Melebihi sunyinya kuburan, seperti itulah adanya suasana di dalam mobil Mike selama perjalanan pulang. Pria itu tidak bersuara sama sekali, bahkan suara napasnya saja nyaris tidak terdengar. Dan bahasa tubuh lelaki itu memang sudah menyeramkan sejak dulu. Sementara aku, entahlah bagaimana caranya untuk menyebutkan kepribadianku secara tepat dan akurat. Karena aku adalah salah satu dengan kepribadian yang membingungkan. Aku bisa jadi sangat pendiam bagi orang yang tidak mengenalku. Kadang kala menjadi radio rusak jika aku berada di dalam lingkungan yang bisa membuat nyaman. Namun sejak beberapa tahun yang lalu, aku memang sudah menjelma menjadi manusia yang nyaris dikategorikan sebagai makhluk bisu.
Garis rahang yang tegas pada wajahku sangat sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik. Apalagi masa lalu memilih untuk berbuat kejam terhadap diriku. Ditambah lagi oleh semesta yang membuat Anna menjadi temanku. Lengkap sudah semua konspirasi takdir yang mengantarkan aku menjadi seperti sekarang ini. Sama sekali tidak peduli lagi dengan tatapan orang lain terhadapku. Bahkan aku mampu untuk bersuara dingin saat bertanya bertepatan dengan mobil yang kutumpangi berbelok dan masuk ke dalam basement sebuah apartemen mewah.
“Di mana ini?”
Dia tidak menjawab, hanya melirikku sebentar dengan tatapannya yang menakutkan itu, kemudian kembali fokus untuk memarkirkan mobil mewahnya. Entah kenapa rasa gugup tiba-tiba menyerangku dengan membabi buta. Membuat degupan jantungku seperti jungkir balik di dalam sana.
“Turun,” suruh Mike.
“Kamu tidak bisa memerintahku.” Aku meremas kedua tanganku, membalas tatapan Mike dengan berani ketika membalas ucapannya.
Mike tampak marah. Rahangnya mengetat saat mendengar jawabanku. Hanya saja ia mampu menahannya sedemikian rupa, sehingga yang kulihat hanya tubuhnya yang semakin kaku.
“Kamu bisa turun sendiri,” ujar Mike lagi dengan suara datar. “Jangan memaksaku untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan.”
Aku mendengus. Kemudian kembali menolehkan kepala untuk menatap Mike tepat pada wajahnya. “Dan kamu pikir aku takut?”
Kali ini Mike menujukkan keterkejutan, meski hanya sekilas. Karena kilatan di matanya langsung berganti menjadi datar.
“Di mana ini?” Aku bertanya. “Kenapa kamu membawaku ke sini?”
“Jelaskan kepadaku,” tuntut Mike mengabaikan pertanyaanku.
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku,” balasku kesal.
“Apartemenku.”
“Apartemen?” ulangku. “Punya kamu?” tanyaku meremehkan. “Kamu pikir aku mau masuk ke wilayah kamu?” ucapku bersamaan dengan perutku yang kembali menggila.
Sial.
Entah karena rasa gugup yang berlebihan atau memang karena perutku yang sebenarnya belum berhenti bergejolak, aku kembali merasakan mulas. Sangat mulas, sampai-sampai aku merintih dan memegang perutku.
“Paling atas,” ujar Mike setelah memperhatikanku. “Kamu bisa masuk ke sana, karena kamu pernah bersamaku.”
Dahiku berkerut sebentar setelah mendengar ucapnnya. Namun benar-benar hanya sebentar, karena pada detik berikutnya pemahaman membuatku membelalakkan mata. Kuharap dia bercanda, tapi saat kulihat Mike hanya bergeming, mau tak mau aku harus menelan ludah dengan susah payah.
Sebenarnya aku sangat ingin bertanya, tapi lilitan di perutku semakin terasa. Mengabaikan rasa penasaran serta keenggananku untuk memasuki wilayahnya, aku segera turun dari mobil dan berlari menuji lift. Menekan nomor paling besar yang ada pada deretan tombol di dalam benda tersebut dan membiarkan pintunya tertutup sebelum Mike menyusulku.
Saat akhirnya pintu lift terbuka, aku mengutuki diri karena tidak tahu nomor unit apartemen Mike. Namun saat kakiku melangkah ke luar dari kotak besi tersebut, aku tahu seharusnya aku tidak mengutuki diri. Karena di atas sini, hanya terdapat satu unit. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera berlari menuju pintu masuknya, memencet beberapa angka yang muncul di kepalaku, lalu terperangah saat dugaanku tidak meleset sedikit pun.
Apa ini maksudnya?
Angka-angka yang aku pilih tersebut persis sama dengan urutan tanggal, bulan serta tahun saat pertama kali aku dan dia menjalin hubungan.
“Tidak jadi ke toilet lagi?” tanya Mike tepat di belakangku.
Aku menoleh karena terkejut. Bukan karena mendengar suaranya, tapi karena kombinasi angka untuk membuka akses masuk ke dalam wilayahnya.
“Sudah tidak mulas?” Mike kembali bertanya.
Aku melihatnya dengan sengit, tapi rasa mulas di perutku kembali terasa. Tanpa menghiraukan keberadaannya lagi, aku segera masuk ke dalam apartemen Mike.
“Toiletnya di dalam kamar mandi yang ada di kamarku. Pintu sebelah kiri kamu.”
Aku menoleh ke kiri dan mendapati sebuah pintu berwarna hitam. Lalu tanpa banyak bertanya lagi, aku segera masuk ke dalam sana. Setelah beberapa menit kuhabiskan untuk menuntaskan keperluanku, aku segera ke luar hanya untuk mendapati Mike yang sudah berada di dalam kamarnya, menungguku.
“Sudah selesai?”
Aku mengangguk. Malas menjawab pertanyaannya dengan kosa kata.
“Kalau begitu, kita bisa bicara.”
“Aku tidak ada niat untuk bicara sama kamu,” balasku.
Kulihat matanya kembali berubah tajam setelah mendengar balasanku. Tapi aku sungguh-sungguh mengatakan hal yang sebenarnya. Karena sejak dari lama, sudah kukubur keinginan untuk berbicara padanya.
“Kamu harus menjelaskan tentang bekas jahitan yang ada di perutmu.”
“Tidak ada hubungannya denganmu.” Aku terkejut karena pertanyaannya. Hanya saja aku mampu untuk mengendalikan diri dan langsung menjawab tanyanya dengan cepat.
“Tidak ada hubungannya denganku?” tanya Mike datar. “Luka di perut kamu,” kata Mike sebelum melirik tajam ke arah perutku. “Persis di bagian kandungan,” kata Mike meneruskan ucapannya.
Dan jantungku tidak mengenal kata pelan untuk memompa darahku yang berdesir cepat seiring dengan Mike yang melangkah mendekat ke arahku yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
*