Bu Dini sudah selesai diperiksa. Karena dokter spesialis baru ada pagi harinya. Bu Dini minta diijinkan pulang, dan kembali besok saja. Gafi menyerahkan keputusan pada ibu mertuanya, yang penting tetap mau diperiksa untuk mengetahui penyakitnya lebih jelas lagi.
Di dalam perjalanan pulang.
"Maafkan ibu ya, Fi. Ibu, dan Aulia sudah jadi beban hidupmu."
"Astaghfirullah Al adzim. Jangan bicara begitu, Bu. Ibu, dan Aulia, adalah bagian hidup saya. Tanggung jawab saya. Saya yang harus minta maaf, karena belum bisa membuat kalian bahagia. Hidup kita masih begini saja, Bu."
"Ibu justru merasa sangat bahagia, karena memiliki menantu sebaik kamu, Fi. Kamu menantu yang sangat baik, anak yang berbakti, suami yang sabar luar biasa. Ibu tidak pernah keberatan kalau kamu ingin menikah lagi, Fi. Kamu berhak memiliki keluarga kecil yang sempurna."
"Bu ... kita tidak usah membahas hal itu ya. Saya belum ingin mencari istri lagi, Bu."
"Sudah tiga belas tahun, Fi."
"Saya tahu, Bu. Tapi saya memang tidak ingin mencari."
"Hhhh ...."
Bu Dini hanya bisa menghela napas. Pembicaraan soal Gafi yang ia minta menikah lagi memang sudah lama sekali. Bu Dini kasihan melihat Gafi. Selalu mengurus dirinya sendiri. Mencuci pakaian sendiri, karena tidak mau Pakaiannya dicucikan. Katanya, kedua ibu juga sudah lelah dengan warung, dan mengurus Aulia. Makan juga Gafi tak pernah minta dilayani, ia bisa mengambil sendiri, bahkan bisa memasak juga.
Selama hidupnya, Bu Dini belum pernah menemui suami sebaik Gafi.
Tiba di rumah, setelah menurunkan Bu Dini, dan yang tadi mereka bawa. Gafi langsung mengembalikan mobil pada Pak Haji Anang.
"Sudah periksanya?" Sambut Bu Fatma.
"Dokter spesialis baru pagi ada. Perutku sudah tidak sesakit tadi, jadi besok saja ke rumah sakit untuk periksa."
"Diberi obat?"
"Iya, ada."
"Minum obatnya dulu, lalu istirahat."
"Cucian masih banyak, Mbak."
"Tidak usah memikirkan pekerjaan dulu. Itu gampang nanti, bisa aku cuci dibantu Gafi."
Bu Dini menubruk Bu Fatma sambil terisak.
"Ada apa, Dek?"
Bu Dini tak bisa bicara selain terisak untuk sesaat. Perlahan dilepas pelukan seraya mengusap matanya.
"Terima kasih, Mbak. Tanpa Mbak, dan Gafi entah apa jadinya kami. Maaf, kami sudah sangat merepotkan."
"Dek, jangan berpikir yang macam-nacam. Fokus sembuh saja ya. Ayo kita ke kamar."
Bu Fatma menutup pintu, lalu membimbing tangan Bu Dini. Bagi Bu Fatma, Bu Dini bukan hanya sekedar besan, tapi sudah seperti saudara, karena dirinya sendiri besar di panti asuhan, sebelum dipersunting ayah Gafi yang merupakan supir angkot langganan pulang pergi sekolah saat SMA.
Gafi tiba di rumah, dibuka, dan ditutup pintu. Gafi ke dapur, mencari sesuatu yang bisa ia makan. Di atas meja makan ada tudung saji. Tudung saji dibuka, ternyata ada tumis kangkung, dan telur dadar.
Gafi tidak langsung makan, tapi berdiri di depan kamar ibunya.
"Bu!"
"Ya!"
Pintu terbuka, muncul Bu Fatma.
"Ibu berdua sudah makan?"
"Sudah. Kamu makan saja."
"Baik, Bu."
Gafi menuju dapur. Diambil piring, diisi dengan nasi dari pemanas. Dicabut colokan pemanas karena nasi yang tinggal sepiring ia habiskan.
Gafi duduk di kursi makan, setelah membuka tutup tudung saji. Meski makan seadanya, tapi terasa sangat nikmat baginya. Seberat apapun kehidupan yang dijalani, Gafi berusaha untuk sabar, dan ikhlas. Ia bersyukur, ibu, dan ibu mertuanya sangat memahami keadaan dirinya. Mereka tidak pernah menuntut apa-apa. Keduanya sangat akur dalam hal apapun juga. Mereka berdua adalah tim yang hebat dalam urusan rumah tangga. Baik itu mengatur keuangan, atau hal lainnya.
Selesai makan, Gafi mencuci semua perabot. Ia juga mencuci beras untuk memasak nasi. Agar saat sarapan tinggal memasak lauk saja, atau bisa untuk nasi goreng nantinya.
Setelah urusan di dapur selesai, Gafi menuju pintu belakang. Tempat di mana biasanya kedua ibunya mencuci pakaian. Keranjang cucian masih penuh. Gafi yakin, itu karena mertuanya sakit, dan ibunya harus menjaga menantu, dan besannya.
Tanpa bersuara, atau mengeluh, Gafi mencuci semua pakaian. Mencuci pakaian bukan hal baru baginya, ia terbiasa melakukannya. Dari pakai kucek tangan, sampai sekarang pakai mesin cuci. Mesin cuci ini pemberian Pak Haji Anang, karena beliau membeli yang baru, jadi yang lama diberikan pada Gafi.
Setelah semua pakaian dicuci, dan dibilas. Selanjutnya di jemur di tempat itu juga. Atap di atas jemuran terbuat dari plastik. Kalau siang jemuran tetap bisa kena panas matahari.
Gafi ke luar dari tempat mencuci pakaian. Di dapur ia berpapasan dengan ibunya.
"Cucian sudah aku cuci, dan sudah aku taruh dijemuran, Bu."
"Terima kasih, Fi. Sekarang kamu istirahat ya."
"Iya, Bu. Ibu juga harus istirahat."
"Ibu ingin masak nasi sebentar."
"Nasi sudah aku masak, Bu. Besok tidak usah jualan. Karena aku mau mengantar ibu ke dokter."
"Kamu libur?"
"Nanti aku ijin, Bu."
"Ya sudah."
"Ayo, Ibu ke kamar ya."
Gafi menggapai lengan ibunya. Mereka berjalan beriringan ke luar dari dapur. Tiba di depan kamar ibunya.
"Istirahat, Bu."
"Iya, Fi."
"Aku sayang, Ibu. Maaf baru bisa seperti ini yang aku bisa."
"Setiap hari kamu berkata seperti ini. Ibu bersyukur kita seperti ini. Masih banyak yang lebih menderita dari kita, Fi. Ibu masuk ya."
Fatma menepuk lembut bahu putranya.
"Iya, Bu."
Setelah ibunya masuk ke dalam kamar. Gafi memeriksa pintu, dan jendela. Lalu mematikan lampu di ruang tamu, dan ruang tengah.
Setelahnya, ia masuk ke dalam kamar. Aulia masih tertidur lelap. Gafi melepas pakaian. Lalu melilitkan handuk di pinggang. Ia ingin membersihkan tubuh sebelum tidur. Gafi ke luar kamar, dengan membawa pakaian yang tadi ia kenakan. Lampu dapur belum ia matikan. Gafi memasukkan pakaian ke keranjang di tempat cuci pakaian. Lalu pintu itu tutup, dan kunci. Gafi masuk ke pintu di sebelah. Pintu kamar mandi satu-satunya yang ada di rumah itu.
Gafi tidak mandi. Ia hanya buang air kecil, menyeka tubuh saja, dan menggosok giginya. Setelah selesai, ia ke luar dari kamar mandi. Lalu beranjak ke luar dapur. Gafi merasa sepi sekali. Biasanya di dapur dua ibu, jam-jam begini masih sibuk menyiapkan dagangan mereka untuk besok.
Gafi mematikan lampu dapur, dan kembali ke kamar. Handuk digantung di balik pintu. Lalu diambil celana pendek. Setelah mengenakan celana pendek, ia berbaring di sebelah istrinya. Gafi berbaring miring, agar bisa menatap wajah istrinya. Wajah dari wanita yang sangat ia cinta. Sampai saat ini, tak ada wanita yang bisa menggoyahkan perasaannya pada Aulia. Hanya Aulia yang ia cinta. Ia ingin Aulia mendapatkan pengobatan terbaik, tapi sampai saat ini, itu baru sekedar angan saja.
BERSAMBUNG