2. Mengikuti seorang perempuan

1084 Words
Ian masuk kerja seperti biasa—gelagatnya menjadi aneh setelah insiden kemarin. Lebih sering memperhatikan rekan kerjanya sampai-sampai mereka menjadi risi. Ian menghela napas lega ketika tidak melihat aura hitam lagi. Menganggap bahwa kabut gelap itu hanya ilusi yang disebabkan oleh matanya yang lelah. Hari semakin sore dan waktu pulang kerja telah berlalu, tetapi Ian masih berada di kantornya lantaran tugas yang diberikan oleh atasannya belum selesai. Pada saat itu seseorang lewat di depan ruangan Ian. Sekilas Ian melihat kabut gelap mengikuti perempuan yang baru saja lewat. Sontak hal itu membuat Ian mengedipkan mata beberapa kali, hingga mengucek matanya. Dengan rasa penasaran yang membelenggu ia keluar dari ruangannya—memerhatikan perempuan tersebut yang masih diikuti kabut gelap seolah-olah kabut tersebut adalah Casper berwarna hitam. “Mau ke mana dia? Dari departemen mana, ya?” Ian bergegas menutup pintu ruangannya lalu mengikuti perempuan itu. Mengambil langkah pelan sambil menengok ke kanan dan kiri, Ian menelan salivanya dengan gusar. Tiba-tiba tanpa peringatan perempuan itu berhenti—sontak membuat Ian kaget. Tangannya menepuk d**a, sedangkan punggungnya membeku ketika perempuan itu berbalik dan tersenyum pada Ian. Senyum canggung yang dipaksakan muncul dari sudut bibir Ian. Tidak lama kemudian perempuan itu memperlihatkan kuku jari telunjuknya yang panjang. Senyumnya semakin lebar lalu tanpa aba-aba kuku tersebut menancap di pipi mulusnya. Ian segera menutup mulutnya seraya tangan satunya bersandar di dinding, tapi tetap saja badan Ian merosot pada dinding tersebut. Selain panik dan tidak tahu harus bagaimana lantaran perempuan itu semakin seram, dan kabut hitam perlahan-lahan menutupi perempuan itu. Ian segera pergi dari sana lalu masuk ke dalam ruangannya. Tangannya yang gemetar buru-buru mematikan komputer serta mengambil tasnya. Sebuah dokumen jatuh, Ian bimbang lantaran ketakutan dan membiarkan dokumen tersebut di lantai. Dua kali. Dua kali Ian menyaksikan hal aneh yang dilakukan rekan-rekannya. Apakah hanya ia yang bisa melihatnya ataukah seseorang mempermainkan Ian dengan ilusi? Setelah sampai di depan lift, badan Ian membeku lantaran ia melupakan satu hal; mengapa ia tidak menolong perempuan tadi? “Aku harus memanggil ambulans atau telepon polisi.” Pada saat itu sebuah suara terdengar dari belakang, “Mengapa kau masih ada di kantor jam segini?” Ian mengenal pemilik suara tersebut. Sebisa mungkin, ia memenangkan dirinya lalu berbalik. Lantas menyembunyikan tangannya yang gemetar dengan menutupi menggunakan tangan yang satunya. “Selamat malam, Pak CEO. Saya baru saja menyelesaikan pekerjaan saya. Oh ya, Pak CEO sepertinya kita harus menghubungi pihak medis karena ada perempuan yang melukai dirinya.” “Maksudmu ada perempuan yang melakukan tindakan aneh seperti Edwin?” Ian menganggukkan kepala dengan intens. “Iya, benar.” “Di mana? Ngomong-ngomong kenapa kau malah lari dan bukannya menolong?” “Ah itu, saya agak panik,” Ian menjawab canggung. Dalam benaknya ia berpikir pasti Ryan akan menganggapnya pengecut. Ian memejamkan matanya sejenak karena sedikit malu. “Aku bertanya di mana perempuan itu? Ayo kita ke sana dan tolong dia.” “Saya akan mengantarkan Anda.” Ian berjalan lebih dulu ke tempat ia mengikuti perempuan itu. Setibanya di sana mereka menemukan perempuan itu berbaring di pantai dan darah menggenang di bawah kepalanya. “Ian, cepat panggil petugas medis. Perempuan ini harus mendapatkan perawatan secepatnya. Wajahnya rusak.” Ian mengambil ponselnya dan memanggil petugas medis. Harusnya ia menghentikan perempuan itu menyakiti dirinya dan bukannya malah kabur. Dia adalah pria berusia 25 tahun, tapi malah takut ketika melihat darah. “Ian,” Ryan menatap Ian dengan intens. “Mengapa kau tidak menghentikannya? Kau ini seorang pria maka bertanggung jawablah sedikit.” Ian merasa sangat bersalah lalu menundukkan kepalanya. “Maafkan saya.” “Tidak perlu minta Maaf. Permintaan maafmu tidak akan mengembalikan wajah perempuan ini seperti semula.” Ian menyalahkan dirinya atas kejadian tersebut, tapi bukan maunya untuk melihat insiden aneh dan terbilang mengerikan itu. Jika dipikirkan dengan logika tidak akan ada yang menyakiti dirinya kalau mereka masih waras. “Pak CEO, tidakkah Anda berpikir kalau hal ini sangat aneh? Dua orang karyawan melakukan tindakan aneh yang tidak masuk akal.” “Aku juga berpikir begitu. Besok aku akan melakukan pemeriksaan medis pada seluruh karyawan. Mungkin saja mereka mengalami stres karena tekanan kerja. Kita tidak pernah tahu.” Tim medis segera tiba dan membawa perempuan tersebut ke rumah sakit. Ryan menyuruh Ian untuk menemani perempuan itu sampai keluarganya tiba. Seluruh biaya rumah sakit akan ditanggung oleh perusahaan. Bukan hanya petugas medis, tetapi polisi juga ada di sana. Mereka menganggap insiden itu sangat aneh, maka mereka bertanya pada Ryan. Sementara itu, Ian mengikuti petugas medis dan sekilas menoleh pada Ryan. Ian tidak begitu jelas melihat seringai yang tersungging pada bibir Ryan. “Seringai? Apa tadi dia menyeringai? Aku tidak salah lihat lagi, kan?” “Apa yang Anda katakan, Tuan Ian?” “Uhm, tidak ada.” “Sebaiknya Anda coba menghubungi keluarga pasien jika Anda tahu kontak mereka.” *** Ian menunggu di rumah sakit sampai keluarga pasien tiba. Keluarga perempuan itu berterima kasih pada Ian, dan setelah itu Ian pulang ke apartemennya. Dengan Kasar Ian menghamburkan dirinya ke sofa. Merasa sangat lelah setelah melihat insiden tersebut secara berturut-turut. “Apa yang aneh dengan diriku? Ataukah mereka memang stres sehingga melukai diri sendiri?” Ian menatap langit-langit ruang tamu. “Tapi Edwin mengatakan kalau dia tidak sadar dan bahkan tidak merasakan sakit. Jadi kejadian ini tidak bisa dianalisis dengan logika.” Beberapa saat kemudian, Ian bangkit menuju kamarnya. Lantas masuk ke kamar mandi. Tanpa membuka pakaiannya terlebih dahulu, lalu membiarkan air shower menghujam dirinya. “Aku sudah berusia 25 tahun, tapi aku masih saja pengecut. Andaikan saja orang lain yang melihat hal itu, mereka pasti akan langsung menolong perempuan itu.” Tak disangka-sangka kalau Ian akan menyalahkan dirinya padahal bukan ia yang menyebabkan dan ia hanya ingin mengikuti perempuan itu saja. Akan tetapi siapa yang menyangka insiden aneh akan terulang? “Kau bodoh! Sangat bodoh! Mudah-mudahan aku tidak melihat insiden mengerikan seperti itu lagi,” katanya. Beberapa menit Ian membiarkan rintik air tersebut mengguyur agar pikirannya lebih tenang. Siapa pun akan panik menemukan hal yang tidak masuk akal itu. Terlebih lagi Ian mendadak bisa melihat kabut hitam setelah itu akan terjadi kejadian tersebut. “Aku tidak bisa memberitahu siapa pun, jika aku beritahu rekan-rekanku, maka mereka akan menganggapku aneh. Jadi apa yang harus aku lakukan untuk menghindari hal itu? Apakah dengan menjadi pemberani? Tapi melihat darah membuatku gusar.” Setelah selesai mandi, Ian mengambil handuk yang terlipat rapi di sebelah wastafel. Ian merupakan orang yang menyukai kerapian dan kebersihan. Oleh karena itu melihat darah membuatnya tidak nyaman. Bau amis dari darah menyebabkan asam lambungnya naik-turun, sehingga ia ingin muntah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD