Winter duduk di bangkunya melihat layar computer yang kini memiliki beberapa coretan, bahkan ada beberapa jejak coretan dan pesan yang sengaja di simpan di mejanya.
Pesan pesan yang di tinggalkan itu bukanlah surat cinta, namun pesan-pesan kebencian yang mendalam hanya karena sebuah asalan konyol.
Sebuah alasan dimana Winter di benci karena gemuk dan lamban.
Winter yang dulu mungkin akan menangis ketakutan hingga merasa tertekan hingga membuat dirinya sendiri berpikir bahwa dia memang tidak berharga setiap kali mendapatkan pesan-pesan anonym itu.
Namun Winter yang sekarang berbeda, alih-alih merasa takut dan tertekan, Winter membacanya satu persatu dan tersenyum meremehkan.
Suara ketukan di pintu terdengar. “Selamat pagi semua.” Sapa seorang guru perempuan berkacamata dan berseragam warna putih. “Kita mulai pelajarannya.”
Semua orang segera duduk dengan rapid an tampak bersiap-siap akan belajar.
Winter mengangkat tangannya, “Madam.” Panggilnya dengan sedikit lantang.
“Ya Winter.”
Winter segera berdiri. “Saya ingin pindah tempat duduk.”
Semua orang langsung melihat ke belakang, perkataan Winter seperti sebuah petir di siang bolong. Winter yang selalu diam seperti orang bisu, bahkan suaranya sekecil semut saat harus menjawab beberapa pertanyaan, kini dengan beraninya dia berdiri dan berbicara lantang, apalagi Winter ingin pindah tempat duduk.
Zanar, guru itu terdiam sesaat. “Kenapa?.”
“Saya sudah membayar biaya sekolah dengan sangat mahal. Namun saya duduk di meja yang sudah tidak layak dan mendapatkan fasilitasnya buruk, saya juga tidak bisa melihat papan tulis karena terlalu jauh.”
“Baik. Kau mau pindah ke mana?.”
Semua orang langsung melihat kedepan dan membuang muka, mereka tidak sudi satu bangku dengan Winter.
Winter langsung menunjuk tempat duduk Marvelo. “Saya ingin duduk di sebelah Velo.”
Orang-orang tertawa seketika terdengar keras memenuhi kelas karena mendengar panggilan menggelikan Winter dan keberaniannya yang mereka anggap kurang ajar. Bahkan Marvelo yang sejak tadi bersikap acuh langsung menengok dan memelototi Winter.
“Diam semuanya.” Peringat Zanar, wanita itu menahan senyuman gelinya yang terkesan merendahkan, namun dia harus tetap bersikap baik agar tidak menimbulkan kekacauan. “Marvelo, kau mengizinkannya?.”
Marvelo melirik ke sisi, di sisi tempat masih kosong karena dia tidak mengizinkan siapapun untuk duduk di sana.
Marvelo kembali melihat ke belakang dan melihat Winter yang menunggu jawaban.
Tangan Marvelo sedikit terkepal menahan kesal, namun melihat sorot mata Winter yang menyiratkan ancaman membuat Marvelo harus berpikir ulang.
“Saya setuju.” Jawab Marvelo yang membuat orang-orang di buat bungkam tidak percaya. Terutama Selina, seseorang yang paling benci dengan keberadaan Winter, sekaligus seseorang yang memiliki rasa kepada Marvelo.
“Silahkan pindah Winter.”
“Terima kasih madam.” Winter segera mengambil tasnya dan buku-bukunya, dengan tenangan dia pergi melewati beberapa bangku dan mengabaikan kebencian yang kian kuat tertuju kepadanya karena kini Winter akan duduk di sebelah seseorang yang paling sulit di sentuh siapapun.
Seorang anak pria berambut pirang bahkan dengan sengaja mengeluarkan kakinya hendak mencegat langkah Winter yang lewat.
Kepala Winter semakin terangkah, dengan sengaja dan tanpa ragu sepatu heelsnya langgsung menendang keras tulang kering anak pria itu hingga anak pria itu berteriak kesakitan.
“Kenapa James?. Kau baik-baik saja?.”
“Saya baik-baik saja Madam.” Jawab James dengan ringisan kesakitan.
Winter segera duduk di sebelah Marvelo dengan senyuman lebar, sementara Marvelo membuang mukanya dan hanya melihat kedepan, Marvelo kesal karena tiba-tiba Winter mengganggu kedamaiannya.
Marvelo juga kesal, karena di balik wajah polos lugu Winter yang selama ini ternyata memiliki sisi licik yang menakutkan.
“Velo..” bisik Winter memanggil.
“Jangan memanggilku seperti itu!” ketus Marvelo tidak nyaman, sikap ketusnya berbanding balik dengan wajahnya yang kini memerah malu hinga ke telinganya.
“Wajahmu merah Velo. Kau suka padaku?.” Goda Winter lagi merasa terhibur dengan reaksi Marvelo.
“Demi Tuhan Winter. Memanggilku dengan sebutan memalukan itu!.”
Winter menggeser kursinya dan mendekat. “Komputerku belum di pindahkan, jadi berbagi komputerlah denganku.”
Seketika Marvelo menengok dan melihat senyuman polos Winter yang duduk terlalu dekat dengannya.
Marvelo sedikit tersadar jika ternyata kini Winter memakai riasan di wajahnya. “Kau memakai mascara dan lipstick?.” Tanya Marvelo yang balik bertanya.
“Tentu saja, aku cantik kan?.”
“Kau terlihat seperti badut.” Marvelo semakin ketus.
Jawaban pedas Marvelo membuat Winter tersenyum dengan penuh tekanan, ejekan Marvelo membuat jiwa Kimberly tidak sabar membalasnya. “Kau benar, aku tidak secantik kau yang sangat cocok mengenakan riasan dan gaun d_”
“Sialan Winter.” Marvelo langsung menangkup mulut Winter agar berhenti berbicara. Marvelo sangat risih dengan ucapan Winter yang memancing-macing rahasia dirinya.
“Marvelo, Winter. Tolong perhatikan saya.” peringat Zanar hampir seperti teriakan.
Marvelo dan Winter segera menjauh dan duduk dengan benar.
***
BRAK
Selina menggebrak loker dan mengurung Winter hingga terpojokan oleh beberapa gadis yang lainnya.
Semua gadis di kelas itu melabrak Winter. Mereka tidak suka dan menganggap Winter sangat kurang ajar karena sudah membuat Marvelo menjadi tidak nyaman di kelas.
“Jangan menunjukan diri bahwa kau ada di kelas kami apalagi kecentilan dan mencari perhatian Marvelo. Itu sangat menjijikan.” Hina Selina meraya mendorong bahu Winter. “Sejak awal kau hanya bayangan di kelas ini, maka tahu dirilah.”
“Aku masih diam ketika kelas kita menjadi pusat perhatian karena sikap tidak tahu malumu yang menembak Hendery dan menimbulkan keributan. Namun, apa yang kau lakukan hari ini sangat memuakan. Aku benar-benar sangat tidak tahan satu ruangan denganmu. Berhentilah mencoba menjadi pusat perhatian, kami tidak akan pernah menganggapmu ada di sini.”
Winter sedikit terdiam melihat gadis-gadis itu mengeroyok dirinya dengan hinaan dan celaan, jiwa Kimberly yang berada di dalam tubuh Winter merasa kesal karena mereka hanya berani beramai-ramai menyerangnya.
“Kau mendengarkan aku!” kata Selina lagi seraya mencengkram bahu Winter. “Segera pindahkan komputermu lagi!. Jika kau tidak pindah, kau akan tahu akibatnya!” teriak Selena dengan keras.
“Ayo teman-teman.” Ajak Selina kepada teman-temannya.
“b******n, dasar anak-anak kecil.” Maki Winter meringis mengusap bahunya yang sedikit sakit.
Winter tidak bicara karena dia harus menghemat energinya agar tidak terkuras karena terus terpancing emosi orang-orang tidak berguna seperti mereka.
Beberapa kali Winter harus mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum memutuskan pergi keluar menyusul semua orang yang kini pergi menuju gedung olahraga.
Tidak ada satupun orang yang mengajaknya berbicara maupun mengajak pergi bersama, mereka menjaga jarak dari Winter dan benar-benar menganggap Winter asing, atau mungkin menganggap Winter tidak ada.
Jiwa Kimberly bertanya-tanya..
Bagaimana cara Winter menjalani kehidupannya di tengah-tengah orang yang membenci dirinya hanya karena gemuk dan bodoh?. Bagaimana bisa Winter hidup di antara orang-orang yang tidak pernah menganggap keberadaannya?.
Apa salah Winter?. Apa penampilan biasa saja dan lamban tidak masuk ke dalam syarat untuk memiliki teman?.
Inikah yang di sebuat dengan dunia yang tidak adil karena wanita cantik memiliki kelas yang tinggi meski bersikap buruk?.
Jiwa Kimberly membatin..
Dia teringat masa lalunya dulu yang begitu cantik dan di puja. Sedikit saja kebaikan yang dia lakukan dan di ketahui orang, Kimberly akan mendapatkan selangit pujian orang-orang di sekitarnya.
Inikah alasan Tuhan mengirimkan Kimberly untuk merasakan hidup Winter?.
Winter adalah gadis yang berhati lebih dari kata cantik, dia hanya salah mengenal orang-orang yang bisa dia percaya. Kebaikan di dalam diri Winter lebih cantik luar biasa dari sebuah fisik yang indah.
Semua orang harus melihat itu semua.
***
Suasana lapangan sepak bola terlihat luas dan ramai, ada beberapa anak-anak dari kelas lainnya yang sedang berolahraga.
Winter berdiri di sisi lapangan, merasakan hangat hangat sinar matahari yang cocok untuknya olahraga. Cukup di sayangkan kaki Winter lecet karena sudah banyak olahraga, dia tidak ingin merusak kakinya dengan berolaharga lagi.
Suara peluit terdengar ketika seorang guru meniupnya.
Winter segera menuruni tangga dan berlari untuk berkumpul dengan yang lainnya dan mendengarkan beberapa penjelasan penting mengenai olahraga yang akan di lakukan.
Guru yang bernama Gani itu kembali meniup peluit.
Semua orang mulai melakukan pemanasan, lalu bermain bola dan saling melempar. Mereka melingkar membentuk beberapa kelompok dan tampak menikmati permainan.
Terkecuali Winter, tidak ada satupun yang mengajaknya berbicara dan mengajaknya berolahraga.
Bahkan gurunya sekalipun bersikap seperti berpura-pura tidak lihat jika kini salah satu murid di kelas itu sedang berdiri kebingungan.
BRUK
Sebuah bola menghantam wajah Winter dengan keras seperti sebuah pukulan hingga membuat orang-orang di sekitarnya berhenti bergerak dan melihat ke arahnya.
Tubuh Winter terjatuh ke rumput dengan pandangan berkunang-kungan karena sakit di kepalanya. Winter beberapa kali berkedip dan melihat langit yang samar-samar berpurtar.
Dengan ringisan tertahan dia terduduk dan merasakan ada darah yang mengucur di hidungnya.
Bibir Winter sedikit terbuka, degup jantungnya berdetak dengan cepat, keringat dingin membasahi tangannya. Tubuh Winter sedikit mengejang karena sebuah panik attac.
Sebuah kenangan buruk berputar di kepalanya.
Semasa masih hidup sebagai Kimberly dan menjalani kehidupan di antara banyak kebencian dan tuduhan bahwa dirinya pembunuh. Kimberly tidak hanya menerima cacian, setiap kali dia keluar seseorang akan melemparinya dengan telur busuk.
Bayangan masa lalu yang buruk itu berputar di kepala Winter. Bahkan panik attac yang dulu Kimberly miliki semasa hidup kini menyerangnya lagi di kehidupan kedua.
Ada sepercik rasa takut yang tersulut hingga hampir menjadi sebuah ledakan. Winter bernapas sedikit cepat mencoba untuk menangkan diri di antara banyak orang yang terdiam di tempat dan hanya melihat dirinya yang tidak kunjung bangun.
Napas Winter bergerak semakin cepat melepaskan ketegangan demi ketegangan yang mencengkram dirinya.
Winter membungkuk dan perlahan bernapas sedikit lebih tenang di antara orang-orang yang masih diam mematung dan memperhatikan dirinya tanpa melakukan apapun.
“Kenapa diam saja!. lanjutkan!” Gani kembali meniup peluit dan meminta semuanya melanjutkan olahraga.
Semua orang kembali sibuk berolahraga.
Winter mendengus, mengusap hidungnya yang berdarah dengan punggung tangan. Di sisi lain Selina dan temannya yang sudah melemparkan bola itu kepada Winter hanya mengulum senyumannya dengan puas.
Di sisi lain, Marvelo yang masih diam dan memperhatikan Winter yang kembali mendapatkan perlakuan buruk orang-orang di sekitarnya. Sorot mata Marvelo jelas menunjukan kemarahan kepada semua orang, namun ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak melakukan apapun.
Sikap dingin dan acuh orang-orang di sekitar membuat Winter muak, bahkan mereka kembali sibuk berolahraga bersikap tidak melihat apapun yang terjadi.
Ketakutan yang di rasakan jiwa Kimberly berubah menjadi suatu kemarahan.
Winter bangkit perlahan, dia tidak tidak menangis. Baginya, menangis adalah sebuah tanda kekalahan.
Sebuah bola tiba-tiba menggelinding di hadapan Winter dan berhenti di depan kakinya.
Kepala Winter terangkat, di lihatnya Marvelo yang sengaja melakukannya. Marvelo menendang bola itu dan memberikannya kepada Winter.
Entah apa yang membuat Marvelo melakukannya.
Tangan Winter terkepal kuat, segumpal kemarahan akan meledak menjadi makian jika dia tidak segera melepaskan kemarahan itu. Tiba-tiba kaki Winter mengayun kuat, tanpa keraguan Winter menendang bola itu tepat ketika Selina berlari di hadapannya.
Bola itu mengenai mata Selina hingga Selina terjatuh dan menangis berteriak kesakitan.
Sekali lagi semua orang harus berhenti beraktivitas dan melihat apa yang terjadi.
“Apa yang kau lakukan!. Kau melukai temanmu!” teriak Gani yang langsung marah dan meniup peluit dengan keras.
To Be Continue..
Jangan terbawa emosi ya guys ? ada pesan penting yang belum saya sampaikan sebagai kesimpulannya, tunggu next chapter.