Chapter 5

804 Words
BAB 5 Dua hari setelah kepergian Mas Yasa, kondisi ibu membaik. Kehadiran Alika memang benar-benar obat yang mujarab untuknya. Meskipun ada cucu lain dari Mbak Miranda, tapi ibu selalu memperlakukan Alika istimewa. Ya, meski bukan memanjakannya dengan kemewahan tapi itulah yang aku rasakan. Alika bagi ibu seperti segalanya. Mbak Miranda memiliki dua anak laki-laki. Mungkin karena itulah, Alika jadi cucu perempuan satu-satunya. Jafran bahkan kadang mengeluh pada Mbak Miranda katanya kasih sayang nenek berat sebelah. Anak bungsu Mbak Miranda itu meskipun lelaki dia adalah seorang pengadu. Padahal usianya baru juga empat tahun. Sementara anak pertamanya sudah duduk di sekolah dasar kelas dua. Agis nama putra pertama Mbak Miranda. “Mel, kapan kamu bisa nyetriakin baju, Mbak? Itu di rumah udah numpuk!” ujarnya sambil menurunkan Jafran dari gendongannya. Anak lelaki itu langsung berlari bermain ke rumah tetangga. “Iya, Mbak! Entar aku setrikain! Ini lagi mau nidurin dulu Alika biar ibu nggak capek jagainnya nanti!” ujarku sambil membuatkan ayunan untuk Alika tidur. Rumah kami memang sudah berlantai keramik seperti para tetangga yang lain. Hasil jual warisan ibu katanya. Namun bagian atasnya belum dipasang plafon hingga sekarang. Karenanya mudah bagiku untuk membuat ayunan dari tambang yang diikat langsung dengan bambu yang ada di atas. Mas Yasa yang membuatkannya untukku waktu itu. “Nanti langsung saja ke rumah, ya! Ada Agis di rumah … Mbak lagi mau arisan dulu sebentar! Siapa tau dapet nih, sekarang bisa buat jalan-jalan, deh!” celotehnya. Sudah sejak lama aku memang membantu menyetrika di rumah Mbak Miranda. Meskipun sikapnya kerap kali menyebalkan, tetapi kami tumbuh sejak kecil. Jadi sudah terbiasa bertengkar terus berbaikan kembali. Lagipula, kalau aku menyetrika di rumahnya lumayan bisa buat tambah-tambah uang harian. Ya, nominal tiga puluh ribu bagi sebagian orang memang kecil. Namun bagiku nilai segitu sangat berarti. Bisa ditabung buat beli baju Alika nanti. Alika kuayunkan. Setelah ia terlelap, bergegas aku memanggil ibu yang sedang membuat sapu lidi di samping rumah. Kebetulan di depan rumah kami ada pohon kelapa. Jadi kadang ada dua tiga ikat sapu lidi yang ibu jual juga. Maklum kehidupan bapak dan ibu dari dulu berasal dari pertanian. Untuk hidup kami bersumber dari padi, hasil sawah milik bapak yang dikelola oleh adiknya. Jadi kami hanya terima hasil setiap kali usai panen. Cukup untuk makan setahun. “Bu, titip Alika, ya! Aku mau nyetrika dulu ke rumah Mbak Miranda!” tukasku. “Iya,” jawab ibu singkat. Aku bergegas ke tempat Mbak Miranda. Kuketuk pintu yang tidak dikunci. Ada Agis sedang duduk menonton televisi. Aku langsung masuk ke kamar paling belakang. Di sana biasanya tumpukan pakaian kering sudah menggunung. Betul saja. Setidaknya ini akan menghabiskan waktu sekitar dua jam baru bisa selesai. Segera kusiapkan alas setrika dengan tumpukan kain. Kuisi pewangi dan bergegas mengerjakannya. Sambil menyetrika, pikiranku berlarian entah ke mana. Apakah hidupku benar-benar akan berubah nanti? Kuharap Mas Yasa akan segera kembali. Baru saja aku menyelesaikan beberapa helai pakaian. Derit pintu terdengar nyaring. Kukira Agis atau Mbak Miranda yang pulang. Namun salah, ternyata kakak iparku ada di rumah. “Eh, Mas Hasim ada di rumah? Aku kira masuk kerja!” Aku berbasa-basi. Jarang berbicara sebetulnya aku dengannya. “Lagi ambil cuti, ada perlu!” katanya sambil mematung di ambang pintu. “Oh, iya, Mas!” Aku kembali melanjutkan menyetrika. “Mel, kamu bisa kerikin, nggak?” tanyanya tanpa kusangka. “Bisa, Mas! Siapa yang masuk angin, Mas? Agis?” Aku menoleh padanya, kukira Agis masuk angin. Dia menatapku dengan tatapan tak biasa. “Mas masuk angin, tadi minta kerikin sama Mbakmu, nggak mau katanya buru-buru! Hmmm ….” Mas Hasim terdiam sebentar. Aku menyimpan setrikaan itu dan mengambil ponsel jadul dari dasterku. Hendaklah menelpon Mbak Miranda karena suaminya masuk angin. “Oh, bentar aku teleponin Mbak Miranda kalau gitu! Eh, tapi aku lupa kalau belum isi pulsa, Mas!” ucapku sambil nyengir kuda. Ketika kupijit nomor tidak terhubung padanya. Kumasukan kembali gawai jadul pada saku dasterku. Dia tidak menjawab. Masih mematung di dekat pintu. “Nggak usah telepon Mbakmu, kamu saja yang kerikin Mas! Bentar doang paling! Udah nggak enak banget ini rasanya!” ucapnya sambil mendekat. “Maaf, Mas! Nggak enak kalau aku yang ngerikin … takut jadi fitnah! Aku pulang dulu saja, ya! Aku panggilin ibu!” ucapku sambil mematikan setrikaan. Risih rasanya berduaan di kamar dengan lelaki lain selain suamiku. Terlebih dia itu kakak iparku sendiri. Aku baru hendak berdiri ketika Mas Hasim menutup pintu dan menguncinya. Perasaanku sudah semakin tidak karuan. Kutatap wajahnya yang kini terasa menyeramkan. Memandang dengan tatapan mengharap padaku. “Mas, kok dikunci pintunya?” Aku berdiri sambil mundur beberapa langkah. Ada seringai menyeramkan dari bibirnya. “Mbak kamu lagi dateng bulan! Kayaknya kalau kamu nggak mau ngerikin, kamu bisa layanin Mas saja! Sudah nggak tahan soalnya!” ucapannya sontak membuatku gemetar. “Astagfirulloh! Istighfar, Mas! Aku ini adik iparmu!” ucapku sambil menggeleng-geleng kepala. Sudut netraku memutar mencari benda untuk melawan. “Sebentar doang, Mel! Lagipula kamu baru punya anak satu, pasti rasanya beda!” ucapannya semakin menjijikan. Dia melangkah mendekat. “Mas, jangan macam-macam atau aku akan teriak?!” ancamku sambil masih memikirkan cara untuk menghindar. “Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir bapak, ya?” seringainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD