memang tak memiliki satu kali pun sejarah mengalahkan GSF. Yang ada dirinya selalu hampir tamat. Tapi mungkin hal tersebut tidak akan terjadi berulang. “Anda rupanya tipikal orang yang bisa penasaran juga rupanya tuan Vladimir.”
“Aku tidak sabar bertemu muka langsung dengan pemuda itu.” Lanjut Vladimir yang entah sengaja atau tidak memang menghiraukan kata-kata dari Pasha. “Bagaiamana kelanjutan dirinya, bagaimana nasibnya ditanganku setelah dia berada dalam cengkramanku? Akan sangat menarik bukan Pasha?”
“Entahlah.. kurasa memang akan menarik.” Jawab Pasha pula. Yang semakin lama makin tak paham akan jalan pikiran sang tuan. Dia kembali menemui titik buntu. Sebab sebelumnya sang tuan teramat mengingkan kematian bagi pemuda itu. Dan sekarang yang dia inginkan justru malah sosok utuh pemuda itu yang harus dipersembahkan padanya oleh Egor. Apa yang sebetulnya sedang direncanakan Vladimir dibalik topeng ketenangan ekspresi wajahnya sekarang ?