Bab 2 | Syarat Pernikahan

2256 Words
Sheya berbaring miring menghadap putrinya, menepuk-nepuk bokongg Sera untuk menina bobokan anak perempuan itu. “Ibu.” Bisik Sera yang memainkan rambut Sheya yang berjatuhan dari kuncirannya. “Iya, Kak?” “Sera akan selalu bubuk ditemani oleh Ibu, kan, mulai sekarang? Sera sayang Ibu, Ibu jangan tinggalkan Sera, ya? Sera takut jika tidak ada Ibu.” Ucap Sera dengan tatapan yang penuh harapan. Mendengar itu membuat Sheya mengangguk sambil membelai pipi Sera dengan rasa sayangnya. “Iya, Kak. Ibu akan selalu menemani Kak Sera, sekarang bubuk, ya?” “Sera suka, Ibu.” “Suka apa, sayang?” “Ibu sudah memanggil diri Ibu dengan sebutan Ibu untuk Sera, bukan lagi menyebut Bunda. Artinya, Ibu sudah benar-benar menjadi Ibu Sera, kan, Bu? Ibu seperti yang diceritakan Bunda Kinan. Sera sayang Ibu.” Ucap Sera kembali memeluk Sheya dengan tangan kecilnya itu. “Iya, sekarang Ibu adalah Ibunya Sera, sama seperti yang diceritakan Bunda Kinan, yang akan bermain dengan Sera, menemani Sera tidur, belajar dengan Sera dan mendidik Sera supaya menjadi anak yang baik juga pintar.” “Terima kasih ya, Ibu. Sera tidak takut apa-apa lagi sekarang selama ada Ibu.” Ucap Sera yang membuat hati Sheya kembali tersentuh, namun juga tercubit. Anak sekecil itu, pernah merasakan ketakutan hebat, dan juga mengalami kekerasan fisik, bahkan ancaman menggunakan boneka kesayangannya, pemberian terakhir dari ibu kandungnya. Jahanamm sekali wanita itu. Kini, saat Sera mengungkapkan perasaan amannya karena ada Sheya di sampingnya, bagaimana hati Sheya tidak teriris namun juga merasa terharu karena Sera bisa mengurai ketakutan itu dengan kehadiran dirinya? Langkahnya untuk menyetujui pernikahan ini tidak salah, kan? Sekali pun dia harus menjadi istri kedua? Dan mungkin orang-orang yang nanti mengetahuinya akan memandangnya sebelah mata, bukan hanya memandangnya sebelah mata, namun juga menghina dan mencemoohnya sebagai wanita perusak rumah tangga orang. Tapi bagi Sheya, itu lebih baik. Lebih baik dia yang dicap sebagai perusak rumah tangga orang, dari pada dia melihat mental seorang anak yang hancur oleh bunda tirinya yang kejam. Sera sudah lelap dalam pelukannya, namun Sheya masih belum juga bisa tidur. Pelan-pelan dia melepaskan pelukan sang putri, memilih keluar kamar sebentar untuk menenangkan pikirannya. Sesungguhnya, dia juga masih merasa shock, tidak percaya dengan status barunya kini, terlalu menggelitik dan menjijikan saat menyadari statusnya kini sebagai istri kedua. Tapi, ini adalah pilihannya, dan Sheya tidak menyesal sama sekali. Dia memutuskan untuk duduk di teras samping rumah yang menghadap ke area kolam renang, dari tempatnya duduk kini, Sheya bisa melihat salah satu asisten rumah tangga keluarga suaminya yang dia kenal, masih sibuk di dapur padahal sudah larut malam. Ingatannya justru kembali terlempar pada pertemuan pertamanya dengan Bi Rumi malam itu, mereka bertemu di minimarket dekat rumah Sheya. Entah itu sebuah pertemuan yang tidak disengaja atau memang disengaja oleh Bi Rumi sendiri, karena begitu mereka bertemu, Bi Rumi tampak tidak terkejut dan langsung mengajak Sheya mengobrol empat mata. Malam itu, Bi Rumi meminta waktu Sheya untuk mengobrol di depan minimarket, mereka duduk di kursi besi, sambil menikmati sekaleng soda sebagai pelengkap teman ngobrol. Ternyata itu menjadi obrolan panjang, yang justru membuat Sheya semakin mengenal kehidupan gadis kecil malang bernama Anasera. “Bunda Sheya … Saya Rumi, ART nya Non Anas, boleh mengobrol sebentar? Saya beberapa kali melihat Non Anas selalu tertawa lepas saat bersama Bunda, sampai saya mengabadikan momen tersebut, di beberapa kesempatan juga Non Anas memilih bertahan lebih lama di sekolah, ya, Bunda.” Mendengar intro dari obrolan mereka membuat Sheya mengangguk kecil. Benar, hampir semua orang memanggil Anasera dengan panggilan Anas, mungkin hanya dirinya yang memanggilnya dengan panggilan Sera. “Hari ini, Non Anas mengatakan sesuatu kepada saya, saya terharu, karena sesungguhnya dia sangat pendiam sejak mengalami kekerasan, Bunda, dan apa yang dia katakan pada saya, itu berhubungan dengan Bunda.” Ucap Bi Rumi yang kini terlihat lebih serius. Kini, tatapan Sheya bukan lagi menatap pada lalu lalang jalan, namun beralih pada Bi Rumi. “Non Anas mengatakan, dia ingin sekali Bunda Sheya nya di sekolah bisa menjadi Ibunya.” Ucap Bi Rumi. Eh, setelah mengungkapkan itu, Sheya melihat air mata Bi Rumi jatuh. Dia juga sudah mendengar keinginan anak kecil itu yang seminggu lalu memanggilnya dengan panggilan Ibu. “Kenapa Bibi menangis?” Sheya menyodorkan tisu yang ada di tasnya. Niatnya yang hanya ingin mampir ke minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan dan langsung pulang, kini justru tertahan lebih lama dengan obrolan yang cukup emosional. “Non Anas itu … Sedih sekali nasibnya, Bunda. Orang tua kandungnya kecelakaan dan meninggal di tempat, tepatnya satu tahun yang lalu. Kemudian, hak asuh langsung diambil alih oleh Tuan Arjun, karena beliau adalah satu-satunya adik dari almarhum Papa Non Anas.” Sheya masih diam. Bibirnya ingin berteriak dengan lantang jika itu bukan urusannya, dan dia tidak perlu mengetahuinya. Namun, sang hati melarang, bibirnya justru terkunci rapat seolah mempersilahkan Bi Rumi untuk menceritakan kehidupan Sera yang mengaku dipukuli oleh si Bunda Giska itu. “Tuan Arjun sangat menyayangi Non Anas … Bahkan semenjak lahir, dia tidak mau dipanggil Om, lebih memilih dipanggil Ayah, mereka sangat lengket dan saling menyayangi. Non Anas tumbuh dalam keluarga bahagia sebelum akhirnya semua itu berubah total di usianya yang ke tiga tahun.” Oh, malangnya gadis kecil itu, keceriaan seketika terenggut dari hidupnya. Hati Sheya diam-diam merepih pilu. “Sampai semuanya berubah menjadi buruk saat Tuan Arjun memutuskan untuk menikah dengan Nyonya Giska. Tidak ada yang tau jika Nyonya Giska kerap main tangan pada Non Anas. Malang sekali gadis kecil itu, hidup ketakutan dalam pengasuhan ibu tiri yang jahat.” Bi Rumi kembali menyusut air matanya. “Kenapa tidak dilaporkan kepada Ayahnya atau Kakek-Neneknya, Bi?” “Belum sempat saya dan susternya membuat laporan, Tuan Arjun sudah mendapat laporan lebih dulu dari pihak sekolah, mungkin Bunda Sheya juga sudah tau mengenai ini?” Sheya sampai memejamkan matanya, kini semua puzzle itu mulai tersusun sempurna. Tepat setelah Sera mengatakan dia dipukuli oleh Bundanya di rumah, hari itu juga Sheya langsung menemui kepala PAUD. Ternyata masalah itu sudah terselesaikan dua minggu sebelum Sera bercerita padanya secara langsung di hari itu. “Nyonya Giska melempar kesalahan pada Suster Non Anas, namanya Sisil, sebelum itu, Nyonya Giska sudah mengancam Sisil lewat adiknya yang sedang sakit. Sehingga, mau tidak mau Sisil mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya, dia dipecat, juga dipenjara. Sungguh malang nasibnya.” Sheya semakin menahan napas mendengar fakta yang seperti itu. “Non Anas menjadi pendiam, sangat pendiam, dan sering ketakutan, Non Anas sempat dibawa terapi, namun keadaannya tidak membaik, karena sumber dari ketakutannya masih ada di dalam rumah, dan tidak ada yang menaruh curiga pada Nyonya Giska.” “Ya Allah … Kok bisa, si, Bi? Kasihan sekali anak itu.” Sheya merasa jantungnya berdebar kencang membayangkan anak sekecil itu sudah mengalami hidup yang pelik. “Sulit, Bunda, menghadapi rubah betina seperti dia. Orang kecil seperti Bibi pun tidak punya kekuatan, Bibi masih cinta keluarga Bibi dan butuh uang. Jadi, Bibi hanya diam menjadi penonton, padahal hati Bibi juga berdarah-darah melihat anak kecil yang tidak berdosa itu sering dicubit dan dipukul. Bibi merasa berdosa, Bunda." Kini, bukan hanya air mata yang jatuh namun Bi Rumi sudah terisak-isak. "Apalagi, ancaman Nyonya Giska tidak main-main, korbannya sudah ada di depan mata Bibi, Suster Sisil yang bekerja dengan sepenuh hati menjadi kambing hitam kebiadabannya, tau-tau dia mendekam di penjara. Bibi semakin takut.” Bi Rumi menghela napasnya panjang sambil menyusut air matanya, ada rasa sesal dalam tatapan matanya. “Apakah Sera juga diancam oleh bunda tirinya, itu?” Tanya Sheya seolah mengonfirmasi apa yang dia dapatkan dari cerita Sera. “Iya, boneka kesayangan Non Anas, hadiah dari mamanya, dicabik-cabik dengan gunting hingga isinya berhamburan, dia menunjukkannya pada Non Anas tanpa perasaan, dia mengatakan, jika Non Anas sampai mengadu atas apa yang terjadi pada orang-orang di rumah, maka giliran Non Anas yang seperti itu. Itu kejadian sebelum ada laporan dari pihak sekolah, sehingga semua kesalahan benar-benar dilimpahkan pada Suster Sisil.” Sumpah! Sheya bahkan tidak sanggup membayangkan bagaimana ekspresi Sera saat disodorkan boneka rusak itu. Bagaimana bisa ada wanita biadab yang melakukan hal gila pada anak selucu Sera? “Tapi, ya memang Gusti Allah mboten sare, ya, Bunda. Maksud Bibi, Allah tidak tidur. Kejahatan Nyonya Giska seolah langsung mendapat karma instannya. Seperti dibayar tunai oleh Allah. Ya bagaimana tidak dibayar instan, dia mendzalimi seorang anak yatim piatu, loh, Bunda. Bibi saja sampai heran, kok, ada manusia berwajah cantik namun berhati iblis seperti itu. Tau-tau, dia mengalami kecelakaan beberapa bulan yang lalu, divonis lumpuh hampir sembilan puluh persen, dan hanya bisa menggerakkan jari-jemarinya juga mulutnya saja yang masih berfungsi.” Kini, Bi Rumi menyusut air matanya dan menghela napas lega. "Kenapa Bibi tidak melaporkan kejadian yang sebenarnya setelah Bunda Giska mengalami kelumpuhan, seharusnya wanita itu tidak memiliki kekuatan lagi, kan?" "Sudah akan Bibi laporkan, tau-tau Bibi mendapat telepon dari kampung, anak bibi kecelakaan, lalu ada sebuah panggilan dari nomor asing, dia mengatakan. 'Jika kamu macam-macam dan mengadukan apa yang terjadi pada Anas, maka nyawa anak kamu lah yang menjadi taruhannya. Kecelakaan yang terjadi pada anakmu adalah peringatan. Paham?' Bibi menggigil ketakutan saat mendapat telepon itu, Bunda." Sheya sampai speechless mendengarnya, mungkinkah, Giska tidak bekerja sendiri? Dan ada sesuatu yang lebih besar yang diincarnya? "Sejak saat itu, Bibi benar-benar diam dan ketakutan, tidak ada lagi keinginan untuk mengungkapkan apa yang dilakukan Nyonya Giska. Apalagi Bibi tidak memiliki bukti apa pun, bisa jadi malah Bibi yang dituntut balik atas pencemaran nama baik, bagaimana pun orang yang berkuasa mudah memelintir fakta, kan, Bunda? Jadi, Bibi benar-benar mundur untuk menyelamatkan Non Anas. Hanya ini yang bisa Bibi bagi pada Bunda." Itu adalah tabir lain yang terbuka untuk Sheya, tentang kehidupan anak kecil yang nasibnya begitu malang di tangan ibu tirinya yang gila, satu dari hal-hal yang akhirnya mendorongnya pada keputusannya saat ini. “Non … Bibi buatkan teh hangat.” Suara Bi Rumi yang mengalun lembut itu menyentak Sheya dari lamunannya tentang pertemuan pertamanya dengan wanita bertubuh sedikit gempal yang kini tersenyum manis ke arahnya. “Makasih, Bi. Panggil Bunda saja seperti biasa.” Ucap Sheya membalas senyum itu. “Bibi mau berterima kasih, Bibi tau, Bunda Sheya juga mengorbankan hidup Bunda untuk pernikahan ini, dan Bibi juga tau, Bunda Sheya melakukan ini salah satunya untuk Non Anas. Allah yang Maha Kuasa, yang, entah bagaimana caranya, Dia membolak-balikan hati Bunda sampai mau menerima takdir menjadi istri kedua ini.” Bi Rumi kembali menyusut air matanya yang tau-tau sudah jatuh. Ah, wanita paruh baya itu sepertinya terlalu perasa. Sheya tidak menanggapi apa pun, dia justru menyesap teh melati itu, yang membuat tenggorokannya langsung terasa hangat. “Bibi akan selalu mendoakan kebahagiaan untuk Bunda Sheya, hati Bunda tulus, dan semoga kebahagiaan selalu menyertai Bunda. Terima kasih, ya, Bunda, sudah mewujudkan harapan Non Anas. Walau kita tidak bisa mengungkap kejahatan Bunda Giska sekarang, yang terpenting Non Anas sudah terselamatkan. Bibi tenang sekarang.” “Makasih, doanya Bi. Bibi masuk saja, sudah malam, besok harus bangun pagi, kan?” “Iya, Bunda. Ya sudah, Bibi tinggal, ya, Bunda juga jangan terlalu lama di luar. Angin malam tidak baik.” Bi Rumi pamit undur diri, sedang Sheya memilih kembali menikmati teh hangat itu dengan segala hal yang berkecamuk dalam d**a. Di balik pintu, Bi Rumi terkejut melihat tuannya yang sedang berjalan ke arahnya dengan kening mengernyit. “Tuan …” “Silahkan kembali ke kamar Bibi.” Ucap Arjuna membuat Bi Rumi langsung mengangguk dengan gugup. Di depan pintu yang terbuka lebar itu, Arjuna justru bersandar dengan tangan bersidekap, melihat pada wanita yang beberapa jam lalu menjadi istrinya, sibuk dengan lamunannya sehingga tidak menyadari kehadiran orang di sekitarnya. Ingatan Arjuna justru terlempar pada kenangan saat dia akhirnya bertemu pertama kali dengan Sheya, mereka bertemu untuk langsung membahas masalah pernikahan dan syarat pernikahan yang diajukan kedua belah pihak. “Pertama, aku ingin diakui sebagai orang tua sah Anasera di mata hukum dan negara. Artinya, aku ingin hak asuh Sera 100%.” “Kedua, aku ingin tinggal terpisah dari rumah keluarga Mas. Aku ingin memiliki rumahku sendiri, dan Sera akan tinggal bersamaku. Jika Mas ingin berkunjung silahkan, kapan pun itu, pintu rumah akan selalu terbuka untuk Mas.” “Ketiga, dalam pernikahan ini, aku tidak akan memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri terkait dengan kebutuhan biologis Mas. Dan aku rasa, Mas juga tidak mengharapkannya, kan? Jadi seharusnya tidak ada masalah.” Itu adalah tiga syarat yang diajukan oleh Sheya dalam pernikahan mereka, dan Arjuna menyanggupi ketiganya. Wanita itu, dulu merupakan adik kelasnya di sekolah, berbeda usia tiga tahun darinya. Sekolah mereka berbentuk yayasan, dari SD sampai SMA. Seingatnya, saat itu Sheya kelas 3 SMP sedang dirinya kelas 3 SMA. Gadis yang masih remaja itu mendatanginya, mengatakan dengan lantang jika mencintainya dengan tatapan khas remaja jatuh cinta, dan yang mengejutkan selanjutnya, Sheya mengambil langkah berani dengan mengecup pipinya. Ciuman pertamanya telah dicuri oleh gadis SMP ingusan yang jatuh cinta padanya. Entah bagaimana perasaan Sheya sekarang, Arjuna tidak peduli. Arjuna lalu mengetuk pintu, membuat Sheya tersentak, Juna bisa melihat wanita itu sedikit gelagapan. “Masuk! Aku akan mengunci pintunya. Menunggu apa kamu tengah malam begini? Tidur di kamar tamu. Jangan tidur di kamar Anas.” Nada suara Arjuna terdengar dingin, namun Sheya tetap menurutinya, dia membawa cangkir tehnya yang sudah kosong. “Besok, aku sudah bisa pindah ke rumah baru bersama Sera, kan, Mas?” Tanya Sheya saat dia mengikuti langkah Arjuna. Arjuna menghentikan langkahnya, menatap Sheya dengan alis yang menukik. “Ya.” Ucap Arjuna singkat dan datar, pria itu lalu melesat masuk ke kamar utamanya dengan sang istri. Sedang Sheya memilih mengabaikan ucapan suaminya dan berjalan menuju ke kamar Sera, tidur bersama putri kecilnya, seolah merayakan malam pertamanya sebagai seorang ibu alih-alih seorang istri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD