Episode 9 : Tidak Ada Kegagalan

1437 Words
Motor gede yang Sultan tunggangi menepi di salah satu mal tempatnya akan memilih beberapa sandal dan keperluan lainnya ketika ia harus menjadi Sunny. Melangkah gagah dan pecicilan layaknya biasa karena lupa dengan statusnya, Sultan sukses mencuri perhatian pengunjung di sana. Mereka menatap aneh Sultan yang tidak bisa diam bahkan terkadang bersiul santai sambil sesekali loncat tak ubahnya tengah bermain basket. Ini ada satpol PP apa bagaimana kok mereka merhatiin aku begitu amat? Aku cantik, kan? Eh maksudnya, aku enggak akan digerebek, kan? Mencoba masa bodo, Sultan langsung masuk ke toko sepatu dan sandal. Ia langsung masuk ke deretan yang memajang sepatu laki-laki karena ia memang belum terbiasa. Setelah lama memilih dan tak menemukan yang dicari, barulah Sultan mengetahui ia tidak berada di tempat yang memajangkan sepatu wanita. Pantesan, aku masuk ke kutub utara padahal harusnya ke kutub selatan nyari kitab suci! Batin Sultan kesal yang kemudian refleks mendengkus dan berseru sambil agak loncat layaknya ketika ia main basket. “Haah!” Sebagian yang di sana terusik. Mereka mendengar suara laki-laki yang terdengar lantang, kesal bahkan marah. Tak ada orang lain selain Sultan. Dan dengan tak berdosanya, Sultan langsung menjelma menjadi sosok Sunny—tersenyum hangat dan sangat ceria sambil mengedipkan manja kedua matanya. Sampai-sampai, para laki-laki dari semua kalangan usia baik yang muda maupun paruh baya, langsung tersipu menatapnya. Kabur ... kabur. Jangan sampai mereka berebut aku! Batin Sultan yang sampai buru-buru lari. Tujuannya tentu saja tempat yang memajang koleksi sandal dan sepatu wanita. Pilih yang pink sama warna manis karena cewek identik sama yang manis. Jangan lupa, sekarang aku Sunny, bukan Sultan. Mata Sultan langsung sibuk mengamati setiap pajangan sepatu dan sandal di sana. Ia tak ingin menyulitkan hidupnya lebih dari berdandan secantik sekarang dengan paket lengkap. Jadi, ia tak ingin memakai heels. Cukup sepatu flat, sandal lucu, atau semacamnya. Kalaupun terpaksa memakai heels, Sultan akan mengatur dan sebisa mungkin membatasinya. Ada sepatu flat yang begitu manis berwarna pink salem. Benar-benar kalem dan Sultan menjatuhkan pilihannya pada sepatu flat tersebut. Namun, sebuah tangan berjemari panjang baru saja mengambilnya. Seorang lak-laki dan Sultan tafsir masih muda, yang mengambilnya. “Haey?!” Sunny sengaja berseru, suara manja teraniaya yang agak mendesah. Sosok yang baru saja mengambil sepatu dan nyaris berlalu berangsur menoleh dan menatap Sunny. Deg! Jantung Sultan langsung berhenti berdetak. Buru-buru Sultan minggat karena sosok pemuda tadi Gio. Si Pak presiden bisa langsung mengenaliku kalau dia lihat aku lebih lama dikit! Batin Sultan panik. “Sayang, kamu sudah dapat yang cocok buat mamah?” panggil Rarendra yang menghampiri Gio. Pemuda kalem irit bicara itu langsung menoleh kemudian tersenyum hangat menatapnya penuh sayang sekaligus hormat layaknya biasa. Ada yang berbeda karena ia memergoki Gio memperhatikan sosok wanita berambut panjang bergelombang bertubuh langsing semampai. “Itu siapa, pacar Kakak?” tebak Rarendra penasaran. Ia menahan senyum, berharap Gio yang sejauh ini lurus fokus belajar bahkan sampai mendapat julukan presiden dari Sultan, juga seperti pemuda pada kebanyakan yang mulai mencecap indahnya cinta. Namun sampai detik ini, Gio hanya sibuk dan fokus belajar tanpa lupa pada statusnya sebagai anak sekaligus seorang kakak yang selalu memberi contoh baik sekaligus melindungi adik-adiknya. Gio berdalih ingin menjadi orang hebat yang bisa membahagiakan keluarga. Membahagiakan ayah dan mamahnya, dan juga adik-adiknya tanpa Adi di dalamnya. Karena makin dewasa dan mengetahui ulah Adi di masa lalu, Gio bahkan Gia sangat membenci Adi. Sekadar didatangi dan diajak pergi oleh Adi saja, Gio dan Gia selalu menolak. Mendapat pertanyaan tadi dari Rarendra, Gio langsung gugup, celingukan dan buru-buru menggeleng. “Bukan, Yah. Tadi, ... aku hanya merasa tidak asing saja pada dia. Wajahnya mirip siapa, gitu.” Melalui senyumnya, Gio mencoba meyakinkan sang ayah. “Ya sudah, itu pilihan kamu buat mamah? Oh, iya ... kamu enggak mau sekalian pilih buat Gia, Falen dan Felyn juga? Pilih sekalian gih.” Rarendra tersenyum hangat. “Siap, Yah. Aku pilih buat semuanya. Buat kita juga biar kembaran semua!” balas Gio sambil tersenyum semringah. Rarendra tersenyum semringah sambil mengangguk-angguk setuju. *** Sekitar dua jam kemudian, keceriaan Sunny yang telah memakai sepatu flat warna biru salem selaras dengan setelan dress-nya berbuah kesedihan karena Lintang sudah pulang. Susah payah Sunny meyakinkan petugas rumah sakit untuk membagi alamat Lintang padanya. “Aku ... aku cemceman kembarannya si Lintang, tapi sayangnya kami belum tahu alamat masing-masing dan lebih mengesedihkan lagi, aku lupa bawa ponsel saking buru-burunya. Huwe we we we ....” Sunny sampai pura-pura menangis manja. Berhasil! Kedua petugas resepsionis di sana iba kepadanya. Tak mau memandang sebelah mata kedua resepsionis di sana, Sultan memberi keduanya masing-masing tiga lembar uang seratus ribu. “Doain, ya ... doain. Makasih banyak. Aku sayang banget sama kalian! Dadah!” pamit Sunny sambil berlari, meninggalkan kedua resepsionis yang kebingungan menatapnya tapi Sultan yakin, harusnya kedua wanita ayu tersebut bahagia. Suasana sudah makin petang ketika Sultan keluar dari rumah sakit. Buru-buru ia menuju motornya yang terparkir di tempat parkir rumah sakit bagian depan. Akhirnya aku punya alamat Rossalindaku! Batinnya. Sultan memacu motornya dengan kecepatan penuh. Malam sudah menggantikan petang dan Sultan sampai di depan rumah Lintang tepat pukul tujuh malam. Ya Alloh, ... beneran berasa jari Kera Sakti yang pergi ke Barat buat ambil kitab suci. Dari tadi dandan terus muter-muter. Masya Alloh, nikmat sekali. Maghrib sampai aku lewati berasa jadi wanita datang bulan. Maaf ya, Alloh, aku enggak sering-sering, kok. Sultan melepas helmnya dan parahnya rambut palsunya tersangkul. Panik, Sultan sampai panas dingin dan segera merapikannya dengan hati-hati karena satpam yang berjaga di sana sudah langsung menghampirinya. “Non, cari siapa?” tanya satpam bertag-name Slamet tersebut. “Saya cari jodoh, Pak!” balas Sultan terengah-engah sekaligus kelelahan. Sang satpam langsung kebingungan. “Di sini bukan rumahnya Jodoh, Non!” jelasnya meyakinkan. “Rumah jodoh saya, maksudnya,” balas Sunny sambil mengembuskan napas pasrah. “Lintang, ....” Ia tersenyum semringah. Namun ketika melihat tanggapan ngeri dari pak Slamet yang memiliki kumis tebal tegar layaknya tokoh Pak Raden, Sunny buru-buru mengoreksi maksudnya. “Langit maksudnya. Kalau si Lintang, berarti calon ipar!” Pak Slamet mengangguk-angguk paham. “Namun tadi semuanya baru pada pergi ke rumah Pak Gandra soalnya si Eyang sakit parah dan katanya mau dirujuk ke rumah sakit.” “Hah? Jadi di rumah enggak ada orang? Lintang juga ikut maksudnya? Kira-kira pulangnya kapan?” balas Sunny yang merasa rasa lelahnya menjadi bertambah berkali-lipat karena dengan kata lain, usahanya seharian ini menjadi bancci menjelma menjadi Sunny si gadis ceria, sia-sia. “Kurang tahu, Non. Di telepon saja coba. Apa titip pesan?” balas pak Slamet. “Ya sudah, kasih saya alamat Pak Gandra. Saya mau langsung susul ke sana!” balas Sunny masih terengah-engah. “Eh tapi, pak Gandra ini, siapa, ya?” “Pak Gandra? Kata pak Edward sih, mantan super duda,” jelas Pak Slamet. “Hah? Super duda? Maksudnya, duda pun berlevel, begitu?” balas Sunny penasaran. Setelah mendapatkan alamat pak Gandra, Sultan langsung menuju alamat tersebut. Suasana sudah makin gelap, dan setelah Sultan sampai di sana, Sultan benar-benar merasa sial karena semuanya termasuk Lintang sekeluarga sudah memboyong sang Eyang ke rumah sakit. “Ya sudah, Mas. Kadang kita memang harus mengalah dan berani berkorban lebih untuk mendapatkan semua yang spesial.” Hati kecil Sultan menasihati, dan Sultan setuju. Sultan memilih untuk mengakhiri ulahnya. Dan sesampainya ia di rumah, ia langsung disambut bahagia oleh sang papah. Leon tak hentinya tertawa bahagia. Lain halnya dengan Sasmita yang menyikapi dengan jauh lebih tenang. Sasmita memberi Sultan pelukan hingga Sultan kehilangan banyak bebannya. Hari ini Sultan merasa kecewa karena gagal menjalani misinya. “Aku merasa gagal, dan untuk pertama kalinya aku merasa kecewa,” ucap Sultan yang masih dengan tampilan Sunny. “Sayang, di dunia ini tidak ada kegagalan sebelum semuanya benar-benar berakhir. Kegagalan hanya ada untuk mereka yang menyerah. Dan sampai kapan pun, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha.” Sasmita mengelus Sultan yang mendekap sekaligus bersandar padanya penuh sayang. Leon duduk di sebelah Sultan, di sofa panjang ruang keluarga lantai bawah kediaman mereka. “Kamu mainnya kurang jauh, sih. Harusnya kamu sewa mata-mata buat awasin gerak dia sekalian jaga dia pas kamu enggak ada. Bentar Papah urus. Papah minta data dirinya, termasuk alamat rumahnya!” ucap Leon sesaat setelah mengeluarkan ponselnya. Sultan langsung bersemangat dan menatap sang Papah tak percaya. “Aku pikir selama ini Papah Bi saja, eh ternyata lumayan cerdas. Hahahaha!” Leon tak bisa berkata-kata. Ia merasa sangat tertampar sekaligus malu dengan pernyataan Sultan barusan. Namun, ia tak mungkin marah apalagi mengamuk pada putra semata wayangnya. Belum lagi, Sasmita istrinya dan merupakan satu-satunya wanita yang sangat ia cintai juga sampai ikut tertawa bersama Sultan. Kedua orang terpenting dalam hidupnya itu tampak sangat bahagia hanya karena menertawakannya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD