bc

Desiran Menggoda

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
one-night stand
family
arrogant
sensitive
boss
bxg
kicking
affair
civilian
like
intro-logo
Blurb

Untuk Kesekian kalinya

chap-preview
Free preview
Desiran Menggoda
CHAPTER 1 Kepulan asap mengudara dilangit-langit ruangan kafe, mengepul dengan ringan lalu menghilang perlahan. Di pintu kaca menempel stiker bertuliskan "Smoking Area." Para tamu perokok berat dapat dengan nyaman menjejalkan pantatnya berlama-lama di sofa nan empuk pula tanpa perlu berpindah kursi yang kafe itu sediakan pula diarea terbuka. Lagu sendu terdengar syahdu, mengayun dengan lembut bagai nyanyian tidur. Mengundangku untuk memejamkan mata, terlelap dikasurku yang empuk, membayangkan bisikan syahdu ditelinga yang menggelitik hati. Namun tidak pernah ada yang berbisik di telingaku setiap kali aku mau tidur, kecuali hanya bisikan suara Ac. Kau punya pacar?." Tanya lelaki di sebrangku dengan suara berat dan tegas mengagetkanku. Matanya terus memperhatikanku sejak tadi, menelisik dengan delikan focus seperti ia sedang menghitung setiap uratku. Tidak." Jawabku singkat. Lalu dia menatapku tak percaya. Tatapan matanya berputar lebih banyak diarea wajahku. Namun wajahku tak berubah menjadi merah melainkan hanya seperti ada semut-semut mengerumuni, terutama di pipiku. berapa umurmu? Tanyanya lagi. Kali ini aku merasa tidak ingin menjawabnya." pertanyaan itu seperti bumerang untukku. Terbesit dipikiranku untuk membohonginya soal usiaku. Aku bisa saja menjawab 25, tapi mungkin dia tidak akan percaya. 29." Kataku Jujur. Dia semakin tidak percaya lagi, lebih tepatnya dia mungkin tidak percaya wanita seusiaku belum menikah. Teman-temanku berpikir bahwa aku wanita yang sulit soal jodoh, terlalu pemilih perihal pasangan. Mereka berkata," Tidak ada laki-laki sempurna didunia ini." kau mau mencari pria seperti apa?." tidak perlu mencari laki-laki yang tampan, kaya raya, yang penting laki-laki itu bisa bertanggung jawab atas dirimu, bla bla bla... Seolah mereka memiliki hak atas pilihan hidupku. Satu bulan yang lalu aku bertemu dengannya dalam rangka kerjasama akan sebuah proyek kecil-kecilan. Aku dan atasanku mengadakan rapat kecil dengannya membicarakan perencanaan tersebut. Di kafe yang sama dia duduk berhadapan dengan atasanku, namun matanya selalu mengarah padaku dan tak berhenti menatapku sama seperti yang dia lakukan sekarang. Sorot matanya memiliki maksud namun aku tak mampu menangkapnya. Saat itu yang kupikirkan hanya berjalannya proyek tersebut kemudian. Dia memberikan kesan angkuh saat pertama kalinya aku melihatnya. Bahkan saat aku mengajaknya bersalaman dia hanya mengulurkan tangannya ke sisi kanannya tanpa menolehkan wajahnya. Tangannya terasa kasar seperti seorang pekerja pengangkat besi-besi proyek. Badan tegap, bertubuh tinggi, berhidung mancung, berkulit sawo matang muda. kulihat-lihat dia agak mirip Alm. Aktor Adjie massaid, bahkan kupikir dia lebih tampan. Dia menghisap rokoknya, mengeluarkan asap rokok dari mulutnya, dengan gayanya yang cool. Tetapi ku akui memang dia keren tanpa harus dibuat-buat. Entah kenapa kali ini bicaranya sangat sedikit.Tidak seperti saat rapat yang hampir 90% dialah pembicaranya. Bibirku pun seolah tak mampu berkutik, seperti ada jepitan baju menggantung, mengapit dengan singit. Hanya bergerak-gerak tanpa suara. Tanpa kusadari aku menggigiti bibirku. Boleh kuminta satu? Kataku menunjuk ke bungkus rokoknya yang diletakan persis di depan wajahnya. Dengan sigap dia menaruh korek di atas bungkus rokok itu kemudian mendorongnya ke depanku. Aku bukanlah perokok, ku pikir dengan merokok dapat menyembunyikan kegugupanku. Sebelumnya aku tidak melihatmu merokok. Dia berkata dengan suara beratnya. Aku bertanya-tanya kenapa suaranya selalu terdengar berat ketika dia berbicara padaku, namun tidak ketika dia berbicara dengan orang lain. Nadanya seperti menahan sesuatu yang tersembunyi dibalik hatinya. Tidak. Kataku. Hanya sesekali dan itu pun hanya kulakukan di rumah. Dia mengangguk tanda memahami. Kau tidak memesan apapun. Dia memandangi meja yang hanya ada segelas kopiku dan segelas minumannya yang aku tidak tau namanya. Dia sudah memesannya sebelum aku datang. Kupikir dia tidak minum kopi di malam hari. Tidak sepertiku yang meminum kopi bagiku tidak berpengaruh apapun. Aku bisa pulang dari sini dan langsung tertidur dalam 30 menit. Aku tidak lapar. Kataku singkat. Aku tau dia hanya berusaha menemukan sebuah pembicaraan. Aku sungguh tidak memiliki keberanian untuk bertanya apapun padanya. Masalah proyek pun tak lagi perlu dibicarakan karena sudah tidak lagi berlanjut. Satu minggu yang lalu sang pemilik tanah tiba-tiba berubah pikiran dan mengatakan dia tidak jadi menjual lahannya lalu mengembalikan uang Dp yang sudah diberikan tanpa potongan. Apa kau libur saat weekend? Dan aku menebak ada maksud tertentu dibalik pertanyaanya. Entah kenapa aku merasa bersemangat untuk menjawabnya kali ini. Kadang libur kadang stay hanya sekedar mengontrol. Jawabku tak pasti. Seketika aku membayangkan berkuda di atas gurun pasir bersamanya di negeri mesir atau minimal di tengah-tengah kebun teh di kota bandung. Hatiku senyum-senyum sendiri. Aku merapatkan kedua bibirku membuatnya seperti garis tipis dan mencoba menahan diri untuk menutupi gelinya hati. Dia tak terlihat akan melanjutkan pertanyaan lagi. Dia duduk dengan kedua pahanya yang dibentangkan seperti gerbang pintu rumah yang terbuka. Sesekali dia menegakan tubuhnya atau menyandarkan punggungnya ke sofa. Tangannya tak berhenti memegang sebatang rokok. Lalu dia mendorong tubuhnya ke depan, setengah membungkuk, menunduk memandangi meja panjang dari kayu yang tingginya setengah meter itu. Seperti sedang berusaha menemukan sesuatu di sana. Gelas minumannya seolah bergerak-gerak dengan getaran cepat. Ia menelisik dengan teliti, mencoba menemukan suatu arti. Mungkin sebuah ide yang lebih berarti dari sekedar pertanyaan sederhana yang pikirnya tak begitu bekerja untukku. Aku sadar sejak tadi obrolan ada dari sebelah pihak saja. Dia pun menyadari aku tak terlihat akan berusaha memecah keheningan. Aku duduk menyilangkan satu kakiku di kaki lainnya. Sebatang rokok kupegang dengan setengah gemetar di sisi bawah meja. berusaha duduk tegak agar terlihat percaya diri. Lama-lama aku merasa pegal juga. Berusaha mengesankannya dengan bahasa tubuh kupikir tak berhasil. Dia terlihat tak peduli akan bahasa tubuh, melainkan apa yang mampu kusuarakan. Ini bukanlah sebuah kencan melainkan hanya pertemuan biasa. Namun ada perasaan lain dihatiku yang samar-samar semakin terasa jelas. Dua minggu yang lalu dia mengajakku bertemu masih di kafe ini, ku tebak dia sering kemari dan kafe ini telah menjadi tempat tongkrongan favoritnya. Dia menghubungiku dan memintaku untuk datang sendiri. Aku sempat merasa aneh dan bahwa aku tau untuk urusan bisnis bukanlah wewenangku yang hanya sebagai anak buah. Tanpa curiga aku datang menemuinya tepat jam 19:30 sepulangnya aku dari proyek lain tempatku bekerja. Aku datang melenggang berjalan seanggun mungkin saat memasuki kafe dengan rok panjang hitam berbelahan tinggi yang memperlihatkan separuh pahaku. Orang-orang mengira aku seperti memakai stoking warna kulit untuk mempercantik kakiku. Justru aku tak pernah memakai stoking sekalipun dan tidak memiliki satupun dalam lemari bajuku. Saat itu dia mengajak serta kedua temannya dan memperkenalkanku pada mereka. Bab 2 Handphone ku berdering tepat saat aku baru saja menutup pintu apartemenku. Hallo? Kau dimana? Tanya lelaki di seberang telp yang suaranya mulai familiar di telingaku. Aku baru saja mau berangkat ke kantor.Kau dimana? Aku balik bertanya Aku sudah di kantor. Hatiku masih berdebar kencang hanya dengan mendengar suara beratnya. Seperti ada yang menari - nari menyeriangi hatiku. Aku senyum - senyum sendiri sambil berjalan menuju lift. Kau kangen padaku? Aku bertanya padanya dengan yakin bahwa aku akan mendapat jawaban "Iya". Tidak! Ucapnya. Hmm, kau bohong! Kau pasti membayangkan diriku sepanjang malam, bukan? Kau tidak? Umm, kupikir, yeah, sedikit. Kau yang berbohong! Kau tidur di balik selimutmu dengan pikiranmu tentangku. Aku dapat mendengarnya tersenyum disebrang telp. Benar bukan? Tanyanya lagi saat aku tak segera menjawabnya. Aku tak perlu mengakuinya. Aku mendengar dia terkekeh. Baru kali ini aku mendengarnya tertawa seolah lepas urat kaku dilehernya. Aku selalu berpikir hal paling buruk, bahwa mungkin aku tidak akan lebih jauh dapat mendengar nafasnya. Hatiku terus berusaha untuk menolaknya dan memberitauku bahwa ini mungkin salah. Namun tubuhku berkata lain. Terus menggeliat untuk mendekat dan tak mampu menolak. Kabari aku hari ini, okay? Ok." Aku menutup telp dengan sedikit luka dihatiku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
212.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
169.6K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
293.5K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.4K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.4K
bc

TERNODA

read
192.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook