Sebelumnya
***
Tiga orang lelaki muda berpakaian kasual tampak baru saja keluar dari dalam lift. Mereka berjalan menyusuri lorong dengan pencahayaan minim. Bertekad untuk pergi ke tempat di mana mereka akan menuntaskan perjanjian mereka pagi tadi.
“Gara-gara mulut sialanmu itu sampai Jonathan pergi dan sampai sekarang dia tidak bisa dihubungi. Sekali lagi kau berani menyindirnya, aku bersumpah akan menghajarmu Aaron!”
Aaron berdecak bibir dan mendelikkan matanya ke atas. “Oh c’mon,” ucapnya sambil melayangkan kedua tangan ke udara. “Kau tahu dia pergi bukan karena itu,” kata Aaron. Pria Travis itu memutar pandangannya ke belakang. Pada si jangkung Korea yang membuntuti mereka. “Bukan begitu, Joonie?”
“Stop calling me like that!” Kim Seo Joon berucap dengan nada mengecam.
Aaron terkekeh tampak meremehkan. Pria itu meraih tubuh jangkung temannya dari samping. Tentu saja Seo Joon menolaknya. Pria Korea itu berdecak kesal lalu mendorong tangan Aaron dari atas pundaknya.
“What’s wrong with you, guys?” tanya Aaron. Pria itu sengaja mempercepat langkah. Berjalan dengan langkah mundur sambil memandang dua temannya. Tampak lipatan di dahi Darren saat ia memandang sinis si Aaron Travis.
“Bukan kami yang salah, Aaron, tapi kau!” Seo Joon kembali berucap. Ia memberikan tatapan sinis kepada temannya si pria Travis yang tentu saja tak akan dengan mudahnya digubrish oleh Aaron.
“Seriously?” Dengan santainya Aaron bertanya. Dua temannya itu hanya memberikan tatapan sinis kepadanya. “Ck! You guys know, dia bukan tersinggung karena ucapanku, tapi oleh pertanyaanku.”
“Diam kau!” kecam Darren. Telunjuknya hampir menyentuh hidung Aaron. “Kau hanya b******n dalam balutan jas mewah.”
Aaron terkekeh sinis. “Demi Tuhan, Darren, jika Seo Joon yang berkata seperti itu aku akan tersinggung.” Lelaki Travis itu menggeleng. Ia memberikan senyum yang sangat meremehkan posisi Darren. “Jika aku b******n, apa bedanya dengan dirimu Darren? Apakah kau malaikat dalam balutan karung?” tanya pria itu sedikit sarkastik membuat Darren mendengkus. Dan Aaron menikmati ekspresi Darren. Pria Travis itu menarik sudut bibirnya membentuk seringaian lantas memutar tubuhnya.
“We’re all bastard, Darren. Haruskah kuingatkan seberapa bajingannya dirimu?” Aaron kemudian memutar tubuhnya. Langkah pria itu sedikit gontai. Dengan tatapan angkuh, ia kembali menyeringai lantas berucap, “Sebajingannya diriku, aku tak pernah meniduri ibu tiriku.”
“HEI!” teriak Darren. Pria itu bergerak cepat meraih tubuh Aaron, lantas didorongnya pria itu dengan kedua tangannya yang besar.
Aaron menanggapinya dengan begitu remeh. Sikap santainya membuat Darren naik pitam. Dibawanya punggung lengannya ke leher Aaron. “Demi Tuhan, aku ingin sekali membunuhmu, Aaron.”
Seakan-akan ucapan itu tiada arti, Aaron malah memperlihatkan seringaiannya. Padahal tenggorokannya sudah sangat sakit.
Melihat situasi ini membuat Kim Seo Joon mendesah kesal. Ia mendengkus dan mengambil langkah. Seo Joon berdecak bibir. Jantungnya berdetak meningkat ketika alam bawah sadarnya menolak mempercayai ide yang baru saja melintas di kepalanya.
‘Yang benar saja, aku tidak ingin Darren memukul wajahku. Sialan. Biaya perawatan wajah mahal,’ batin Seo Joon. Ia masih terus menonton kedua temannya. ‘Lagi pula mengapa pecundang Travis itu tidak melawan? Dia mau mati?’ Seo Joon terus bermonolog. Bahkan dia melakukannya sambil menaruh kedua tangan di dalam saku celana.
Kim Seo Joon butuh waktu untuk berpikir. Mendekat … hem, mungkin saja Darren akan memukulnya. Oh tidak. Itu sudah pasti. Darren akan langsung melayangkan pukulan padanya. Ide buruk.
‘Itu sudah pasti,’ batin Seo Joon. Ia membawa telunjuk dan ibu jari mengusap dagu. Seakan-akan sedang menimbang hal sepele, padahal di depannya sedang terjadi pertarungan antara tatapan mata yang sengit.
“Kau tidak tahu apa-apa tentangku, Aaron. Dan mulut sialmu sudah kelewat lancang.”
“Th-at-s th-he tr-ru-th!” Aaron berucap setengah mati membuat Darren semakin menekan lengannya ke leher Aaron.
“Darren!” seru Seo Joon dari tempatnya. Akhirnya pria itu telah membuat keputusan. “Kau di sini untuk menghajar seorang gadis bukan membunuh dia,” ucap Seo Joon. Suaranya terdengar lantang, akan tetapi semua itu berbanding terbalik dengan alam bawah sadarnya yang sekarang bergidik.
‘Bisa-bisanya kau berucap seperti itu, Seo Joon. Sialan, kau harus bersiap untuk memutar tubuh,’ batin Seo Joon. Ia merasa jika dugaannya mulai benar saat wajah Darren mulai bergerak, perlahan dan kini sedang menatapnya.
Seo Joon menelan ludah ketika ditatap sepasang manik biru yang seperti memercikan api di matanya. “Ma- maksudku.” Mulut Seo Joon terbuka dan ia menggagap.
Namun, sedetik kemudian Darren kembali memutar wajah. Melepaskan tatapan mematikannya dari Seo Joon dan pria itu mendesah lega. Seo Joon sampai mengelus dadanya. Betapa menakutkannya Darren saat marah dan sungguh, ia seratus kali lebih memilih jika Aaron saja yang dilukai. Ia tak mau. Sungguh.
“f**k off!” desis Darren. Ia mengentakkan lengannya sekali lalu menarik dirinya.
“Uhuk uhhukk!” Aaron berbatuk sambil memegang lehernya. Pria itu mencondongkan tubuh sampai membungkuk. Matanya membesar melepaskan napas yang terasa menyesak di d**a. Aaron masih berusaha mengirim oksigen ke paru-parunya.
Sementara Kim Seo Joon masih menatap Aaron. Butuh beberapa detik sampai ia mendengkus lalu memutuskan untuk menghampiri Aaron. Kim Seo Joon meraih tubuh Aaron dari samping lalu menepuk-nepuk pundaknya.
“You okay?” tanya Seo Joon dan Aaron menggeleng. Ia memegang lehernya lalu kembali menegakkan badan. Pria itu mendorong tubuh Seo Joon dengan siku tangannya.
“Sialan, kau!” maki Aaron.
“Semua itu salahmu,” ucap Seo Joon memberikan tatapan dingin.
Lewat sudut matanya, Aaron kembali memberikan tatapan sinis kepada Seo Joon. Lantas ia melangkah menyusul Darren yang hampir menuju pintu.
Seolah tak terjadi apa-apa, Aaron kembali memasang tampang santai. Seo Joon berdiri tepat di belakangnya. Tak ada kata-kata yang terucap. Ketiganya langsung menghampiri tempat di mana mereka biasa duduk saat tiba di dalam kelab.
“Hei, Dar, kau tidak boleh memasukan perkataanku dalam hati,” ucap Aaron santai.
“Lebih baik kau diam atau kulempar tubuhmu ke panggung striptis.”
“Oh, ayolah ….” Aaron melayangkan satu tangan ke udara. Pikirannya benar-benar tak bisa ditebak. Seakan tak ada takut, atau rasa bersalah, atau pun rasa tidak enak hati. Benci juga tidak. Semua hal dianggapnya lelucon. Moto hidupnya santai dan foya-foya. Berpikiran terbuka, tetapi punya mulut profokatif dan dia selalu ingin menang. Membuat lelucon yang menyinggung dan baginya semua itu hal biasa. Bahkan kerap kali membuat orang lain merasa begitu bersalah hanya karena ucapannya.
“Aku hanya bercanda,” kata Aaron.
“Kau itu manipulatif, Aaron.” Seo Joon mengemukakan pendapatnya.
“Itu sudut pandang kalian,” kata Aaron. Lagi-lagi ekspresinya tampak meremehkan dan itu semakin membuat Darren kesal. “Tapi, mari kita lupakan semua itu dan fokus saja pada taruhannya. Lagi pula kita sudah sepakat, bukan?” Aaron menatap satu per satu temannya.
Kedua pria itu kontan mendengkus dan memalingkan wajah. Sebenarnya tak ada masalah besar di antara mereka. Pria-pria itu hampir setiap kali bertemu selalu bertengkar. Namun, percayalah hubungan mereka telah melalu banyak proses pembentukan, sehingga mereka telah mengerti sifat dan karakter sesama teman.
“Well, mari kita dinginkan otak dengan koktail,” kata Aaron lantas mengangkat tangan kanannya ke udara.
Seorang gadis berambut pirang datang menghampiri mereka.
“Dry martini,” kata Aaron.
“Aku juga,” tambah Darren.
“Aku ….” Seo Joon menatap Aaron lewat ekor matanya. Pria itu berdehem. Sialan. Dia tidak ingin diremehkan lagi. “Bloody marry,” kata Seo Joon. Terdengar kekehan sinis yang pastinya datang dari Aaron, tetapi Seo Joon tidak mau ambil pusing.
“Two shoot dry martini dan bloody marry?” tanya si barmaid dan Aaron mengangguk.
“Jangan lama, Sayang,” kata Aaron membuat si barmaid tersenyum genit. Ia pergi meninggalkan tiga orang itu.
Tak sampai lima menit, pesanan mereka pun datang. Tiga orang lelaki super kaya dan tampan itu menikmati koktail mereka dengan santai sambil menunggu target taruhan mereka.
“Sesuai undian, kau yang maju duluan Darren,” kata Aaron.
Darren tak menggubrish. Pandangannya kosong dan ia kembali terjebak pada pemikirannya yang kadang menyesatkan. Masa lalunya berat dan sulit dilupakan. Sampai sekarang lelaki itu tak bisa move on dari masa lalunya.
“Hei, Dar!”
Tepukan di bahu kanannya membuat Darren tersadar. Ia bergeming lantas memindahkan pandangannya kepada Seo Joon membuat pria Asia itu menyesali perbuatannya barusan.
“f**k off!” makinya. Ia mendengkus lantas menegak habis minumannya.
“Begini,” kata Aaron santai. Pria itu mendorong punggung Seo Joon agar dia bisa mendekatkan wajahnya pada Darren lalu berbisik tepat di depan telinga Darren. “Kau jangan gunakan kekerasan, okay?”
Bola mata Darren bergerak memberikan tatapan membunuh pada Aaron. “Terserah padaku,” desisnya.
Aaron berdecak kesal. “Hei, kita memang sedang taruhan, tapi kau tidak boleh memaksa gadis itu dengan kekerasan.”
Darren mendengkus. “Terserah apa katamu. Yang jelas, malam ini gadis itu akan menjadi milikku. Apa pun cara yang akan aku gunakan!” tegas Darren.
“Ya, tapi aku tidak ingin kau berakhir di penjara seperti waktu itu.”
Darren menatap Aaron dengan kening yang mengerut. “Urus saja urusanmu,” kata Darren. Ia kembali mendengkus.
“Hei,” gumam Seo Joon. Tatapan lelaki itu tertuju pada seseorang yang baru saja bergabung ke dalam kelab. Tak mendapat atensi dari teman-temannya ia pun menyikut lengan Aaron membuat pria Travis itu mengikuti arah pandangan Seo Joon.
Aaron menyeringai. “Here we go,” gumam pria itu. Ia menatap Darren lalu mengedikkan kepala menunjuk ke arah yang dimaksud.
Tampak Darren menghela napasnya ketika menatap seorang gadis dalam balutan dress ketat. Aaron berdiri dan memutuskan untuk duduk di samping Darren.
“Ingat ya, kau tidak boleh melakukan kekerasan,” kata pria itu.
“Ya, kau tidak boleh melakukan kekerasan, Darren.” Seo Joon menambahkan.
“Hanya ada satu aturan dalam permainan ini yaitu membawa gadis itu ke ranjang lalu menidurinya dengan cara paling brutal.”
“Hei,” sergah Aaron. “Tidak ada kata brutal,” ucapnya. “Kau yang menambahkannya seenaknya.” Lanjut Aaron.
Darren kembali mendengkus. Ia mendelikkan matanya ke atas. “Terserah pada kalian!” desisnya. Pria McKenzie itu menepuk paha lalu bangkit dari tempat duduk.
“Sial!” desis Aaron. Kim Seo Joon bergerak mendekati Aaron. Mereka berdua mengawasi Darren.
“Bagaimana ini?” tanya Seo Joon. Aaron memandangnya lewat sudut mata. Pria itu mengedikkan setengah bahunya. “Semestinya aku duluan,” kata Seo Joon.
Aaron mendesah lalu menaruh satu tangannya di atas pundak Seo Joon. Mereka masih mematri tatapan pada punggung Darren.
“Mau bertaruh denganku?”
Kim Seo Joon menatap Aaron dengan kening yang mengerut. “Apa-apaan kau?” sinis Seo Joon.
“Bertaruh denganku, pasti dia akan gagal malam ini,” kata Aaron.
Kim Seo Joon mendengkus lantas menggoyangkan kepalanya. Ia memilih untuk menegak koktailnya. Sementara Aaron menyeringai.
“Darren pasti gagal,” gumamnya.
Sementara itu, Darren terus melangkah membuntuti si gadis berpakaian ketat yang kini berada di lorong belakang bar.
Tatapan pria itu mengecil, bak seorang predator yang tengah mengawasi mangsa dari jarak yang cukup jauh dan menanti waktu yang tepat untuk menerkamnya.
“Hai, Selena.”
“Hai, Molly. “
“Oh ya, ada yang mencarimu tadi.”
“Siapa?”
Darren menghentikan langkahnya ketika gadis itu berhenti dan kini tampak begitu serius berbicara dengan teman sejawatnya.
“Ah, aku lupa tidak menanyakan namanya. Dia ada di ruangan VVIP.”
Selena memberengut dengan kening yang mengerut ia menatap temannya.
“Ah, lupakan,” kata teman Selena.
Selena menggeleng menahan senyum. “Kalau begitu aku ke pantry dulu. Jack menyuruhku mengambil minuman,” kata Selena.
Molly mengangguk lalu mereka berpisah. Molly memandang pria yang berada tidak jauh dari mereka. Dengan percaya diri ia mendekati pria itu.
“Halo, Tuan,” sapa Molly.
“Menyingkir kau!” geram Darren.
Molly menatap Darren dengan tatapan sinis. Wanita itu mendengkus. “Ada apa dengan pria-pria,” gerutunya. Ia menggelengkan kepala lalu mendengkus lagi. Molly memilih untuk meninggalkan hallway.
Darren meneruskan langkahnya membuntuti Selena sampai dilihatnya gadis itu memasuki sebuah ruangan. Mata Darren kembali mengecil. Ia menoleh ke belakang sekadar untuk memastikan jika tak akan ada yang memergokinya.
Setelah merasa cukup aman, lelaki itu bergegas menyusul Selena ke pantry.
TAK
Selena tersentak dan refleks ia menoleh. Gadis itu membulatkan mata saat menatap seorang pria bermata biru yang kini berdiri di depan daun pintu yang telah tertutup.
“Ka- kau,” ucap Selena, gagap.
“Ya, aku!” sahut Darren.
“Se-sedang apa ka- kau di si- sini?” Selena berucap sambil menggerakkan bola mata menengok ke kiri dan kanan, berharap dia bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini.
“Sedang apa?” gumam Darren.
Selena kembali menatapnya. Wanita itu menelan saliva susah payah. Sepasang manik biru yang sedang menatapnya tajam itu membuat alam bawah sadar Selena bergidik.
“Tu-tuan, ak- aku ….” Tenggorokkan Selena tersekat. Yang bisa dia lakukan hanyalah berjalan mundur.
“Malam ini, kau akan habis!”
Selena membulatkan matanya mendengar perkataan itu. Ia menggeleng, hendak melarikan diri, tetapi punggungnya telah lebih dulu menabrak dinding. Tepat saat itu juga, Darren telah berada di depannya.
Jarak mereka hanya tersisa beberapa senti dan semua itu semakin tidak berarti saat Darren memaksa satu langkah mengeleminasi semua jarak yang tersisa sehingga kini, ia tepat berada di depan Selena dan gadis itu bisa merasakan napas mint dari pria bermata biru di depannya.
“Apa yang ingin kau lakukan, Tuan?” Suara Selena hampir hilang.
Terlihat sudut bibir Darren naik membentuk seringaian. “Tentu saja untuk menghancurkanmu,” ucap pria itu.
Selena kembali menggeleng. Pandangannya berubah horor. Mulutnya pun terbuka. “Tolong, maafkan aku, Tuan, aku berjanji untuk tidak mengganggumu lagi.”
Darren kembali menyeringai. “Sudah terlambat,” ucapnya. Detik selanjutnya Selena membulatkan mata.