***
Diandra menatap tajam wajah suaminya, sedangkan dadanya terus saja naik turun akibat nafas yang memburu. Sungguh, Diandra tidak menyangka jika Alvan akan sanggup memperlakukannya seperti ini.
Meski sebelum menikah, Alvan bersikap lembut dan pria itu menyatakan perasaan cinta padanya, tidak membuat mereka melakukan hal lebih dari sekedar berpegangan tangan, berpelukan dan Alvan hanya akan mencium kening dan pipinya saja.
Bisa dibilang, selama ini, gaya berpacaran mereka sangat sehat. Dan sekarang Diandra baru menyadari akan satu hal, padahal dulu ada banyak sekali kesempatan, namun tetap saja Alvan tidak pernah berbuat tidak senonoh dengannya.
Diandra pikir itu semua Alvan lakukan karena pria itu mencintainya dan ingin menjaganya, namun ternyata, semua itu karena Alvan tidak pernah mencintainya.
Dan malam ini, adalah pertama kali Alvan menyentuh bibirnya. Padahal, sebagai seorang wanita, Diandra sangat berharap mereka akan melakukannya dengan penuh perasaannya.
Namun lihatlah, Alvan merampas ciuman pertamanya dengan cara menjijikan seperti ini. Pria ini habis bepergian dengan selingkuhannya dan Diandra sendiri tidak tahu apa saja yang sudah dilakukan oleh Alvan diluar sana dengan wanita lain.
"Aku adalah suamimu dan aku berhak melakukan apapun yang aku mau, Diandra! Termasuk menyentuhmu!" Desis Alvan.
Diandra mengangkat sebelah alisnya, dia menatap remeh pada suaminya. "Oh iya? Jadi seperti itu cara kamu berpikir? Ah, baiklah. Sekarang dengarkan aku, aku hanya ingin menyampaikan satu hal sama kamu, suamiku yang b******k!" Diandra menjeda kalimatnya sejenak, wanita itu menarik nafas pelan lalu menghembuskan perlahan, kemudian kembali melanjutkan. "Aku ini adalah putri dari keluarga yang terhormat! Dan kamu pun mendapatkanku dengan cara yang hormat! Jangan karena rasa bencimu yang tidak jelas, lalu kamu memperlakukanku seperti ini! Aku bukan selingkuhanmu yang murahan, Alvan! Kalaupun aku meninggalkanmu, aku yakin, aku pasti bisa mendapat pria yang jauh lebih segala-galanya dari kamu!"
Alvan semakin mengeraskan rahangnya ketika mendengar kalimat yang dilontarkan oleh istrinya itu. Entah kenapa, mendengar Diandra yang akan pergi meninggalkannya dan mencari pria lain membuat Alvan seperti tidak rela.
Namun bukan karena dia mencintai wanita itu, akan tetapi karena rasa bencinya. Alvan tidak rela jika Diandra akan hidup bahagia apalagi bersama pria lain.
"Bermimpilah untuk bisa mendapatkan pria lain, kau tidak akan pernah bisa melakukannya, Diandra!" Ujar Alvan.
"Kenapa? Kenapa aku tidak bisa, Alvan? Hm? Coba, beri aku satu alasan, kenapa aku tidak bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari kamu?!"
"DIAM!" teriak Alvan.
Diandra tersentak, wanita itu lantas memejamkan kedua matanya. Namun tak berselang lama, Diandra kembali membuka kedua netranya dan balas menatap tatapan tajam Alvan padanya.
"Kamu panik sekarang? Iya?" Tanya Diandra.
Alvan menggerakan kakinya lalu melangkah dan mengikis jarak antara dirinya dengan Diandra. Alvan menarik pinggang ramping Diandra dengan sebelah tangannya, sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menekan tengkuk wanita itu.
"Dapat keberanian dari mana, hm? Sampai-sampai kamu berani melawanku seperti ini?!" Desis Alvan tepat didepan wajah Diandra. Bahkan wajah keduanya hampir tak berjarak.
"Kamu hanya belum tahu siapa aku, Alvan. Aku tidak pernah takut dengan siapapun termasuk dengan suami b******k seperti kamu!" Balas Diandra.
"Begitu? Semakin lama, mulutmu semakin kurang ajar, huh?!"
"Masih lebih baik, daripada berperilaku menjijikan seperti kamu!"
"Bibir ini sepertinya minta dihukum!" Ujar Alvan, pelan sambil menahan geram.
"Hukum saja sesukamu!" Balas Diandra sehingga Alvan pun mendekat lalu mengulum bibirnya.
"Hmmppt…" kuluman itu hanya berlangsung dalam hitungan detik dan kembali terlepas.
"Aarrgghh! Shitt!" Alvan berteriak lalu mengumpat saat Diandra menggigit bibirnya.
"Kau…,"
Plaaaakkk!
Diandra kembali menampar pipinya.
"Menjijikan! Asal kamu tau, aku tidak tertarik dengan bibir murahanmu, Alvan! Dasar b******k!" Teriak Diandra lalu memutar tubuhnya dan melangkah masuk kedalam kamarnya. Wanita itu menutup pintu dengan kasar sehingga tak ayal membuat Alvan tersentak.
Pria itu masih berdiri mematung di sana sambil memegang sebelah pipinya yang terasa panas. Sial! Malam ini, Diandra sudah dua kali menamparnya.
"Kurang ajar! Aku tidak menyangka kalau dia sebar-bar ini!" Gumam Alvan kemudian melangkah ke arah pintu kamar Diandra.
Bug!
Bug!
"DIANDRA ATHASYA ABRISAM! BUKA PINTUNYA!" Teriak Alvan sambil menggedor pintu di depannya itu.
Namun, selang beberapa saat dia menunggu, tidak ada tanda-tanda jika Diandra akan membuka pintu. Sehingga Alvan pun menyerah kemudian melangkah masuk kedalam kamarnya yang berada tepat di samping kamar istrinya.
"Lihat saja besok, aku akan benar-benar menghukummu!" Gerutunya sambil melangkah menuju ranjang.
Sementara di dalam kamar Diandra, wanita itu menangis dalam diam. Diandra menekan dadanya yang terhimpit akan rasa sesak.
Diandra masih tidak habis pikir dengan semua yang dialaminya saat ini. Diandra ingin menyadarkan dirinya, namun dia masih belum sanggup.
Diandra masih sangat berharap jika semua ini terjadi karena mungkin saja Alvan sedang lelah atau ada masalah mengenai pekerjaan pria itu.
Namun, semakin lama, semuanya semakin terlihat jelas jika Alvan memang memiliki maksud lain dengan cara menjadikan dirinya sebagai istri pria itu.
Namun, ketika Diandra berusaha berpikir keras tentang itu semua, malah hanya akan membuatnya pusing. Diandra ingin sekali bertanya kepada kedua orang tuanya, namun Diandra takut mereka akan curiga jika saat ini rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja.
Menit berlalu, Diandra mengusap pelan air matanya lalu meraih ponsel berniat membuka salah satu sosial medianya.
Saat jari-jari lentiknya berselancar di atas layar canggih itu dan membuka aplikasi berwarna hijau, disana dia melihat kontak milik kakak iparnya, Queen, sedang online.
Diandra mengerutkan kening apalagi saat melihat angka jam pada ponselnya. Disana jam pun sudah menunjukan pukul 01.19 am.
"Kak Queen ngapain malam-malam gini online?" Gumamnya bertanya pada diri sendiri. Kemudian setelah itu, jari-jari lentiknya mulai bergerak lincah mengetik huruf-huruf disana hingga tersusunlah sebuah kalimat pertanyaan.
[Kak Quee]
"Kak, kok belum tidur? Ngapain?"
Diandra menekan tombol yang bertuliskan —send— sehingga pesan yang berupa pertanyaan itu pun lekas terkirim. Dan menit berlalu, Queen tidak membalas pesannya namun ternyata wanita itu malah menghubungi dirinya.
Dddrrttt …
Kak Queen is calling…
Dengan cepat, Diandra pun lekas menggeser tombol berwarna hijau itu sehingga panggilan pun langsung terhubung.
"Hallo, Kak?" Sapa Diandra setelah membawa benda pipih itu dekat dan menempel dengan telinga kanannya. Diandra beranjak dari atas ranjang lalu melangkah ke arah sofa dan lekas mendaratkan bokongnya disana.
"Duh, pengantin baru jam segini masih belum tidur. Begadang, Die?" Goda Queen diseberang telepon.
Sementara Diandra, wanita itu lantas tersenyum miris namun tak berselang lama, dia pun langsung membalas ucapan wanita itu. "Jangan suudzon, deh. Aku kebangun karena haus, Kak." Kilah Diandra.
"Hum, lagi pula kalau beneran juga gak apa-apa, Die. Apa salahnya sih, sama suami sendiri." Ujar Queen dan Diandra hanya tersenyum saja.
"Kak Queen sendiri lagi ngapain? Kok nggak tidur?" Tanya Diandra.
"Gavien bangun, Die. Popoknya penuh." Balas Queen.
"Mas Avien nya kemana?" Tanya Diandra.
"Ya tidur, Die? Kemana lagi malam-malam begini?"
"Ya, aku mana tau, kak. Soalnya 'kan tumben kak Queen bisa online. Biasanya gak boleh sama Mas Avien."
Terdengar diseberang telepon, Queen nampak mendesah. "Ya begitulah kakak kamu. Semoga saja Alvan gak seperti itu. Posesif."
Diandra terkekeh. 'Nggak mungkinlah, Kak. Alvan saja membenciku. Dia tidak mencintaiku sama sekali, dan aku sendiri nggak tau alasannya apa.' Batin Diandra tanpa berani mengucapkan gumam hatinya yang terdengar pilu.
"Aku aminkan saja deh." Balas Diandra sehingga terdengarlah suara tawa Queen diseberang sana.
Mereka terus berbincang-bincang hingga hampir tiga puluh menit lamanya dan barulah Diandra pun berpamitan pada Queen saat dia mendengar suara kantuk wanita itu.
Sementara dirinya, Diandra sudah tidak mengantuk sama sekali dan sepertinya dia akan begadang sampai besok pagi.
.
.
Tak terasa, pagi pun telah menyapa, bahkan saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.01 AM. Saat ini, Diandra sedang berada di lantai bawah bersama bi Surti, salah satu asisten rumah tangganya.
Diandra menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya sendiri dan sang suami yang mungkin sebentar lagi akan turun untuk sarapan bersama. Sepertinya, Diandra masih berharap akan adanya kehangatan di antara mereka.
"Non, ada lagi yang dibutuhkan?" Tanya bi Surti.
Diandra menoleh ke samping kanannya menatap wanita paruh baya itu dengan senyum ramahnya. Sungguh, Diandra suka sekali dengan bi Surti, orangnya baik dan juga sangat ramah.
"Kayaknya ini sudah cukup, Bi. Mungkin nanti Alvan akan makan sandwichnya aja." Balas Diandra dan bi Surti pun hanya mengangguk pelan.
"Oh iya, bibi lupa ngeluarin potongan buah untuk non Diandra. Bentar, bibi ambil di kulkas." Ujar bi Surti.
Diandra mengangguk pelan tetap dengan senyum manis dibibirnya.
Tak berselang lama, bi Surti kembali dari dapur sambil membawa mangkuk berwarna putih berukuran sedang yang berisikan potongan buah segar untuk Diandra.
"Makasih ya, bi?" Ujar Diandra saat bi Surti meletakan mangkuk itu diatas meja makan.
"Sama-sama, Non." Balas wanita paruh baya itu.
Saat Diandra hendak menuangkan air putih kedalam gelas panjang itu, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara hentakan heels yang terdengar nyaring.
Diandra menoleh dan dia melihat kehadiran seorang wanita yang saat ini melangkah semakin dekat ke arahnya. Dia adalah Belinda.
"Wah, pembantu lama dan pembantu baru kompak banget ya, nyiapin sarapannya." Ujar Belinda.
Diandra menghentikan gerakan tangannya yang hendak lanjut menuangkan air kedalam gelas. Keningnya berkerut kemudian dia menatap tajam kearah Belinda.
"Kamu jadi perempuan gak ada malu sama sekali, ya? Cocok sama nama kamu. Belinda, digeser sedikit, jadi BENALU!" desis Diandra.
Belinda mengepalkan kedua tangannya, menatap geram kearah Diandra. Sementara bi Surti, wanita paruh baya itu sekuat tenaga menahan tawa. Dia tidak menyangka kalau Diandra akan berani melawan Belinda.
"Belinda?" Panggil Alvan sambil melangkah menuju meja makan.
Belinda menoleh begitupun dengan Diandra. Sementara bi Surti lekas melangkah kembali ke belakang. Disana, Alvan nampak sudah rapi.
Apa Alvan akan ke kantor? Tapi, bukannya pria itu masih dalam masa cuti, karena baru saja menikah? Entahlah, Diandra bingung dan dia juga malas bertanya. Apa lagi ada Belinda disana.
"Morning, sayang," seru Belinda saat menyambut Alvan. Wanita itu melangkah menyambut Alvan dan setelah berdiri di depan pria itu, Belinda pun berjinjit dan langsung menyambar bibir Alvan
"Hhmmpphh…" Belinda mengulum bibir itu sehingga tak ayal membuat Alvan sedikit terkejut.
Sementara Diandra, dia yang sempat melihat adegan menjijikan tersebut, dia pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Diandra menggeser tubuhnya, menarik salah satu kursi meja makan dan lekas mendaratkan bokongnya disana.
Ditengah dechapat kedua anak manusia itu, Diandra pun sibuk mengoles satu slice roti tawar dengan selai coklat. Diandra berusaha menulikan pendengarannya, meski tetap saja suara laknat itu terdengar jelas di indra pendengarannya. Diandra terus berusaha fokus, dia juga berusaha menahan genangan air matanya.
Sungguh, demi Tuhan, dadanya sesak, Diandra tidak sanggup. Namun, keadaan yang memaksanya seperti ini.
Diandra harus menelan penderitaan ini seorang diri. Diandra tidak ingin mengadukan rasa sakitnya kepada siapapun terutama kedua orang tuanya.
Menit berlalu, Diandra mulai menggigit ujung sandwichnya sementara Alvan dan Belinda pun lekas bergabung bersama dirinya disana.
Kedua manusia tidak tahu malu itu duduk berdampingan dan Belinda nampak sedang menyiapkan sarapan untuk Alvan.
Diandra menyadari namun dia enggan menanggapi. Lebih tepatnya, Diandra berusaha untuk tidak peduli.
"Sayang, kamu mau jus atau kopi?" Tanya Belinda pada Alvan.
"Air putih saja." Jawab Alvan dan Belinda pun lantas mengangguk lalu mengisi gelas kosong itu dengan air putih untuk Alvan.
Sesekali Alvan melirik ke arah istrinya yang hanya diam saja. Lebih tepatnya Wanita itu sibuk dengan kunyahan dalam mulutnya.
'Aku tau kalau kamu berusaha untuk nggak peduli, Diandra. Lebih tepatnya saat ini kamu pasti sakit! Hatimu pasti sakit, 'kan? Ini memang tujuanku, Diandra, jadi terima saja takdirmu!' Batin Alvan puas karena sudah berhasil membuat luka di hati istrinya.
Ddrrttt …
Daniel is calling…
Diandra tersentak saat mendengar ponselnya berdering. Diandra meraih dua lembar tisu lalu lekas mengusap pelan kedua sudut bibirnya dan langsung menjangkau benda pipih itu.
Saat dia melihat nama kontak Daniel disana, Diandra pun mengulas senyum kemudian menegakkan tubuhnya lalu mendorong pelan kursi yang didudukinya dan lekas beranjak dari sana.
Dan hal itu tak lepas dari perhatian Alvan. Melihat sang istri mengembangkan senyum membuat Alvan mulai penasaran dan bertanya-tanya, siapakah orang yang sedang menghubungi istrinya itu?
"Hallo, Daniel?" Sapa Diandra setelah menggeser tombol berwarna hijau sehingga panggilan pun langsung terhubung. Diandra terus melangkah menjauh dari meja makan.
Sementara Alvan, pria itu menghentikan kunyahan dalam mulutnya, lalu menatap tajam pada punggung istrinya.
Tanpa memperdulikan Belinda, Alvan pun berdiri dan langsung melangkah lebar mengejar istrinya.
Alvan meraih lengan wanita itu, lalu merampas paksa ponsel milik Diandra kemudian menghantam kuat pada dinding kokoh di sana sehingga benda tak berdosa itu pun hancur begitu saja.
"Berhenti berhubungan dengan Daniel, Diandra! Atau kau akan menyesalinya!"
Deg!
***