Long Time No See

558 Words
“Tuhan, alam tidak mungkin bercanda, kan?” * Aku kembali membatu, seluruh pertulangan terasa kaku, lidahku juga terasa kelu. Hanya emosi yang bisa kurasakan bergerak tak tentu arah. Semuanya bercampur aduk, memenuhi kepala juga hatiku. Kemudian semua itu berhasil kusatukan dalam satu kepalan tangan di masing-masing sisi tubuhku. Dia tidak boleh melihatku dikuasai emosi. Sepuluh tahun lamanya aku mempersiapkan diri. Aku tidak akan kalah darinya. “Kamu mengikutiku?” tanyaku dengan suara dingin. Terima kasih, Tuhan. Akhirnya aku bisa merasakan manfaatnya berteman dengan Anna, manusia jelmaan es batu itu. Dia menatapku dalam, sama seperti sepuluh tahun yang lalu sorot matanya tidak pernah menunjukkan kelemahan. Dan seiring berjalannya waktu, aura intimidasi yang menguar dari tubuhnya semakin pekat. Kalau aku tidak belajar selama sepuluh tahun ini, maka bisa kupastikan kalau aku tidak akan bisa menghadapinya sekarang. “Nak?” tanyanya. Aku kembali tersentak. Tidak mungkin ia mendengar apa yang kuucapkan di dalam hati? Mungkinkah kalau aku secara tidak sadar menggumamkannya dengan suara yang keras? Kulihat Mike mengalihkan tatapannya sejenak, masih dengan tatapan elangnya, ia melirik ke belakangku. Tepat ke arah batu nisan buah hatiku. Kukepalkan lagi tangan dengan kuat, berharap agar aku bisa menahan untuk tidak menumpahkan emosiku dengan sia-sia. Dan aku berhasil tenang ketika dinginnya angin kembali menembus kulitku. Kenapa rasanya angin ini semakin dingin? Benakku kembali bertanya, sejak kapan langit berwarna abu-abu gelap seperti itu. Seharusnya hari ini cuacanya bagus dan terang, sebagaimana yang dikatakan oleh ramalan cuaca. Baiklah, lain kali aku tidak akan mempercayai ramalan tentang apa pun itu. “Nak?” ulangnya lagi. “Kamu mengikutiku?” Aku juga mengulang pertanyaanku. “Kamu mengikutiku, lalu menguping.” Aku tersenyum tipis untuk menyembunyikan dengusan yang mengantung di ujung bibir, “Ternyata kamu tidak berubah.” “Siapa dia?” Mike bertanya dengan nada yang tidak bersahabat. “Bukan urusanmu, jawabku bersamaan dengan bunyi gemuruh dari atas langit. Satu detik berikutnya langit mulai menumpahkan airnya. Tuhan, alam tidak mungkin bercanda, kan? Pertemuanku dengan Mike seharusnya tidak perlu terlihat seperti drama-drama picisan yang selalu tayang di telivisi kesayangan keluarga. “Siapa dia?” Mike kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini disampaikan dengan nada yang menuntut. “Sudah kukatakan kalau itu bukan urusanmu,” balasku tenang. Kalau dia bisa mengulang pertanyaannya, aku pun sama. Mengucapkan hal yang sama berulang kali bukanlah sesuatu yang sulit. “Aku hanya mengulang pertanyaan sampai tiga kali,” katanya datar. “Sebaiknya kamu jawab dengan baik.” Mike menatap aku dengan tajam, “Siapa dia?” tanyanya dengan menekankan setiap suku katanya. Hujan yang semakin deras tidak bisa menyamarkan aura seram yang memancar dari tubuhnya. Dan meskipun tetesan air langit ini sudah bisa membuat tubuh kami basah, tapi tidak satupun dari kami yang terlihat akan beranjak. “Bukan ….” Jawabanku terputus ketika perutku tiba-tiba terasa sakit, “Argh!” Aku merintih. Sakit sekali, aku berjongkok sambil memegangi perutku dengan kuat, tanganku meremas pelan untuk meredakan perihnya. Tapi sepertinya itu tidak berguna sama sekali, karena sakitnya semakin menjadi. Sekarang keringat dingin bahkan sudah mulai timbul di dahiku. “Kate, kamu kenapa?” Mike bertanya dengan nada khawatir. Aku tidak sempat menjawab pertanyaan Mike karena mulutku sibuk merintih. Perutku benar-benar sakit. “Kita ke rumah sakit.” Aku menggeleng. Belum sempat aku membalas ucapannya, Mike sudah meletakkan tangannya di lipatan kedua kakiku. Sedetik kemudian aku sudah berada dalam gendongannya, bahkan sebelum aku sempat untuk menolak. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD