“Kenapa jantungku berdetak tak karuan seperti ini? Rasanya seperti aku akan disidang.”
*
Aku sudah mengira kalau pesta ini sama membosankannya dengan pesta-pesta yang lainnya pernah aku hadiri. Interaksi yang begitu dijaga, senyum palsu dan juga ramah tamah yang dipaksakan mendominasi setiap sudut ruangan.
Ketiga temanku sudah tidak terlihat batang hidungnya. Kemungkinan mereka tengah berperan sebagaimana jati diri mereka yang sesungguhnya. Seperti Abel contohnya, perempuan itu pasti sedang bergerilya dengan segala jenis makanan di sini. Kalau Jessi, antara ia sudah melancarkan aksinya atau tengah ditawan oleh Brian, pemilik rumah sakit tempatku bekerja yang sedang tergila-gila kepada sahabat borosku tersebut. Sedangkan Anna, aku berani bertaruh kalau ia bahkan sudah pulang setelah Brian memperkenalkan profilnya di awal pembukaan tadi.
Aku menghela napas bosan, lalu melangkahkan kakiku ke arah balkon. Sepertinya menatap langit malam lebih menggiurkan daripada berada di tengah-tengah lautan manusia dengan segala sandiwara yang mereka perlihatkan.
Selang beberapa menit akhirnya terdengar suara Jessi memanggilku. Namun anehnya kurasakan debar yang menggebu pada jantungku. Kenapa jantungku berdetak tak karuan seperti ini? Rasanya seperti aku akan di sidang.
“Kate.” Jessi memanggil lagi.
Aku menarik napasku sejenak, membuangnya perlahan. Mengambil lagi dan menghembuskan lagi. Sampai aku merasa sedikit tenang, barulah aku berbalik badan dan rasa tenang yang tadi aku usahakan hadir lenyap tanpa sisa.
Sesuatu di belakang Jessi benar-benar membuatku membatu. Seluruh persendianku terasa kaku. Bagaimana bisa dia ada di sini? Diantara ratusan manusia di sini, kenapa harus dia yang berjalan ke arahku dengan dengan aura intimidasi yang sangat kukenal.
“Ayo pulang,” ajak Jessi begitu ia berdiri di hadapanku.
“Wife, kenapa kamu mau pulang?” Brian bertanya heran, tapi dari kedut yang terbit di sudut bibirnya, aku berani bertaruh kalau pria itu tahu bahwa dirinyalah yang menjadi alasan Jessi merengek minta pulang seperti sekarang.
“Karena ...., wajah lo pucat?” Jessi langsung membelokkan ucapannya menjadi pertanyaan untukku. “Lo sakit?”
Aku menggeleng kaku, tapi mataku tidak lepas dari sosoknya yang juga tengah menatapku.
“Sebaiknya kuantar kalian pulang,” kata Brian sambil menarik tangan Jessi. Lalu ia berhenti melangkah, bertanya kepada seseorang yang hampir ditabraknya. “Kau mengikutiku?”
“Aku ingin mencari angin.”
Brian mengangguk-angguk. “Baiklah, ngomong-ngomong kenalkan ini Kate. Teman isteriku dan Kate, ....” Brian menoleh ke arahku, “Ini Mike, sahabatku.”
Aku masih bergeming dengan seluruh jalan pikiran yang tiba-tiba terasa kacau.
“Aku tahu.” Suara baritonnya terdengar menusuk di telingaku.
Brian berdecak, kemudian berujar santai. “Aku lupa kalau kau pasti sudah melihat profilnya sewaktu aku mengenalkan jajaran petugas Brian’s Operation tadi.”
Dia hanya menatap Brian sekilas, tidak menanggapi ucapan Brian dengan berlebihan. Kemudian ia kembali berjalan, melewatiku, menyisakan aroma yang sangat menganggu memoriku.
*
Aneh. Meski sudah berkali-kali sugesti dalam pikiranku menyuruhku untuk bersikap tenang, lututku tetap saja gemetar. Ini persis sama seperti seorang siswa yang tengah menunggu orang tuanya di gerbang sekolah karena dipanggil ke sekolah atas kesalahan yang ia lakukan. Tidak peduli betapa kerasnya aku memerintahkan diri sendiri untuk bersikap normal, detak jantungku berkata lain.
Begitu sampai di apartemen, helaan napasku terasa sedikit lega. Namun masih kurasakan debar yang begitu menggebu di pusat sistem peredaran darahku. Kalau saja manusia memiliki kemampuan pendengaran super, maka bisa kupastikan jantungku sudah sangat menganggu sejak tadi.
“Brian sialan,” umpat Jessi kesal. Ia menghempaskan diri ke sofa, mukanya memerah menahan amarah. “Kenapa gue harus menjadi calon isterinya?”
“Jadi, lo beneran udah jadi isteri Brian?” tanya Abel tidak nyambung.
Jessi mendengus, ia mengetatkan rahangnya, terlihat sangat kesal dan ingin membalas ucapan Abel sebelum matanya berhenti di wajahku.
“Kenapa lo terlihat pucat banget?” tanya Jessi dengan alis bertaut.
Kulihat Abel melirik ke arahku, Anna yang juga baru keluar dari kamarnya ikut menolehkan kepala kepadaku, mungkin memastikan hal yang diucapkan oleh Jessi.
“Kurang enak badan. Kupikir ....” Kuremas tanganku sebelum melanjutkan. “.... Kupikir aku butuh istirahat.”
“Kurang enak badan?”
Kulihat Jessi menyipit curiga. Sepertinya ia tidak percaya, lagi pula siapa yang bisa percaya kalau tadi siang aku masih terlihat segar bugar. Bahkan selama di pesta tadi aku masih terlihat prima, sebelum kehadirannya menjadikan aku seperti sekarang.
“Iya.” Aku menegaskan. “Aku harus istirahat, jadi aku ke kamar dulu.”
Aku tidak membiarkan Jessi membalas ucapannku. Begitu selesai mengatakan keinginanku, aku langsung berbalik badan dan melangkah.
“Lo kenal pria tadi, ya?”
Langkahku terhenti. Tubuhku bergeming sebelum jantungku kembali berdetak seperti genderang mau perang.
“Pria?” Terdengar suara Anna bertanya, sepertinya ia ingin terlibat dalam percakapan.
“Mike.” Jessi menyebut namanya. “Temannya Brian.”
“Enggak.” Aku kembali menghadapkan badan kepada mereka. “Sama sekali enggak,” kataku lagi sambil beranjak. Emosiku benar-benar sudah tidak karuan, bertahan di sini dan mendengarkan pertanyaan Jessi lebih lama hanya akan membuatku menderita.
“Mau ke mana? Lo ngehindar?”
“Enggak,” tegasku.
Aku sampai di depan kamarku, tanpa memperdulikan lagi reaksi mereka aku segera masuk ke dalam kamarku yang masih gelap. Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur, menarik selimutku dan memejamkan mata. Sekarang aku hanya mencoba untuk tidur.
*
Entah sudah berapa lama waktu berjalan, aku sudah berusaha memejamkan mataku, tapi sampai sekarang aku tak kunjung tertidur. Sejak tadi aku tidak berhenti gelisah, tanganku juga tidak berhenti gemetar. Dan sekarang keringat dingin mulai bermunculan di dahiku.
Takut?
Tidak. Kenapa juga aku harus takut?
Hanya saja sekarang ini aku sedang tidak dalam kondisi yang bisa menahan semua gejolak emosi. Rasa rindu yang tidak pernah bisa padam karena tidak akan pernah ada pertemuan, rasa sesal yang tindak kunjung beranjak pergi, sakit yang tidak pernah berhenti, lalu semua itu semakin parah karena kemunculannya.
Seketika marahku meluap-luap, melihat dia nyata dan bernapas di depanku membuat ingin berteriak meminta keadilan semesta. Mengapa harus dia yang masih bernyawa? Mengapa anakku yang tak jadi tercipta?
Mengapa?
Dan mengapa waktu membuatku kembali bertemu dengan dirinya lagi? Dan setelah sekian lama, mengapa ia masih terlihat sama? Tampak angkuh dan berkuasa.
Air mataku menetes begitu saja. Di tengah isak dan juga kegelapan kamar, aku kembali membentak diriku, bahwa meskipun aku harus melihatnya setiap hari setelah ini, aku sudah menyiapkan mental sejak jauh-jauh hari.
*