Kuedarkan pandanganku pada sekeliling ruangan ini. Aku merasa tidak asing berada dalam ruangan ini, tapi saat ini aku benar-benar tidak ingat dimana aku berada kini.
Ruangan ini... oh aku baru ingat, ini adalah ruangan yang sama dengan ruangan yang telah di masuki oleh Anggelia. Tapi, mengapa aku ada disini?
Kutolehkan kepalaku ke arah ranjang, dan aku mendapati seseorang tengah terbaring dengan bantuan alat- alat medis yang terpasang di sekujur tubuhnya.
Keningku berkerut dalam, berusaha mencerna apa yang kulihat saat ini. Siapa dia? Bukankah kemarin saat aku kesini ruangan ini masih kosong tak berpenghuni?
Kulangkahkan kakiku mendekat ke arah depan ranjang. Membungkuk sedikit untuk melihat name tag yang tertulis di bagian depan ranjang pasien.
Dr.Hornick McLewis
Jadi dia seorang dokter? Mengapa aku tidak mengenalnya? Tapi mengapa aku merasa tidak asing dengan namanya?
Kulangkahkan kakiku kembali beranjak mendekat ke sisi tempat tidurnya. Masih muda ternyata. Jika kukira- kira, mungkin dia masih seumuran denganku. Dilihat dari kondisinya, sepertinya dia telah mengalami kecelakaan mobil yang cukup parah.
DEG
Tatapan mataku terpaku pada sesuatu yang tersemat di jari manisnya yang sebelah kiri. Cincin? Apakah dia mempunyai tunangan? Atau bahkan istri?
Kualihkan tatapanku dari tangannya kearah nakas di samping kiri tempat tidurnya. Vas bunga? Bunga tulip? Ya, tidak ada yang salah degan kedua hal itu. Tapi yang membuatku heran adalah mengapa bunga itu layu? Bahkan bisa di katakan hampir mengering. Seingatku kemarin bunga itu masih segar dan baru kemarin di ganti oleh Anggelia.
Anggelia? Kutarik satu tangkai bunga tulip yang hampir kering itu dengan tangan kiriku. Mengapa aku merasa ini semua seperti berhubungan?
Tunggu... Perkataan suster saat berada di dalam lift kembali berkelebat dalam benakku.
DEG
Anggelia, bunga tulip, Dr.Hornick, dan cincin. Jangan- jangan... Anggelia adalah tunangan atau istri Dr. Hornick? Jika benar apa yang di katakan suster kemarin berarti Dr.Hornick sudah...
Secara perlahan kutolehkan kepalaku kearah ranjang rawat di sebelah kiriku.
DEG
Pria yang tadi terbaring lemah di atas ranjang itu kini telah membuka kedua matanya sempurna. Tatapannya tajam dan menusuk.
Aku mencoba untuk berkata tapi lidahku terasa kelu. Mencoba bergerak tapi persendianku terasa kaku tak bisa di gerakkan. Sekilas kulirik layar monitor pendeteksi detak jantung di sebelah kananku.
Dan napasku terasa kembali tercekat ketika hanya mendapati garis lurus tanpa pergerakan sedikit pun, dimana itu menandakan bahwa dia telah...
Kutolehkan kembali kepalaku ke arahnya, dan aku mendapati kedua tangannya terulur padaku secara cepat untuk mencekik leherku. Sementara aku hanya bisa memejamkan kedua mataku rapat- rapat melihat apa yang akan terjadi padaku nanti.
"Aarrgghhhh...."
Kedua mataku langsung terbuka lebar. Kuedarkan pengelihatanku ke sekeliling ruangan ini dan kembali kuhempaskan tubuhku keranjang king size-ku tatkala menyadari bahwa yang baru saja kualami hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk lebih tepatnya.
Dapat kurasakan bahwa tubuhku lengket oleh keringat, seolah apa yang kualami tadi benar-benar nyata. Tapi aku terlalu lelah untuk sekedar mandi.
Kutengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sebelah kiri. Dimana jarum jam telah menunjukkan pukul satu dini hari. Dan perlahan kembali kupejamkan mataku untuk kembali tertidur. Hingga kesadaranku mulai menipis, dan semuanya gelap. Aku pun kembali tertidur.
Ketika membuka mata kembali, aku mendapati seseorang yang selama beberapa hari ini terus membayangi pikiranku. Dia tersenyum dengan begitu manis, memperlihatkan lesung pipinya yang terlihat semakin mempercantik dirinya.
Dia berjalan semakin mendekat padaku, aku hanya bisa diam memandang tubuhnya yang terlihat begitu anggun dan seksi disaat yang bersamaan. Tanpa sadar aku meneguk ludahku secara paksa, hanya dengan memandangnya entah kenapa membuatku begitu terangsang olehnya.
Apa ini benar-benar dirinya? Dia semakin berjalan mendekat dan mulai menaiki ranjang yang kutempati saat ini. Tubuhnya secara perlahan merangkak ke arahku, membuatku dapat melihat belahan dadanya yang terlihat begitu kenyal dan lembut.
Napasku mulai memburu ketika dengan sengaja dia mengangkangi tubuhku yang kini berada dibawahnya. Matanya yang sewarna coklat bening, tampak memancarkan kilatan menggoda yang semakin membuatku merasa sesak.
Secara perlahan dia menundukkan wajahnya dan mengendus kulit leherku dengan begitu sensasionalnya. Jemarinya yang lentik mulai meraba dadaku secara s*****l.
***
Kulewati lorong- lorong rumah sakit sambil sesekali menganggukkan kepala kepada beberapa dokter maupun suster yang lewat menyapa.
"Siang Dr.Brian"
"Siang." Jawabku singkat.
Sudah seminggu berlalu sejak aku bertemu dengan Anggelia dan sampai saat itu pula aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya lagi. Lagi-lagi aku harus mendesah kecewa karena apa yang semalam kulalui dengan Anggelia nyatanya hanya sebuah mimpi belaka.
Entah mengapa semenjak bertemu dengan Anggelia, aku selalu memimpikannya dalam setiap mimpi basahku. Dia selalu hadir dalam setiap mimpi erotisku, membuatku semakin ingin bertemu dengannya. Dan anehnya lagi, aku merasa bahwa mimpi itu terasa begitu nyata kualami. Setiap belaiannya, lekuk tubuhnya, seolah aku merasakannya secara langsung. Arrggh... aku mengacak rambutku frustasi memikirkannya, bagaimana bisa aku terus-terusan memimpikan hal yang sama setiap mimpinya?
Mencoba mencari informasi di internet dan aku kini mengetahui sedikit mengenai kecelakaan yang di alami oleh Anggelia dan tunangannya dr.Hornick McLewis.
Sebuah kecelakaan mobil yang terjadi karena berusaha menghindari sebuah mobil box yang melintas di pertigaan jalan. Sehingga pengemudi berusaha menghindari hal tersebut dengan membanting setir yang menyebabkan keadaan mobil terbalik dan menewaskan satu korban, yakni dr.Hornick McLewis setelah beberapa saat di tangani di rumah sakit dan sempat mengalami koma selama satu minggu sebelum akhirnya dinyatakan meninggal.
Sementara Anggelia sendiri, sempat mengalami kritis karena mengalami benturan di bagian kepala tapi masih bisa di selamatkan.
Begitulah kira- kira informasi yang kudapatkan dari internet dan dr.Zack mengenai kecelakaan tersebut.
Makan siang kali ini aku berencana untuk makan siang di luar, tepatnya di sebuah cafe bertema outdoor yang bernama Green Cafe. Dimana cafe tersebut merupakan salah satu cafe favoritku karena aku bisa merasa nyaman untuk melepas penat. Ditambah suasana hijau dari beberapa pohon dan bunga yang sengaja ditaruh untuk memperindah suasana Bunga.
Setibanya di dalam cafe tiba- tiba tatapanku tertuju pada sesosok wanita yang sedang duduk di sudut cafe terlihat tengah memesan minuman seorang diri.
Tanpa sadar sudut bibirku kembali terangkat ketika mendapatinya sendirian. Tanpa banyak berpikir aku langsung berjalan ke arah mejanya.
"Sendirian? Boleh aku bergabung?"
Kulihat dia mendongak menatapku sejenak, sebelum akhirnya tersenyum manis dan mempersilahkanku duduk. Tanpa bisa ku tahan sudut bibirku tertarik keatas tersenyum lebar ketika dia mengizinkanku duduk di depannya.
Ah... senangnya bisa bertemu lagi dengannya setelah seminggu ini aku selalu memikirkannya.
Perasaan bahagia membuncah di dadaku mendapati senyum manisnya. Dan aku bertekad akan selalu mempertahankan senyum manisnya padaku. Hanya untukku.
Kupanggil waitress ke arah meja kami dan aku langsung memesan makanan dan kopi.
"Apa kau ingin memesan sesuatu?"
Tanyaku padanya yang dijawab gelengan pelan.
"Tidak, aku sudah memesan minuman."
Tolaknya halus memperlihatkan dua gelas minuman yakni jus alpukat dan jus stroberi.
"Dua? Kau meminum semuanya?"
"Tidak, aku hanya meminum yang alpukat."
Jawabannya semakin membuatku bingung dan kembali mengernyitkan alisku hingga bertautan. Jika dia hanya meminum jus alpukat, lalu mengapa dia memesan jus stroberi? Bukankah sayang jika tidak di minum? Atau sebelumnya dia bersama seseorang?
"Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku memesan dua jus yang berbeda." ujarnya seraya terkekeh pelan.
Keningku semakin berkerut menyadari dia bisa membaca pikiranku.
"Aku tidak bisa membaca pikiranmu. Hanya saja aku tau dari ekspresimu yang selalu mengernyitkan keningmu."
Anggelia sedikit membungkuk ke depan dan mengusap keningku yang mengernyit hingga kernyitan di keningku hilang.
"Begitu lebih baik, jangan terlalu sering mengernyitkan keningmu nanti kau cepat tua." Anggelia kembali berujar di sertai senyum manis yang mau tak mau kembali membuatku tersenyum juga.
"Jadi, maukah kau menjelaskan mengapa kau memesan dua minuman sekaligus? Sementara hanya jus alpukat yang kau minum. Atau kau tengah menunggu seseorang?"
Aku tahu aku terlalu banyak bertanya. Tapi biarlah, mungkin ini salah satu caraku untuk lebih dekat dengannya. Kulihat dia berdiam diri selama beberapa saat.
"Kau tahu, dulu aku sangat menyukai jus alpukat. Tapi dia sangat menyukai jus stroberi. Bukan, lebih tepatnya dia penggila buah stroberi."
Dia berhenti sejenak kemudian terkekeh pelan. Pandangannya seolah menerawang mengingat masa-masa yang dikenangnya. Dan kini aku mulai mengerti kemana arah pembicaraannya. Tatapanku tetap fokus menanti kelanjutan ceritanya.
"Dulu setiap kami makan atau pun berkencan, kami selalu memesan dua jus yang berbeda. Pada mulanya aku tidak menyukai jus stroberi. Tapi setiap dia memesan jus stroberi dia selalu memaksaku untuk mencoba meminumnya. Awalnya aku selalu menolak, tapi dia tidak menyerah. Dia selalu membujukku hingga akhirnya aku meminumnya dan menurutku rasanya tidak terlalu buruk."
"Setelah itu kami selalu berbagi minuman kesukaan kami. Setiap gelas jus kami terisi dua sedotan dan kita meminumnya bersama. Tanpa sadar kebiasaanku memesan dua minuman yang berbeda selalu kubawa hingga saat ini, meskipun dia telah tiada."
Dia mengakhiri ceritanya dengan senyuman manis, seolah apa yang baru saja di katakannya adalah sesuatu yang berharga untuknya. Sementara aku hanya bisa diam mendengarkan, terlalu bingung harus merespon seperti apa.
"Pasti dia sangat berharga untukmu."
"Bisa dikatakan seperti itu." Lagi-lagi dia menjawabnya dengan senyuman. Dan aku tak pernah bosan untuk melihat senyumnya.
"Sepertinya jam makan siang sudah berakhir, aku permisi dulu." kulihat dia perlahan berdiri dari kursinya dan beranjak pergi. Namun terhenti sesaat dan dia menolehkan kepalanya ke arahku.
"Ini pertama kalinya aku membicarakan mengenai minuman itu. Kuharap kau bisa menjaga rahasia."
Ia berbalik pergi setelah mengatakan hal tadi, membuatku tercenung selama beberapa saat. Rasa penasaran membuatku menolehkan kepalaku ke arah jus stroberi yang entah menurutku sedikit berkurang.
Dengan ragu kupegang sedotan pada jus stroberi itu dan kulihat pada lubang sedotannya. Aku terkesiap selama beberapa saat dan langsung melepaskan peganganku pada sedotan tadi sambil berdiri sedikit menjauhi kursi yang tadi kududuki.
Di dalam sedotan itu terdapat bekas jus stroberi, seperti tadi seseorang telah meminumnya dengan sedotan. Padahal dengan jelas aku sendiri yakin, bahwa sedari tadi tidak ada seorang pun yang meminumnya.
Aku segera beranjak pergi keluar cafe dan kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan pekerjaanku.