2. The Prince of Fire and Comfort

1023 Words
Archanne termenung di sebelah jendela kamarnya. Ia mengadah dan menatap langit-langit kamarnya, lukisan yang dibuat Charles khusus untuk menenangkannya ketika ia mendapatkan putaran ulang memorinya yang menyedihkan. Ia lalu menatap wajah ibunya yang sedang tersenyum dalam figura khusus yang terbuat dari es. Ia tidak ada pertemuan atau rapat yang terlalu penting untuk beberapa hari mendatang. Ayahnya memintanya untuk istirahat sejenak dari hiruk-pikuk kehidupannya yang semakin lama semakin dominan di istana. Kelelahan tidak akan berakhir baik untuk Archanne dan semua orang di dekatnya. "Kukira seorang Putri dari kerajaan Elliens akan selalu berada di luar kamarnya dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang lebih besar." "Alinne." Archanne menyambut Alinne dengan kecupan di pipi kanan dan kiri gadis itu. "Mereka tidak memberiku masuk. Jadi maaf kalau ada beberapa pintumu yang rusak, pihak istanaku akan mengganti rugi semua kerusakan nanti." Archanne tertawa karena kejujuran Alinne, mengingat gadis itu akan melakukan apa saja supaya tidak ada yang bisa menghalanginya, "Aku paham. Bagaimana kabar kerajaan Vierith?" "Oh, kerajaanku baik-baik saja, senang kau bertanya. Sekarang, Jeff menyuruhku ke sini untuk mengundangmu tinggal untuk beberapa hari. Kau tahu, tradisi kami agar hawa kerajaan tidak terlalu panas. Itu bisa mengganggu kerajaan lain, kan?" "Bukannya ayahkulah yang harusnya datang kesana. Kekuatanku.." "..terlalu kuat dan bisa membekukan api? Ya, Jeff sudah mengatur semuanya. Ia ingin kaulah yang datang." "Bagaimana dengan kerajaanku, Alinne? Kalau saja aku pergi.. Kerajaanku akan cukup lemah untuk diserang." "Para naga dan pelatihnya sedang mengatur strategi. Kerajaan kami akan mengerahkan naga-naga terbaik untuk melindungi rakyatmu." "Uhm.." "Kamu tak punya alasan lagi, kan?" *** Archanne termenung di dalam kereta kuda yang ia tumpangi. Alinne duduk berhadapan dengannya sedang takjub melihat hamparan taman es yang belum pernah ia lihat apalagi ia sentuh. Lalu ia mengadah ke langit. Ia menjentikkan jarinya dan keluarlah bola api kecil, ia melempar bola api itu jauh ke atas. Sebuah sinar biru terpancar dari daerah yang terkena bola api itu. Alinne takjub. Ia lalu teringat dengan putri yang selama ini duduk di hadapannya, melihat apa yang ia lakukan. "Ternyata, yang selama ini membuat pancaran itu, kamu." "Hehe, ya, begitulah. Memang, itu apa? Kok, bisa memancarkan sinar seperti itu, sih?" "Itu perisai, selama aku disini perisai itu akan cukup kuat sehingga walaupun nagamu mencoba menerobosnya, ia akan terpental." Mata Alinne berbinar mendengar sebetapa kuatnya perisai milik negeri es itu. "Lalu, kalau kau pergi seperti ini? Apa yang akan terjadi?" "Oh well, di perbatasan aku hurus turun sebentar. Ini sangat penting dan aku akan menjelaskannya ketika kita di luar." Alinne mengangguk, lalu mengeluarkan kepalanya agar ia bisa berbicara dengan kusir. *** Di perbatasan, kusir memberhentikan kereta kudanya dan mempersilahkan Archanne dan Alinne turun. Alinne kaget dengan apa yang ia lihat sekarang. "Apa ini yang namanya perbatasan?" "Ya, inilah perbatasan, Alinne." Archanne melipat tangannya dan memejamkan matanya, lalu ia kembali membuka matanya. "Ketika aku pergi, perisai akan melemah. Ketika itu, semua bentuk mahluk bisa masuk kapan saja, itu bisa membunuh kami. Ketika ibuku masih ada, bukan perisai seperti ini yang melindungi kami. Tapi, raksasa es yang terbuat dari kristal dan berpakaian perang yang seluruhnya terbuat dari es. Ketika tubuh ibuku melemah, mereka juga ikut melemah.Tapi ketika aku lahir, dan mataku terbuka, ayahku bilang ia melihat pancaran biru dari mataku dan dari arah timur kerajaan. Itu adalah perisai yang tercipta sendiri semenjak aku lahir." "Wow.. Bahkan, raja Harold tak bisa melakukan itu!" "Karena kalian adalah negeri api, tanpa angin dari luar kalian akan mati." Alinne masih terkagum, sedangkan Archanne kembali ke perisainya. Ia memejamkan mata dan bergumam. Dari tangannya keluar cahaya biru yang semakin lama semakin besar. Ia merentangkan tangannya kearah perbatasan es. Cahaya itu membeku dan melingkupi seluruh kerajaan Elliens. Semua penduduk mengadah ke langit dan melihat adegan dimana es bening itu perlahan-lahan menutupi mereka. Cahaya matahari masuk perlahan-lahan dari celah-celah bening. Darisitulah seisi kerajaan sadar tuan putrinya akan berpergian selama beberapa hari. *** "Silahkan, Yang Mulia." seorang pelayan wanita membukakan pintu. Udara panas Vierith membuat jubah Archanne mengambang. Karena di Tritanian, ketika hawa dingin bertemu dengan panas, jubah kerajaan akan mengambang tanda mereka menemukan titik nol kekuatannya. Warna biru mencolok milik Archanne menjadi tontonan yang menyenangkan bagi tuan putri-tuan putri mungil kerajaan Vierith. Dengan ragu mereka mendekati Archanne. "Alinne, sejak kapan langit-langit ruangan menjadi begitu indah?" "Jeff meminta pendekor untuk menatanya ulang, kau taulah.." *** Archanne merasakan hawa dingin di dalam kamarnya. Ia tahu kerajaan yang sekarang ia tinggali adalah kerajaan api, jadi seharusnya ia tidak merasakan hawa dingin lewat. Ia melihat sekeliling, lalu semakin curiga. Ia memggumamkan mantra dan cahaya hijau keluar dari kalungnya, seperti radar yang menemukan sebuah penampakan tak terlihat, 'omnia verith.' seketika seorang laki-laki tampak memakai jubah tak terlihat kaget dengan apa yang baru saja terjadi. "Tertangkap basah." Archanne tersenyum licik. "Huft, aku kira para Elliens tak selicik itu." "Lebih licik mana, menggunakan jubah tak terlihat untuk mengikuti seseorang atau menggunakan radar untuk menemukan penguntit m***m?" "Aku bukan penguntit mesum." "Secara konteks kamu melakukannya seperti penguntit mesum." "Bagaimana kabar kerajaanmu?" "Semakin dingin. Lebih dingin dari kerajaanmu, Jeff." "Oke, maafkan sikapku saat di pertemuan itu. Aku melakukan hal yang bodoh, memang." "Aku sudah katakan kalau aku sudah terbiasa. Tak apa-apa." "Sudah lama aku tidak melihatmu memakai kalung itu." "Oh, ini kalung pemberian ibuku, well, seharusnya begitu, tapi.. kau tahu apa yang terjadi." "Ya, aku paham. Kau tahu, aku merasa ada yang sedang memperhatikan kita. Bertingkahlah normal, aku akan mencari darimana arah tatapan mata itu." "Oke, cepatlah, kakiku sakit." Archanne menyentuh betisnya dan merasakan betapa sakitnya ketika kakinya terus berdiri. "Kesini, dekat denganku aku masih belum menemukannya." Archanne turut mendekati Jeff. Dengan tiba-tiba ia memeluk gadis-yang-kakinya-sedang-sakit itu. "Kau tak perlu khawatir tentang masa lalumu, ibumu berkorban karena ia sayang padamu, dan kau harus mengingat kita senasib." ia mengelus kepala gadis itu dengan lembut. Archanne yang masih kaget merasakan kalau hatinya berdetak sangat kencang. Tubuh hangat Jeff tidak melelehkan tubuhnya, tapi berhasil melelehkan hatinya. "Iya." Archanne membalas pelukan Jeff. Jeff mengecup keningnya dan mengelus kepalanya sekali lagi, "Ingat, Archanne, selama aku masih mendengar detak jantungku, aku berjanji padamu dan ayahmu, akan melindungi dirimu walaupun aku harus mati terbunuh oleh pedangku sendiri." Archanne mengangguk agak ragu dengan perkataan Jeff itu. Ia tak pernah menyangka Jeff akan mengatakan hal yang seserius itu padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD