PART. 4 DIA LAGI

1132 Words
Bu Dini sudah kembali ke rumah, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, pasca operasi usus buntu. "Ibu jangan banyak bergerak dulu, apa lagi sampai mengangkat barang yang berat. Tugas memandikan Aulia, biar aku, dan ibu saja." Bu Dini menangis mendengar ucapan Gafi. Rasa bersalah dirasakan, karena sudah merepotkan menantu, dan besannya. "Maafkan kami. Aku, dan Aulia sudah sangat menyusahkan kalian berdua." Terucap apa yang ada di dalam hati Bu Dini. "Kamu bicara apa, Dek. Kita ini saudara. Tidak ada istilah merepotkan. Aulia anakku, kamu adikku. Sudah belasan tahun kita melewati susah, dan senang bersama. Aku yang harus minta maaf, atas nama Gafi, karena dia belum bisa memberikan kehidupan yang layak pada Aulia," tutur Bu Fatma dengan suara lembut. "Mbak, Gafi sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk Aulia. Mana ada suami seperti Gafi, tetap bertahan dalam keadaan Aulia seperti ini." Bu Dini menyeka air mata yang membasahi pipinya. "Bu, Ibu baru selesai operasi, tidak boleh banyak bergerak. Kalau Ibu ingin membantu kami, ikuti saran dokter. Agar Ibu cepat sembuh. Dan bisa kembali beraktifitas seperti yang ibu inginkan." Gafi membujuk ibu mertuanya untuk mengikuti saran dokter. "Gafi betul, Dek. Kamu harus sembuh total dulu, biar tidak sakit lagi. Kamu jangan banyak pikiran. Istirahat saja." Bu Fatma mengusap bahu Bu Dini. "Terima kasih, Mbak, Gafi. Aku tidak tahu, bagaimana cara membalas kebaikan kalian." "Tidak usah memikirkan hal begitu, Dek. Kamu istirahat dulu ya, Dek. Aku mau masak bubur dulu, untuk kamu, dan untuk Aulia." "Terima kasih, Mbak." "Aku pamit pergi, Bu." "Mau ke pabrik, Fi?" "Tidak, Bu. Hari ini aku masih cuti. Aku ingin narik taksi on line. Siapa tahu dapat orderan." "Oh, iya. Hati-hati ya, Fi." "Aku pamit, Bu. Assalamualaikum." Gafi mencium punggung tangan ibu mertuanya. "Waalaikum salam." Gafi ke luar dari kamar. Bu Dini menghapus air mata di sudut matanya. Terharu juga bahagia, karena memiliki menantu, dan besan yang baik luar biasa. 'Semoga Allah memberi kita semua panjang umur, dan bahagia, aamiin.' Bu Dini berdoa di dalam hati. * Gafi menatap layar ponselnya. Orderan masuk untuk taksi online yang ia bawa. Harusnya Gafi merasa gembira, tapi yang membuat ia ragu menerima, karena yang mengirim orderan adalah wanita yang sudah melamarnya. Akhirnya, Gafi memutuskan untuk menerima. Ia segera meluncur ke titik jemput. Wanita itu sudah menunggunya di depan sebuah cafe. Pakaiannya seksi seperti biasa. Ketat, melekat, sehingga lekuk tubuhnya tercetak nyata. Gafi mengalihkan tatapannya. Wanita itu duduk di depan seperti hari sebelumnya. Gafi menjalankan mobil menuju titik antar. "Tawaran saya masih berlaku." Ucapan wanita itu mengejutkan Gafi. "Tawaran apa?" Gafi tetap fokus ke jalan di depannya. "Menikahlah dengan saya. Maka akan sejahtera hidup keluargamu. Kehidupan anggota keluargamu akan saya tanggung, Om Tua." "Maaf, Nona. Jawabannya tetap tidak. Saya mencintai istri saya. Saya tidak ingin mengkhianatinya." Wanita itu tertawa. "Ini bukan sebuah pengkhianatan, tapi suatu kesepakatan yang menguntungkan untuk kedua belah pihak." "Saya tidak berniat untuk poligami." "Ini bukan sembarang poligami, Om Tua. Saya hanya butuh benih darimu." "Mana ada pernikahan dengan tujuan seperti itu, Nona." "Ada saja. Saya dapat anak, kamu dapat kehidupan yang nyaman." "Maaf, Nona. Saya tidak bersedia." "Pikirkan saja dulu, Om Tua. Kamu tidak rugi apa-apa. Justru untung berlipat. Bisa menikmati tubuh saya, dan hidup terjamin bersama istri beserta keluarga. Ini, ambil saja kembaliannya." Wanita itu meletakkan tiga lembar uang seratus ribu di atas dashboard, setelah Gafi menepikan mobil di titik tujuan. Wanita itu ke luar dari mobil. Pintu pagar besar rumah mewah itu terbuka. Si wanita melenggang masuk. Gafi sempat melihat deretan mobil mewah terparkir dengan rapi. "Wanita aneh. Di rumahnya banyak sekali mobil, tapi kenapa selalu naik taksi online. Huh, benar-benar aneh." Gafi menjalankan mobil, setelah menyimpan uang dari si wanita tadi. Gafi menganggap wanita itu aneh, karena melamar dirinya untuk jadi suami. "Apa dia kurang ya? Arghh, untuk apa memikirkan orang aneh seperti dia." Gafi menatap layar ponsel, ia dapat orderan lagi. Gafi bersyukur atas rezeki hari ini. Pukul sebelas malam Gafi tiba di rumah. "Assalamualaikum." Gafi mengetuk pintu rumah. Lampu di ruang tamu sudah dimatikan. "Assalamualaikum, Bu!" Gafi menambah volume suaranya. "Waalaikum salam." Ibunya yang menjawab salamnya. Lampu ruang tamu menyala. Pintu terbuka lebar. "Assalamualaikum, Bu." Gafi mencium punggung tangan ibunya. "Waalaikum salam." Gafi memasukkan motor ke ruang tamu. Ibunya menutup, dan mengunci pintu. "Ini, Bu, roti bakar kesukaan ibu, masih panas." "Fi, tidak usah jajan begini. Sayang uangnya. Ibu belum bisa jualan, tidak bisa membantu keuangan untuk sementara ini." "Bu, tidak usah memikirkan tentang uang. Biar itu jadi urusanku. Aku akan mencari peluang untuk kerja sampingan lagi, Bu." "Kerja sampingan apa lagi, Fi? Badan kamu itu cuma satu, bagaimana bisa dibagi untuk beberapa pekerjaan." "Bu. Aku laki-laki, kepala rumah tangga. Semua keperluan di rumah ini adalah tanggung jawabku." "Ibu mengerti, Fi. Tapi jangan salah berhitung juga. Kamu terlalu keras berusaha, takutnya kamu sakit. Tidak sebanding yang didapat dengan akibatnya." "Bu. Aku mohon doa ibu. Agar aku kuat lahir, dan batin. Hanya itu yang aku minta dari Ibu." "Tanpa kamu minta, Ibu selalu mendoakan kamu. Ini kamu ingin makan?" "Tidak, Bu. Tadi makan di rumah Pak Haji Agus." "Oh, ya sudah. Bersihkan diri lalu tidur, Fi." "Iya, Bu. Keadaan Bu Dini bagaimana?" "Bu Dini sudah tidur lepas isya tadi." "Ada keluhan sakit, Bu." "Mana pernah dia mengeluh. Meski merasa sakit, dia pasti diam saja." "Ibu tidur lagi, aku ingin membersihkan diri dulu." "Iya." Bu Fatma masuk ke kamarnya. Gafi juga masuk ke dalam kamarnya. Ditatap istrinya yang tidur. Gafi berlutut, lalu membungkuk, dikecup bibir istrinya. "Assalamualaikum, aku sudah pulang." Gafi mengusap pelan pipi istrinya. Sebelum berdiri, dan ingin membersihkan diri sebelum tidur. * Gafi sudah kembali bekerja seperti biasa. Rutinitas yang dilakukan sama. Ia bekerja dari pagi, sampai sore hari. Pulang bekerja ia menarik taksi online. Sore ini, jam kerja sudah habis, Gafi bersiap untuk meluncur ke rumah Haji Agus, pemilik mobil yang ia pakai sebagai taksi online. Haji Agus memiliki beberapa buah mobil untuk rentalan, dan taksi online. Salah satunya diserahkan pada Gafi, karena Haji Agus tahu sekali perjuangan hidup Gafi. Baru saja Gafi mengambil helm, saat ponselnya berbunyi. Ibunya yang menelepon. "Assalamualaikum, Bu." "Waalaikum salam, Fi. Setelah dari pabrik, kamu langsung pulang saja ya." "Ada apa, Bu?" "Ada yang datang mencari kamu." "Siapa, Bu?" "Ibu tidak kenal." "Namanya siapa, Bu?" "Nyonya Alda, dan Non Aaliyah." "Siapa mereka, Bu?" "Ibu tidak tahu, Fi." "Ada keperluan apa katanya, Bu?" "Mereka ingin bicara langsung dengan kamu, Fi. Sudah ya, assalamualaikum." "Waalaikum salam." "Siapa ya? Namanya tidak asing, tapi aku lupa pernah tahu nama itu dimana." Gafi mencoba mengingat. "Ya sudah, nanti juga tahu siapa mereka." Gafi memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya. Tiba di rumah Gafi tertegun saat melihat siapa orang yang mencarinya. Yang sedang duduk di lantai rumahnya adalah dua orang wanita yang ia kenal. "Bu Alda!" Gafi masuk ke dalam rumah. Ia berlutut lalu mengulurkan tangan pada wanita yang ia kenal sudah sejak lama. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD