Lambang Keberanian

1270 Words
Hujan lebat, gelap gulitanya semesta, sinar lentera yang apinya samar tertiup nyamannya hembusan angin malam, rendahnya temperatur ruangan, rintikkan hujan yang datang berbondong, suara binatang liar di sekitaran yang bersahutan menjadi sebuah nyanyian yang agak ngeri untuk didengar. Situasi, kondisi, dan suasana yang tidak nyaman bagi seseorang yang tengah kesakitan, mempersiapkan diri untuk sebuah kemungkinan besar; kehidupan baru atau kematian. Ucapan-ucapan motivasi untuk tetap berjuang dan bertahan, lolongan anjing liar, gemuruh guntur, kilatan petir yang menyambar-nyambar, menemani setiap deru nafas yang terdengar kencang di sebuah kamar. "Adinda...adinda Dahayu, sudahlah, engkau tidak perlu memaksakan diri". Ucap seorang lelaki dengan nada penuh harap dan cemas, dengan mata yang berkaca dan bibir yang bergetar di samping seorang perempuan yang tengah meregang menahan sakit. "Kakang Madhuswara, entah kenapa aku merasa heran dengan persalinan Dahayu kali ini...". Ujar seorang perempuan sambil menyela keringat yang menghujan di dahinya. Sesekali ia juga menyeka keringat di dahi Dahayu; istri Madhuswara, yang kini sedang menjadikan nyawanya untuk melahirkan anak kelimanya dengan Madhuswara. "Ini memang bukan kali pertama aku membantu persalinan Dahayu, tapi aku menganggap persalinan ini yang paling berat". Dengan usia yang mulai menua, dengan uban yang mulai ramai menghiasi kepalanya, dengan kemampuan fisik yang mulai berkurang, Dahayu terbilang cukup tangguh menghadapi persalinan yang menyulitkan ini. "Adinda, jika seandainya persalinan ini memang berat. Aku sebagai suamimu, tidak berberat hati, tidak sama sekali, untuk kehilangan anak kita untuk kelima kalinya". Madhuswara bergeming. Sebagai seorang lelaki, Madhuswara termasuk seorang suami yang sangat berperasaan. Ia sangat menyayangi Dahayu. Lima kali kehilangan anak dalam persalinan, bagi Madhuswara, bukanlah sebuah kehilangan yang besar, bukanlah sebuah kesalahan fatal yang ia timpakan kepada istrinya. Sebagai seorang lelaki yang telah lama hidup bersama dengan Dahayu, ia menyadari bahwa kondisi fisik Dahayu tidak sekuat perempuan pada umumnya. Tekad Dahayu yang selalu tidak membaja pun, sudah Madhuswara terima. Karna Madhuswara menikahi Dahayu, karna mencintainya. Ia menerima segala hal, baik atau buruk dalam diri Dahayu. "Ka...kanda Madhuswara, aku tahu kamu sangat mencintaiku. Engkau takut kehilanganku...". Ujar Dahayu sembari terus mengatur nafasnya. "Ta...pi, jika aku yang engkau cintai ini tidak mampu membuatmu bahagia, membuatmu bangga melihat anak kita tumbuh kelak. Aku tidak bisa memaafkan diriku sebagai orang yang telah engkau pilih untuk engkau cintai". Madhuswara menangis. Ia menatap wajah Dahayu yang tengah menatapnya sayu, dengan wajah pucatnya, dengan bibirnya yang pucat, dengan matanya yang berkaca. "Adinda, yang perlu kau tahu. Tanpa kebanggaan seperti apa pun, aku sebagai suamimu, akan tetap mencintaimu". Dahayu tersenyum. "Tenanglah, kakanda. Tanpa perlu kehilangan aku. Ki...ta, akan bersama me...lihat anak kita lahir". Waktu berjalan lambat. Sudah beberapa jam terlewati sejak pertama kali Dahayu melakukan persalinan. Kekhawatiran Madhuswara terhadap keselamatan istrinya semakin menjadi. Dalam kegundahannya itu, Madhuswara bergumam, "Wahai Dewata, aku mencintai istriku, aku meghargai tekadnya yang hendak menghargaiku sebagai suaminya. Kuatkanlah dia dan aku mohon, jangan kau ambil nyawanya". Di tengah kesakitannya, di tengah tekadnya yang semakin surut, di tengah nafasnya yang mulai melemah, Dahayu berkata dalam hatinya, "Jika aku seperti sebelumnya, menyerah dengan kelemahanku, tidak mengambil resiko yang bahkan akan membuatku mati. Seumur hidupku, aku tidak mungkin bisa membalas kasih sayang suamiku". Dahayu menarik nafas dalam. Tekadnya sudah bulat, walau ia harus mati, anak yang ia kandung harus lahir. Apa pun caranya. Namun, hasil memang tidak selalu mengiringi usaha. Tekad Dahayu yang kuat tidak cukup memberi kekuatan pada tubuhnya yang melemah. Memang bukan hanya karna faktor usia dan faktor raga yang tidak diciptakan tangguh, persalinan ini memang sangat berat. Bahkan mungkin cukup berat bagi seorang perempuan tangguh. "Dahayu...Dahayu...jaga kesadaramu, Dahayu". Perempuan yang membantu persalinan Dahayu mulai panik. Ia khawatir bukan main. Di satu sisi, ia tidak rela kehilangan anak dari kakaknya untuk kesekian kalinya, di sisi lain, ia juga akan mengutuk dirinya sebagai seorang dukun beranak yang tidak sanggup membantu proses persalinan dengan baik. "Kyati, berdasarkan pengalamanmu sebagai dukun beranak, tidak adakah hal yang bisa membantu istriku? Agar persalinannya lebih mudah?". Madhuswara yang mulai kehabisan keyakinan terhadap upaya istrinya mulai kalap. Ia benar-benar takut kehilangan istrinya. "Kakang...aku sudah melakukan semua yang aku bisa, tapi, tapi, aku tidak tahu kenapa persalinan ini begitu sulit". "Kakanda Madhuswara...". Ujar Dahayu dengan suara yang sangat pelan. "Jika...aku tidak tahu, kenapa aku bisa seberani ini. Bisa tidak takut mati...". "Sebelumnya kematian adalah hal yang sangat aku takuti kan. Kau tahu aku". Madhuswara terdiam. Angin pun berhembus pelan, suara hujan yang sudah tidak menderu-deru, temperatur ruangan yang rendah, binatang hutan yang membisu, membuat suasana menjadi syahdu. "Tapi, demi kelahiran anak kita dan kebagiaanmu. Alam baka pun akan aku hadapi". Dahayu mungkin bisa disebut seorang yang sangat paranoid. Ketakutan yang ia alami, ia rasakan, bukanlah suatu hal yang biasanya dapat ia hadapi. Cahaya terang entah dari sudut ruangan mendekati Dahayu. "Kau berhasil membuatku ingin turun tangan, Dahayu dari Suku Jaladhi. Biarkan aku membantumu". Ujar suara yang muncul dari suara itu yang mendekat dengan cepat. Bahkan Kyati dan Madhuswara tidak menyadari keberadaan cahaya benderang itu sebelum suara itu berujar. Lalu seketika, seisi ruangan dipenuhi cahaya. Menyilaukan mata, membuat fajar yang masih gelap itu seakan benderang bak siang. "Dahayu, jangan takut. Aku adalah utusan pencipta, aku adalah orang yang akan datang saat seorang Sila terlahir dan mati. Aku adalah utusan sebuah kesatuan yang kalian sebut Dewata. Aku memperhatikan usahamu, aku mendengar gumaman suamimu...". Dahayu, Kyati, dan Madhuswara masih dalam kondisi kebingungan. "Ada apa ini?". Pertanyaan yang serentak mereka fikirkan untuk menanggapi kejadian dan suara yang bersama-sama mereka dengar. "Yang kau kandung, adalah seorang Sila, sebuah element pembentuk takdir dalam diri manusia yang dimanifestasikan dalam sebuah raga. Ia adalah Sila Keberanian. Jagalah ia, karna takdir yang akan mengakhiri kehidupan Sila tidak akan berjalan lurus dengan takdir yang ia dapat pada awalnya". Seketika cahaya yang benderang itu meredup. Perut Dahayu yang semula besar itu sudah seperti semula. Dalam keadaan yang masih sangat membingungkan itu. Tangisan bayi terdengar. "Kakang...kakang Madhuswara...lihatlah ini". Kyati berbicara dengan terbata. Ia sangat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tubuhnya penuh peluh, gemetaran. Madhuswara dengan mata yang memicing, berusaha melihat apa yang coba ditunjukkan Kyati kepadanya dengan pandangan yang masih samar. "Bayi?", ujarnya dalam hati. "Bayi siapa ini, Kyati?" "Lihatlah, kakang Madhuswara ! Perut Dahayu sudah kembali seperti semula. Rupanya kesulitan Dahayu bukanlah karna kelemahannya, tapi karna memang bayi yang dikandungnya adalah anak yang istimewa". Madhuswara masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi dan ia alami barusan. Tanpa mendengar ucapan Kyati, ia langsung mendekatkan telunjuk kanannya ke arah hidung Dahayu. "Tenanglah, kakang, Dahayu masih hidup. Ia hanya kelelahan dan tidak sadarkan diri...". Kyati mendekati bayi yang ada disamping Dahayu. Bayi yang sudah bersih dan kehilangan semua bekas persalinan itu ia gendong. "Anak ini, anakmu, kakang Madhuswara...". "Apa yang kita alami tadi bukanlah mimpi atau khayalan. Anak ini memang istimewa, ia adalah titipan Dewata". Kyati menyerahkan bayi di tangannya kepada Madhuswara. Dengan tangan yang masih gemetaran, Madhuswara mencoba menggendong anaknya. "Titipan Dewata?" "Tidakkah kau mengingat apa yang diucapkan cahaya tadi tentang Sila dan Dewata, kakang?" Madhuswara memang lelaki yang baik dan berperasaan. Namun analisa dan ingatannya sangatlah lemah. Ia bukan lelaki yang cukup baik dan cermat dalam berfikir. "Aku mengingat sedikit hal tentang Keberanian dan Dewata, sisanya aku tidak ingat, Kyati". "Kakang, rawatlah anak ini. Entah kenapa aku merasa akan ada takdir besar yang datang datang dan ditentukan oleh anakmu kelak". Madhuswara tertegun. Ia merasa sangat bahagia. Namun itu bukan karna anaknya yang seperti dibilang Kyati adalah anak yang istimewa, tapi karna keberanian dan keselamatan istrinya. "Bolehkah aku titipkan sebuah nama untuk keponakanku ini, kakang?" "Aku berharap nantinya anak ini akan dinamai Uma --dalam bahasa Sansekerta berarti lambang keberanian" "Tapi bukankah nama itu terlalu berat untuk diberikan kepada anak secantik ini, Kyati?" Kyati menarik nafas panjang. "Ya...mungkin, namun mengingat perjuangan ibunya, situasi saat persalinannya, bagiku, nama seperti itu lah yang tepat bagi anakmu, kakang".

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD