Jonathan Kusuma menjadi satu-satunya pria paling gentleman di antara teman-temannya. Walau sebenarnya Jonathan sangat menyesal sebab dia tidak sempat menghardik tangan Darren hingga akhirnya melukai gadis yang sampai saat ini masih berada dalam dekapannya.
Jonathan masih bersabar memapah tubuh gadis itu dan terus memapah tubuh mungil di sampingnya. Jonathan tahu, jika di tempat ramai ini ada spot sepi. Jika ingin ke sana dia harus melewati bar yang mulai dikerumuni banyak orang. Menerobos deretan manusia di sana sambil menjaga tubuh ramping di sampingnya. Jonathan berhasil melewati kerumunan itu. Dia tepat berada di belakang bar. Sebuah lorong dengan penerangan redup.
"Tuan," panggil gadis itu.
Jonathan lalu menggerakan kepalanya menatap gadis di sampingnya. Gadis itu mengangkat wajahnya, dilihat Jonathan satu sisi pipi gadis itu merah dan bengkak. Pemandangan itu mengundang decak kesal darinya.
"Aku minta maaf," ucap Jonathan. Gadis itu menggeleng. Pipinya benar-benar masih terasa panas walau pening di telinga sepertinya sedikit berkurang.
"Aku akan kembali ke dalam, terima kasih sudah membantu," ucap gadis itu. Dia hendak memutar lutut, tapi sialnya itu membuat pergelangan kakinya kembali terasa sakit. Dia meringis. Tubuhnya terseok. Hampir saja dia terjatuh lalu dengan sigap Jonathan meraih tubuh mungil itu.
Gadis itu tak sanggup lagi menggerakan kakinya. Benar-benar rasa sakit itu sudah berada di atas kemampuannya untuk bisa menahan. Untuk menggerakan ibu jari di kakinya saja sudah sangat sakit. Dia memilih untuk bersandar pada satu sisi lengan Jonathan.
"Maaf ...," lirih gadis itu. Dia menggigit bibir bawah saat buliran air mata jatuh begitu saja di pipinya.
Jonathan tahu. Dia sadar dan peka. Dia bisa merasakan tubuh yang sejak tadi bergetar menahan rasa sakit yang sepertinya terlalu bertubi-tubi menghampiri dirinya. Jonathan manaruh tangannya ke belakang pundak gadis itu. Pria itu sedikit ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menarik pundak gadis itu dan membawa ke pelukannya.
Gadis itu tak dapat lagi menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Bagian bawah tubuhnya tak bisa digerakan. Keram berbalut perih dan sakit. Namun, dari semua derita fisik yang dia alami saat ini, hatinya-lah yang paling disakiti.
Benar-benar miris. Hari pertama bekerja dan sudah dipermalukan. Sekarang dia masih berdiri menahan lebih banyak kesialan yang terjadi hari ini. Lengan yang kini berada di dalam tangannya seolah menjadi satu-satunya penyanggah yang bisa membuat gadis itu bisa melepas rasa sakit yang kini sedang dirasakannya.
Tak bisa menahan air mata yang makin berubah menjadi tangis yang terisak. Jonathan bisa merasakan buliran air mata yang mulai menggenang di lengannya. Benar-benar menyakitkan. Jonathan tahu jika hari ini Darren benar-benar telah berperilaku tidak baik. Tindakannya benar-benar di luar batas. Tak bisa dimaafkan.
Tidak berlangsung lama, hanya beberapa menit. Gadis itu merasa jika dia harus kembali menarik kesadaran. Harus tegar. Bukankah selama ini dia seperti itu? Iya, harus tegar. Ingat alasannya bekerja di tempat ini. Ingat bagaimana dia berusaha keras membuang harga dirinya. Menyampingkan prinsipnya demi mengais rejeki di negeri orang. Dia harus tegar.
Setela menghela napas panjang, gadis itu mencoba menarik dirinya. Ia tetap menundukkan kepala. Terlalu enggan menatap pria di sampingnya.
"Maaf." Hanya kalimat itu yang sejak tadi keluar dari bibir berbalut lipstik merah itu.
"Ayo, akan kubantu kau." Jonathan tidak berpikir lagi. Dia langsung meraih belakang lutut gadis itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya tetap berada di tengkuk gadis itu.
"Tunggu, Tuan ...." Gadis itu hendak menolak, walau dengan nada halus ketika Jonathan kini membopong tubuhnya.
"Diamlah, aku tahu kakimu sangat sakit," ucap Jonathan.
Tak ada pilihan lain. Gadis itu hanya bisa menundukan kepala. Tak sanggup matanya menatap wajah pria yang tengah membopong tubuhnya. Ia mendesis pelan ketika merasakan sakit yang hebat pada pergelangan kakinya.
Jonathan terus berjalan menyusuri ujung lorong. Ada sebuah lift di ujung lorong. Jonathan tahu jika lift itu bisa membawanya keluar dari kelab malam ini. Kelab malam ini berada di sebuah gedung hotel. Ada sebuah kamar VVIP yang seringkali menjadi tempat dia dan ketiga temannya menghabiskan malam bersama.
Masih menjaga tubuh mungil yang kini berada di depan dadanya, Jonathan lalu menekan tombol dua puluh. Hanya dua lantai setelah tempat ini dan itu hanya memakan waktu selama sepuluh detik. Jonathan keluar dari dalam lift saat pintu telah terbuka sempurna. Berjalan di koridor sunyi ditemani deru nafas gadis mungil di bawah dagunya.
Jonathan berhenti di depan sebuah kamar. Bersyukur dia membawa kunci yang dia ingat ada di dalam dompetnya. Jonathan melirik kecil ke bawah. Agak kesulitan meraih dompet di kantung belakang celana jika gadis ini masih berada di pelukannya.
"Aku bisa berdiri sendiri, Tuan." Gadis itu seolah mengerti arti tatapan gelisah dari Jonathan. Perlahan pria itu mulai menurunkan lengan yang memegangi kaki gadis itu, perlahan — sangat perlahan, takut jika akan menyakiti kakinya.
Gadis itu kembali menggigit bibir bawah saat rasa sakit yang sempat hilang itu kembali. Kakinya mulai terasa bengkak sekarang.
Jonathan masih berhati-hati, tapi akhirnya dia bisa menurunkan tubuh si gadis. Bergegas Jonathan merogoh dompet di saku belakang. Mengambil sebuah kunci berbentuk kartu lalu menempelkannya segera pada gagang di depannya. Bersyukur Jonathan memegang kunci itu. Kamar suite di hotel ini, menjadi tempat berpesta mereka bulan lalu. Aaron memiliki saham di hotel ini. Dia juga memberi keleluasaan pada teman-temannya untuk memakai suite room di hotel ini. Hanya saja, Jonathan berharap agar tidak satu pun dari mereka akan naik ke sini. Setidaknya untuk malam ini.
"Masuklah," ucap Jonathan.
Gadis itu melayangkan pandangannya ke dalam. Terlalu mewah dan dia sangat ragu dengan ide itu.
"Tenanglah, aku tidak akan masuk ke dalam." Jonathan seakan paham betul pemikiran gadis di depannya. "Istirahatlah di sana. Ini," ucap Jonathan lagi. Kali ini, dia menyerahkan kunci berbentuk kartu yang sejak tadi ada di tangannya kepada gadis itu.
Sempat ragu, akan tetapi setelah menimbang di dalam hati, kali ini benar-benar tidak ada tempat lain. Jika pun dia kembali ke bawah, mungkin saja dia akan mendapat amukan dari pria bermata biru yang sudah tega menampar pipinya. Dengan ragu-ragu mata cokelat bulat itu memandang pria di depannya.
"Aku ...." Gadis itu bergumam. Dia menggoyangkan kartu di dalam tangannya. Situasi ini benar-benar begitu canggung. Dia sendiri tidak tahu harus berkata apa.
"Sudahlah, masuk saja. Apa kau bisa berjalan?"
Sempat meliri Jonathan, lalu gadis itu kembali menurunkan pandangan menatap dua kakinya. Sangat ragu jika dia bisa melangkahkan kakinya yang terasa seperti balon. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng, seolah menyuarakan isi hatinya.
"Ck!" Terdengar decakan bibir dari Jonathan. "Sepertinya kau harus merendam kakimu dengan air hangat. Itu bisa membuat otot-otot jadi rileks," saran Jonathan.
Gadis itu masih menunduk lalu dia mengangguk saja, pasrah. Memangnya bisa apa lagi?
"Ayo masuklah. Tenang, aku bukan pria Amerika yang gemar meniduri sembarang wanita."
Sedikit terdengar tajam, tapi gadis itu cukup bisa menangkap maksud pria di depannya yang kini melangkah masuk ke dalam kamar hotel. Dengan susah payah gadis itu mulai menarik kakinya. Menyeret dengan langkah tertatih-tatih. Meraih segala sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menopang tubuhnya.
Jonathan yang melihat hal itu kembali merasa iba. Digerakan oleh rasa kemanusiaan, pria itu kembali menghampiri si gadis yang tampak kesusahan itu.
"Pegang tanganku," ucap Jonathan. Pria itu mengulurkan tangan yang disambut ragu oleh gadis bermata cokelat itu.
"Pelan-pelan saja," ucap Jonathan lagi.
Entah apa yang kini Jonathan rasakan. Seolah-olah dia bisa dengan jelas merasakan bagaimana sakitnya tubuh gadis itu saat ini. Wajahnya tak henti meringis dan kerap kali dia harus meremas lengan Jonathan hanya untuk melawan rasa sakit di kakinya. Sedikit langkah lagi dan akhirnya gadis itu meraih ujung ranjang dengan tangannya kemudian Jonathan membantunya agar bisa duduk sempurna.
Jonathan tak bisa melarikan tatapannya dari gadis itu. Dia berpikir bagaimana caranya untuk mengobati kaki si gadis. Saran untuk merendam kaki dengan air hangat yang sempat dikatakan Jonathan kembali di pikirkannya. Jika gadis ini berendam air hangat berarti dia harus menuju ke kamar mandi, di sana ada bathup dan Jonathan bisa membantunya menyetel air hangat.
"Apa ...."
Namun, saat moncoba mengutarakan idenya, Jonathan malah mendapati pikirannya buntu. Maksudnya, bagaimana caranya mengatakan 'Ayo ke kamar mandi dan rendam kakimu. Ada bathup bundar di sana, kau bisa merendam kakimu di sana.'
Mudah kan?
Jika itu Aaron pasti sangat muda mengatakannya, tapi dia Jonathan. Ini kali pertamanya berada satu ruangan hanya berdua dengan lawan jenis. Ya, walau mereka bukan sepasang kekasih, bahkan mereka tak saling kenal. Namun, budaya dan norma-norma yang terlanjur menjadi kultur pria berdarah Indonesia itu membuatnya harus benar-benar memikirkan kalimat paling halus yang sekiranya tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.
Sementara gadis yang masih duduk sambil mengelus lembut lututnya yang kini memar hanya bisa menundukkan kepala. Dia juga merasa sangat canggung, sebab ini kali pertamanya berduan dengan seorang lelaki. Walau dia cukup yakin lelaki yang tengah berdiri sambil memandangi dirinya tidak akan melukainya.
"Aku akan menghubungi pelayan hotel. Mereka bisa membawakan sesuatu yang bisa kau gunakan untuk merendam kakimu."
Akhirnya Jonathan menemukan cara paling baik untuk bisa membantu gadis di depannya. Gadis itu mengangguk. Ada senyum kecil di wajah Jonathan sebelum dia berbalik untuk mencari di mana letak telepon di ruangan ini.
_________________