PART. 6 AALIYAH ALMEIRA

1031 Words
Gafi menatap wajah kedua ibu yang menunggu jawabannya. Sorot mata mereka menunjukkan harapan besar agar Gafi menerima tawaran itu. Gafi mengerti, bukan karena kedua ibunya ingin hidup enak, tapi karena mereka merasa kasihan melihat perjuangannya. Berjuang sekian tahun demi kehidupan mereka berempat. Bahkan kedua ibu harus ikut berusaha, untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah mereka. Kepala Gafi menunduk. Sungguh berat pilihan yang harus ia buat. Di satu sisi Gafi tak ingin berbagi tubuh, apa lagi hati. Gafi ingin lahir, dan batinnya utuh untuk Aulia seorang. Di lain sisi, Gafi ingin Aulia sembuh, dan memberi kehidupan yang lebih layak pada kedua orang ibunya. Ibu yang tak pernah ia bedakan antara ibu kandung, dan ibu mertua. Karena mereka juga tidak pernah membedakan mana anak, mana menantunya. "Fi!" Bu Fatma memanggil karena Gafi sudah cukup lama diam. Gafi mengangkat wajah, ditatap lagi kedua ibu bergantian. Gafi kembali menarik nafas dalam. "Baiklah. Aku terima tawaran ini, semoga tidak ada penyesalan di kemudian hari." "Aamiin." "Aku mohon, jangan ceritakan hal ini pada Aulia. Jangan juga membicarakan hal ini di hadapannya. Dia tidak boleh tahu, aku yakin dia mendengar ucapan kita, meski tidak memberikan respon apa-apa. Aku yang akan bercerita saat dia sembuh nanti. Semoga keputusanku ini membawa kebaikan bagi kita semua, terutama bagi kesembuhan Aulia, aamiin." "Aamiin." "Aku pergi narik taksi dulu." Gafi bangkit dari duduknya. "Hati-hati di jalan, Fi," pesan Bu Fatma saat Gafi mencium punggung tangan ibunya. "Iya, Bu." "Jangan pulang terlalu malam, Fi." Bu Dini mengingatkan juga. "Iya, Bu. Aku pergi, assalamualaikum." "Waalaikum salam." Kedua wanita tua itu mengikuti Gafi. Ditatap Gafi yang pergi dengan motornya. "Semoga ini jalan bagi kesembuhan Aulia," doa Bu Fatma. "Aamiin." "Ayo masuk, kamu masih harus banyak istirahat, Dek." "Iya, Mbak." Dalam perjalanan menuju rumah Pak Haji Agus, Gafi masih memikirkan jalan hidupnya yang sungguh tak terduga baginya. Dilamar seorang wanita. Bukan wanita sembarangan, tapi putri bosnya sendiri. 'Ya Allah jika keputusanku menerima pernikahan kontrak ini sebuah dosa, aku mohon ampuni aku. Aku hanya ingin memberi bahagia untuk istriku, juga bagi kedua ibuku. Sudah waktunya mereka menikmati hidup, tidak lagi untuk bekerja keras mencari uang untuk membantuku. Aku mohon lancarkan semuanya ya Allah, aamiin.' * Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, saat orderan masuk. Gafi menghela nafas, wanita yang akan jadi istrinya yang mengirimkan orderan. Gafi tidak bisa mengerti, kenapa selalu dirinya yang mendapat orderan dari wanita itu. Seakan bisa diatur, mobil siapa yang diminta memenuhi orderan si wanita. Gafi menuju titik jemput. Si wanita masuk ke mobil. Wanita itu duduk di samping Gafi seperti biasanya. Pakaian juga seksi seperti hari kemarin. Gafi menahan mulutnya yang ingin menasehati wanita calon istrinya. Agar menjaga pakaiannya. "Sudah mengambil keputusan?" Tanya wanita itu tanpa basa basi. Matanya menatap lekat wajah Gafi, sementara Gafi memilih fokus ke jalan di depannya. "Sudah." Gafi menganggukkan kepala. "Kalau begitu, tiba di rumahku, kamu langsung saja bicara dengan kedua orang tuaku." Tak ada nada memerintah, meski kalimatnya seperti memerintah. "Siapa nama kamu?" Tanya Gafi. "Aaliyah Almeira." "Almira?" Kali ini kepala Gafi menoleh. "Almeira!" Aaliyah meralat cara Gafi menyebut namanya. "Istriku Aulia Almira, nama kalian mirip. Tapi nasib kalian berbeda." Gafi tersenyum pahit. "Sebentar lagi nasib kami sama," sahut Aaliyah santai saja. "Apa maksudmu?" Gafi kembali menoleh untuk menatap Aaliyah meski hanya sekilas. "Sebentar lagi aku juga seperti dia. Menyandang status sebagai istri dari Om tua, Gafi Al Ghifari." Nada yakin terdengar dari ucapan Aaliyah. "Aku belum menyampaikan apa keputusanku. Kenapa kamu begitu yakin akan jadi istriku?" "Seorang pria yang mencintai wanitanya, pasti akan melakukan apa saja untuk wanita yang ia cinta. Jangankan harga diri, nyawa akan dipertaruhkan olehnya." Gafi mendengar getaran dalam suara Aaliyah. Aaliyah membuang pandang ke luar jendela. Gafi tahu, Aaliyah ingin menyembunyikan air mata. Gafi menghela nafas. "Apa mantan suamimu bukan pria yang rela berkorban demi istrinya? Jika dia tidak sesuai harapan kamu, kenapa kamu tidak mencari suami baru yang sesuai harapanmu?" "Kamu tidak pernah patah hati sepertinya. Mengobati luka hati tak semudah mengobati luka di jari kaki, Om Tua." "Kalau kamu terluka olehnya, lalu kenapa kamu ingin kembali padanya, Nona Aaliyah?" "Kembali padanya? Hah! Itu hanya alasanku saja. Yang sebenarnya, aku hanya ingin membuktikan pada dia, dan orangtuanya, kalau aku tidak mandul!" "Kalau begitu, kenapa tidak mencari pria yang bisa kamu nikahi, memberimu anak, dan akan jadi suamimu selamanya?" "Ish, dasar Om Tua! Aku sudah jelaskan, hatiku masih terluka. Aku tidak ingin salah menjatuhkan cinta. Karena aku ingin dia jadi pendamping hidupku selamanya. Berbeda kalau aku menikah dengan kamu. Kita hanya menikah untuk sementara, tidak melibatkan perasaan, jadi aku tidak butuh menyembuhkan luka hatiku dulu untuk menikah denganmu. Paham, Om Tua!" Mata Aaliyah melotot ke arah Gafi, tepat saat Gafi menoleh ke arah Aaliyah. "Paham tidak!" Gafi hanya menganggukkan kepala. Tak ingin memancing keributan dengan putri bosnya. Mobil berhenti di depan gerbang pagar yang tinggi. Gafi membunyikan klakson. Aaliyah melambaikan tangan ke arah penjaga yang melongokkan kepala di jendela yang ada di ujung pagar. "Buka, Mang!" "Baik, Non." Pintu gerbang terbuka. Gafi memasukkan mobilnya. "Parkir saja di situ!" Aaliyah menunjuk tempat di belakang mobil mewah yang sering dilihat Gafi dipakai Pak Arifin, bosnya. Gafi membuka pintu mobil, begitu juga dengan Aaliyah. Gafi menatap deretan mobil di depannya. Gafi tak pernah bermimpi bisa menyentuh mobil-mobil mewah itu. Hidupnya realistis saja, sesuai kemampuan yang ia miliki. "Ayo masuk." Gafi mengikuti langkah Aaliyah. Dua daun pintu kokoh di hadapan mereka terbuka. Gafi masih mengikuti langkah Aaliyah. "Silakan duduk. Bi tawarkan minum ya. Aku panggil mami, dan papi dulu." "Baik, Non. Maaf, Tuan ingin minum apa!" "Teh hangat saja, Bi." "Baik, saya permisi dulu." "Silakan." Bibi pergi, Gafi menundukkan kepala, karena jantungnya berdetak tak menentu. Perasaannya berdebar-debar. Gafi tidak tahu, pertimbangan apa saja yang membuat dirinya dianggap pantas untuk menanamkan benih di rahim putri bosnya. Anak yang akan menjadi cucu keluarga Hutama. Tentu tidak sembarang orang bisa mendapatkan kesempatan seperti dirinya. 'Apakah aku bahagia? Apakah aku merasa terhormat? Bukankah pernikahan kontrak ini seperti menjual harga diriku? Entahlah, aku tidak tahu. Yang pasti ini aku lakukan demi kesembuhan istriku, dan demi kebahagiaan kedua ibuku. Agar mereka bisa menikmati hari tua mereka, tanpa harus terbebani pikiran, dan tenaganya.' "Mas Gafi!" Gafi mengangkat wajah. Bu Alda selalu sopan dalam memanggil namanya, meski ia hanya karyawan rendahan di pabrik mebelnya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD