7. Mika Natt

1013 Words
Rasa frustrasi membuat Ian terus berlari, tanpa memedulikan pria itu. Sesekali ia memejamkan mata, menoleh ke belakang. Pada saat itu, tubuh Ian menabrak sesuatu. Rasanya cukup lembut dan sedikit kenyal. Badan Ian jatuh, dan kini terduduk di jalan tersebut. Netranya menangkap seorang gadis—yang mungkin adalah orang yang ia tabrak barusan. Menelan salivanya dalam-dalam ketika, memperhatikan sang gadis tak berucap apa pun. “Ma-maaf,” satu kata dengan suara gemetar keluar dari mulut Ian. Dengan panik, ia bangkit perlahan. “Maaf, aku tidak sengaja.” Bahkan Ian sampai menundukkan kepala, karena gadis itu belum menerima permintaan maafnya. Ian panik saat ini. Menghindari pria berkelakuan aneh, yang membuatnya stres dan frustrasi. “Kau buru-buru?” tanya gadis itu dengan nada datar. “Sedang menghindari siapa?” tanyanya lagi. “I-itu, aku sedang buru-buru ingin pulang,” jawab Ian dengan penuh tekanan. Keringat dingin muncul di dahinya, ia usap perlahan. Gadis itu menyeringai dingin. Amat tahu dari suara Ian yang bergetar, kalau Ian berbohong. Tanpa berucap, gadis itu menarik tangan Ian, dan membawanya ke jalan tadi. Jalan yang tengah ia hindari. Mungkin pria tadi masih dalam keadaan gila. Kalau sampai bertemu, mungkin akan terjadi sesuatu yang tak mereka inginkan. Ian tak tahu alasan gadis ini menarik tangannya. Yang jelas, Ian tak mau kembali ke sana. Meskipun ia seorang pria, tapi ia juga manusia yang memiliki rasa getir. Sekuat tenaga Ian menarik tangannya, agar dilepaskan oleh gadis itu. “Kau mau mengajakku ke mana? Memangnya kau mengenalku?” Tatapan gadis itu seolah sebuah peluru yang meluncur dari sebuah senapan. Ian sampai gemetar dibuatnya. Siapa gadis di depannya ini?! Mengapa auranya begitu kuat dan mengintimidasi? Padahal ia hanya seorang gadis, tapi sudah bisa membuat Ian menjadi getir. “Aku tahu apa yang sedang kau hindari. Ayo, kembali ke sana.” Mata Ian membelalakkan kaget. Tidak! Dia tidak mau kembali ke sana. “Kau siapa?! Atas dasar apa menyuruhku kembali ke sana?” Ditatap tajam oleh gadis itu membuat Ian tak berani mendaratkan matanya ke depan. Lebih memilih untuk melihat ke arah lain. Ekspresi gadis itu tak berubah. Dia berucap bahkan lebih dingin dari sebelumnya. “Kau seorang pria. Jangan menjadi pengecut. Dan aku, kau akan tahu nanti. Jangan buang waktu lagi.” Tak bisa menolak, Ian dengan patuh mengikuti gadis itu. Mereka berjalan sekiranya lima puluh meter. Netra mereka menemukan pria itu masih berdiri di sana dalam keadaan wajah sudah berdarah. Menemukan hal itu, membuat Ian kembali mual. Aneh sekali, gadis ini masih tetap bisa berdiri tanpa perubahan ekspresi. “Sekarang kita sudah di sini. Apa yang ingin kau lakukan?” Ian bertanya dengan nada sinis. “Menolongnya,” dengan santai gadis itu menjawab. Ian menatap gadis itu dengan penuh tanda tanya. Sudah terlihat jelas dari kerutan di keningnya. Pada dasarnya, Ian tak percaya pada ucapan gadis ini. Bagaimana bisa menolong pria yang diselimuti aura hitam itu? Apa dia punya kekuatan supranatural? “Jangan bercanda. Lebih baik kita pergi dari sini.” Sekarang giliran Ian yang menarik tangan gadis itu. Namun, Sumut tak lama tangan Ian dihempaskan. “Kau tak punya hati nurani, ya?!” Ian tak percaya, hati nuraninya ditanyakan oleh seorang gadis. Digaruknya dengan cemas kepalanya yang tak gatal. “Lalu bagaimana caramu menolongnya? Kau lihat aura hitam itu? Bagaimana kalau aura itu juga nanti mengikutimu?” Ian melontarkan pertanyaan dengan rasa cemas meluap di dadanya. Padahal bukan hanya sekali saja Ian melihat kejadian ini. Sekarang sudah tiga kali Ian melihat dengan mata kepalanya, juga ditambah ia sangat waras. “Tidak akan. Tuan, kau hanya perlu berdiri di sini, dan aku bereskan semuanya.” “Apa kau bercanda?!” bentak Ian. “Kalau bisa bereskan sendirian, mengapa masih membawaku kemari?!” Gadis itu menghela napas berat. Pada saat itu, kepulan asap hitam semakin banyak. Pria itu kembali beraksi; mencakar wajahnya, tanpa henti. Bukan hanya di wajah saja, melainkan bagian lain. “Iblis sialan,” geram gadis itu. Menerjang ke depan tanpa rasa takut. Ian yang masih tak mengerti dengan keadaan, tersentak kaget. Bisa-bisa gadis itu menghampiri lelaki gila. Pada saat Ian akan mencegah gadis itu, sebuah sinar muncul dari tangannya. Meleset dan tak dapat mengenai aura hitam. Bukan sekali maupun dua kali, gadis itu gagal mengirim sinar dari tangannya. Sinar? Mengapa bisa? Ian bengong memperhatikan pertarungan gadis itu. Kalau ada yang melihat pasti dikiranya mereka tengah syuting film. Setelah lama tak berhasil juga. Gadis itu berhenti melakukan serangan. Namun, ia menaruh kedua telunjuk di pelipis. Sekarang apa lagi yang akan dilakukan oleh gadis itu? Aura hitam tampaknya akan menyerang gadis itu. Namun, dalam jarak tiga puluh sentimeter, aura hitam terhempas begitu saja. “Kekuatan pikiran?” gumam Ian. Rasa penasaran terhadap gadis itu mulai muncul dalam benak Ian. Akan ia tanyakan dengan jelas identitasnya nanti, setelah pertarungan selesai. Akan tetapi, apakah Ian hanya akan berdiri saja? Ian sendiri tak menemukan jawaban. Yang dihadapi bukanlah manusia, melainkan makhluk lain, yang namanya saja tak diketahui. “Bantu aku,” pinta gadis itu. Ian tertegun. Begitu saja sudah selesai? Padahal ia menyaksikan dengan saksama, tapi tetap saja seperti tak melihat apa pun. “Mengapa bengong? Cepat bantu aku.” *** Setelah mengirim pria itu ke rumah sakit. Ian mendapatkan waktu untuk berdua saja dengan gadis itu. Masih ragu-ragu dalam benaknya untuk bertanya. “Terima kasih,” ucap gadis itu. Ia menatap Ian dengan kedua netra kecubungnya. “Oh, ya, aku Mika. Mika Natt.” Ian menjabat tangan Mika Natt, lalu memperlihatkan sedikit senyum terukir di sudut bibirnya. “Ian Kendrick,” sahutnya. “Nama yang terdengar cukup berani, tapi kenapa kau lebih lemah dari anak gadis sepertiku, ah?” ledek Mika. “Benar. Siapa kau sebenarnya Mika Natt? Gadis normal tidak akan bisa ....” Ian tak meneruskan ucapannya. Agaknya tidak tahu harus mengatakan dengan cara apa. Mika Natt tersenyum. Mengerti dengan ucapan Ian yang terpotong. “Karena aku spesial, Tuan Ian.” “Jangan panggil Tuan. Rasanya aku terdengar sangat tua. Panggil saja Ian.” “Tapi tidak bisa memungkiri kalau kau lebih tua dariku,” balas Mika. Ya, sudah, Ian menyerah. Mendapati sebuah bangku, Ian segera berjalan ke arah bangku tersebut dan duduk di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD