Dua minggu sudah berlalu. Keadaan di Bhutan masih tetap labil. Para pemberontak belum menyerah. Mereka terus berjuang agar keinginannya bisa di dengar oleh raja. Mereka ingin agar hak-hak atas kaum minoritas Nepal di perhatikan. Mereka juga menuduh kalau negara Bhutan telah melanggar HAM ( Hak Asasi Manusia) dalam usaha meredam pemberontakan yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Demikian Rara menjelaskan semua kepadaku, tentang keadaan negaranya. Abang Rara masih belum kembali dari kantornya di Thimpu, ibukota pemerintahan Bhutan.
Hari-hariku berlalu dengan berbincang-bincang dengan Rara. Sekarang perutku sudah tidak sakit lagi. Aku sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Rara mengizinkan aku untuk keluar, berkeliing rumah mereka yang sangat luas. Taman yang sangat indah dengan bunga-bunga aneka warna terletak di tengah-tengah bangunan yang seakan-akan mengelilingi dan menjadi pagar dari taman indah itu. Bagian tengah bangunan yang berwarna merah dengan atap yang lebih tinggi adalah ruang ibadah. Sebelah kanan dari ruang ibadah adalah tempat kediaman abangnya. Bagian rumah yang aku tempati adalah bagian yang juga menjadi kediaman Rara dan berhadapan langsung dengan ruang ibadah. Bagian depan rumah yang berhadapan dengan tempat kediaman abangnya adalah ruang untuk menerima tamu dan pintu menuju akses jalan ke luar rumah. Ruangan pelayan ada di bagian belakang. Begitu juga dapur. Setiap ruangan dihubungkan dengan jalan setapak di taman atupun koridor beratap ukiran naga yang mewah tempat para pelayan bisa berjalan di kala hujan turun atau saat cuaca tidak mendukung. Kata Rara, rumah ini adalah rumah peninggalan dari orangtuanya. Rara dan abangnya sudah tinggal di rumah mirip istana ini sejak mereka kecil. Aku masih belum berani bertanya pada Rara , siapa abangnya sebenarnya? Apa jabatan abangnya? Sehingga mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk membawa seorang yang bersalah tinggal di rumahnya yang indah ini. Rara selalu menjawab agar aku bisa mendengar langsung penjelasan dari abangnya sendiri bila abanganya pulang nanti. Kalau keadaan sudah membaik dan aman, Rara yakin abangnya akan segera pulang ke rumah. Aku hanya bisa mengangguk pasrah dan membiarkan berbagai pertanyaan yang membinggungkan tetap menggantung di otak ku. Aku harus bisa belajar sabar dan bisa belajar menerima keadaan seperti ajaran Rara, jangan selalu menuntut agar semua keinginan bisa tercapai dalam sekejap. Semua perlu proses apabila kita ingin mendapatkan apa yang kita inginkan. Dari Rara aku belajar banyak hal. Belajar untuk lebih sabar dan pasrah dengan keadaanku. Belajar untuk bisa menerima apa yang terjadi pada diriku, meskipun kadang-kadang hatiku sakit bagai teriris belati bila teringat akan perbuatan Aldi yang sampai hati telah menjerumuskanku di sini. Lalu Rara akan menghiburku dan mengatakan
“ Lihat sisi positifnya, kalau suamimu tidak menjebakmu di sini, kamu tidak bakalan bertemu dan berkenalan denganku dan kita tidak bisa menjadi sahabat. Kamu akan selamanya kesepian di negaramu. Kamu selamanya hanya akan kaya materi tapi miskin hati”.
Aku terdiam cukup lama untuk merenung kata-kata Rara dan akhirnya aku pasrah dan yakin kalau ini semua sudah takdir Tuhan mungkin juga karma atas semua perbuatanku dulu yang terlalu sombong, egois dan menganggap semua hal bisa diselesaikan dengan harta dan takhta. Semua itu tentu sudah jalan Tuhan yang ingin aku bertemu seorang Rara yang mempunyai sifat yang begitu tenang, sabar dan lembut yang bisa menjadi sahabat denganku yang berperangai keras, meledak-ledak dan berasal dari belahan dunia lain.
Meskipun baru dua minggu ini aku mengenal Rara dengan dekat, tapi aku merasa cocok sekali dengan Rara. Semua hal bisa kami perbincangkan, tidak ada batas dan kekakuan. Kami bisa bicara dari hati ke hati ibarat sahabat lama yang sudah saling mengerti . Ternyata Tuhan memberiku cobaan seperti ini, supaya aku bisa mendapat seorang sahabat dalam suka dan duka juga supaya aku bisa sadar bahwa mempunyai seorang sahabat itu sangat penting jangan hanya mementingkan harta dan jabatan.
Hari ini, setelah selesai sarapan. Aku duduk manis menunggu kedatangan Rara ke kamarku. Rara selalu datang ke kamarku untuk berbincang -bincang denganku setiap pagi . Sampai sekarang, aku hanya boleh keluar dari kamar kalau ditemani Rara. Pintu kamarku juga masih selalu terkunci dari luar.Apa yang bisa aku harapkan, bagi seseorang yang sudah melakukan kesalahan imigrasi di negeri orang? Bagaimanapun keadaanku ini lebih baik dibandingkan dengan di penjara. Hari ini Rara sudah berjanji akan mengajariku menyulam. Sulaman khas Bhutan sangat indah. Aku sudah tidak sabar untuk belajar. Kalau aku bisa pulang ke Indonesia suatu saat nanti, aku ingin menambah divisi di pabrik kami untuk kain dengan sulaman tangan sehingga nilai kain itu menjadi lebih tinggi dan lebih eksotis. Pasti jenis kain itu kan menghasilkan banyak keuntungan. Meskipun lama waktu pengerjaannya tetapi nilai seninya itu yang tidak terkira. Jadi hari ini tekadku sudah sangat kuat untuk belajar menyulam sampai aku mahir , di bawah bimbingan Rara, sahabatku.
Tiba-tiba aku mendengar suara kunci diputar. Hore… Pasti itu Rara yang datang, Rara sudah terlambat setengah jam dari waktu biasanya. Cepat-cepat aku bangkit dari tempat tidurku dan berlari ke tengah ruangan untuk menyambutnya. Aku ingin memberinya kejutan kecil dengan berdiri tepat di depan pntu. Jadi saat dia membuka daun pintu yang besar ini, Rara akan langsung berhadapan dan menatap mukaku. Aku melanjutkan jalan cepatku dan menuju depan pintu. Sekarang gagang pintu berwarna emas itu, tampak berputar. Aku makin berdebar. Aku memasang wajah penuh senyum dan siap-siap menyambut Rara. Daun pintu berat itu terangkat sedikit lalu di dorong. Aku berdiri tegak di depannya dengan wajah penuh senyuman lalu berteriak kencang
“ I LOVE YOU!!!! Sambil merentangkan tanganku siap memberi Rara pelukan.
Kami sama-sama terkejut dan mundur dua langkah ke belakang. Aku tersipu malu. Tidak berani memandang matanya. Yang masuk ternyata bukan Rara. Tapi laki-laki berwajah dingin yang menginterogasi aku di bandara. Rasanya aku ingin nyungsep masuk ke dalam tanah. Mau ku taruh di mana muka ku. Berteriak dengan kencang I LOVE YOU pada seorang pria dengan tangan terjulur seakan menunggu pelukan. Aku benar-benar malu. Laki-laki itu juga tampak kesal. Mukanya merah menahan amarah.
“ What are you doing?”Katanya tetap dengan suaranya yang dingin.
“ Sorrry. I think you are Rara” Jawabku pelan dengan wajah yang masih tertunduk dalam.
Laki-laki berwajah dan bersuara dingin itu lalu melangkah masuk, pengawalnya menutup pintu kamar. Dia berjalan cepat menuju tempat duduk di tengah ruangan. Mukanya yang tampan masih tampak kesal dengan kejutan yang aku lakukan. Mukanya masih tetap tampan, matanya masih bersorot dingin . Wajahnya sekarang menjadi lebih kurus dibandingkan saat pertama aku bertemu dengannya di ruangan interogasi di bandara. Suaranya juga masih berat dan dingin ketika ia menyuruhku duduk di depannya.
“ Ada yang mau aku jelaskan padamu”. Katanya singkat
Ini yang aku tunggu-tunggu selama dua minggu ini. Saatnya ternyata hari ini, aku bisa mendengar penjelasan langsung darinya. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku bisa ada di sini? Mengapa perutku sakit sekali waktu itu? Apakah aku ada penyakit berat? Bagaimana dengan kasusku? Ini benar-benar hari yang aku tunggu. Dia pasti bisa menjawab semua pertanyaan yang selama ini telah menggantung dalam otakku. Aku duduk dan menatapnya dengan tatapan tak sabar dan ingin tahu.
Dia menghela nafas. Kelihatannya dia mencoba melerai semua beban yang ada di dadanya dengan helaan nafasnya. Dan ternyata menghela nafas tidak berhasil melerai bebannya, wajahnya masih kacau dan tegang. Dia menghela nafas sekali lagi tanpa memulai percakapan. Aku diam saja menunggunya. Hatiku mulai tak sabar ingin segera mengetahui dan mendengar penjelasannya. Tapi aku tidak berani mendesaknya. Aku takut dia akan marah dan membanting pintu lagi seperti saat di Bandara. Aku harus bisa menahan diri seperti ajaran Rara, tidak semua keinginan bisa terlaksana dalam waktu singkat. Kalau dulu saat di Jakarta, aku pasti sudah mencak-mencak memaksa lawan bicaraku untuk segera mengungkapkan apa yang mau diutarakan. Bagiku, menunggu dan takut berbicara adalah salah satu sikap tidak percaya diri dan plin plan. Aku tidak peduli lawan bicaraku ngomong tergagap-gagap tak bisa menjawab pertanyaanku. Aku tidak peduli kalau mereka takut salah omong di depanku. Pokoknya keinginanku untuk mengetahui segala sesuatu harus aku dapatkan detik itu juga tanpa lawan bicaraku boleh mempertimbangkannya dulu. Itu dulu saat aku masih boss di pabrik garmenku. Sifat itu harus aku redam sekarang. Saat ini aku harus bersabar. Jadi aku diam saja saat ini, tidak sedikitpun berani mendesaknya. Aku membiarkannya larut dalam pikirannya sendiri sebelum ia mulai berbicara. Aku yakin, ia datang hari ini pasti ada tujuannya. Dia menghela nafas lagi dan melipat tangannya di meja.Dia tampak sangat berwibawa dan berkharisma. Aku memandanginya dengan pandangan ingin tahu yang besar. Lalu ia mulai membuka mulutnya dan berbicara denganku.
“ Kamu tentu sudah tahu, bahwa negara kami sedang ada pemberontakan yang sangat besar. Ini adalah pemberontakan terbesar sepanjang sejarah berdirinya negara kami. Para pemberontak memblokir bandara Poro. Mungkin mereka terinspirasi dengan pemberontakan di Thailand yang berhasil melumpuhkan seluruh Thailand sewaktu pemberontak menguasai bandara Swannabhumi Bangkok”.
Dia menghela nafas lagi. Ya , aku teringat saat pemberontakan di Bangkok terjadi beberapa tahun yang lalu. Kasian sekali turis-turis yang terjebak tidak bisa pulang ke negaranya atau masuk ke Thailand dan terpaksa tidur di bandara. Aku mengangguk-angguk kepalaku tapi tidak berani bersuara. Dia melanjutkan lagi.
“ Aku ada di bandara untuk menenangkan mereka para pemberontak. Tapi tampaknya tidak ada titik temu, lalu mereka mulai beringas dan aku pun diamankan oleh pasukan pengawal ke kantor imigrasi dan di sana aku bertemu denganmu. Kamu datang ke negara kami pada saat yang tidak tepat. Karena semua petugas imigrasi sedang sibuk, aku yang menginterogasi kamu dan hasilnya kamu pasti masih ingat. Kamu benar-benar telah melanggar hukum yang ada di negara kami. Masuk dengan visa palsu dan sekoper besar rokok yang merupakan barang terlarang untuk di bawa ke negara kami. Kamu juga berbohong tentang kedatanganmu bersama suamimu yang ternyata tidak ada orangnya setelah kami telusuri. Pada hari itu hanya kamu satu-satunya pemegang paspor Indonesia yang ada di catatan keimigrasian baik di Bhutan ataupun di Thailand” . Matanya tajam menatapku, seakan mau menguliti tubuhku dan membuatku merasa bagai terdakwa yang sedang menunggu putusan bersalah dari hakim. Aku sudah tidak tahan lagi berdiam diri. Ini hak ku untuk membela diriku. Maaf Rara, aku tidak bisa terus menerus mendengar nasehatmu untuk sabar dan menahan diri. Aku harus bisa memberikan pembelaan agar diriku tidak terus menerus di cap sebagai pembohong.
“Aku tidak bohong! Aku berkata yang sejujurnya. Aku di jebak oleh suamiku. Aku datang ke sini bersamanya. Kalian pasti ada CCTV di bandara. Aku bisa menunjukannya kepadamu” Lalu aku terdiam dan teringat. Ya Tuhan.. Bandara sudah terbakar habis, mana ada lagi CCTV atau rekaman lainnya yang tersisa. Aku mengerutkan mukaku tanda kesal. Kok aku bisa begitu sial.
“Kamu tidak ada bukti dan saksi lagi.Bandara poro sudah habis terbakar. Aku keluar dari ruangan saat para pemberontak mulai membakar bandara. Aku ingin menahan mereka supaya jangan merusak apa yang sudah negara ini bangun dengan susah payah. Tapi aku tidak berhasil. Semua pengawal pribadiku melarangku untuk maju lagi, karena bagian depan bandara sudah habis terbakar. Saat itu keadaan sudah kacau balau. Hanya ada satu pintu keluar , yaitu dari ruang interogasi yang ada pintu langsung tembus ke halaman belakang bandara. Di sana mobil sudah menunggu untuk menyelamatkan aku. Aku lalu kembali ke dalam ruang interogasi dan melihat di sana sudah penuh asap dan kamu sudah terkulai lemas di lantai. Rasa kemanusiaan membuatku, menyuruh pengawalku memopong kamu untuk keluar mengikuti kami. Karena keadaan sangat kacau, aku memutuskan langsung membawamu ke rumah pribadi ku. Aku tahu Rara, bisa merawatmu di sini sampai keadaan membaik kembali dan kami bisa menginterogasi dan menyelidiki kasusmu dengan sebaik mungkin tanpa mengabaikan hak-hak kamu”.
Aku benar-benar terbengong-bengong mendengar ceritanya. Jadi aku pingsan.Dan pengawalnya memopong aku. Hanya tubuhku ini, tanpa membawa tas Hermesku? Tanpa membawa apa-apa lagi? Aku mulai panik memikirkan semua itu. Bagaimana aku bisa membayar denda nya? Bagaimana aku bisa pulang lagi ke Indonesia? Tidak ada apa-apa lagi yang bisa membuktikan aku ini siapa. Aku merasakan kepalaku berputar-putar bagai baling-baling pesawat jet. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Lalu semua kemarahan dan rasa kesal dalam hatiku bercampur aduk membutakan semua kesabaranku dan aku meledak dalam tangisku. Bahuku berguncang-guncang keras mengikuti irama tangisanku. Mengapa aku bisa se sial ini? Mengapa aku bisa datang ke sini saat negara ini sedang ada masalah? Mengapa Aldi begitu tega menghancurkan aku sedemikian rupa? Lalu semua kekecewaan dan kekesalan itu aku keluarkan lewat jeritan histeris ku padanya. Mencoba melerai rasa putus asaku dengan suaraku yang melengking.
“ Itu urusan kalian! Aku tidak terima. Aku benar-benar datang ke sini untuk liburan. Kalau aku salah, aku bersedia membayar denda-dendanya. Tapi tasku juga tidak kalian bawa. Aku di sini bukan karena kesalahanku. Aku tidak terima….Aku tidak terima.” Suaraku mulai hilang lenyap karena isakanku. Aku tahu, ia pasti juga binggung dengan apa yang aku katakan. Aku benar-benar putus asa dan melupakan semua ajaran Rara padaku. Tenang, sabar, tarik nafas. Aku lupa semua itu. Marahku pada keadaan ini membuat aku histeris, aku kembali menjerit-jerit.
“ Aku mau melapor pada negaraku. Izinkan aku memakai telepon. Aku tidak bisa lagi bertahan lebih lama di sini. Aku harus kembali ke Jakarta untuk menuntaskan persoalanku pada bajiingan suamiku itu. Dia yang telah menjebakku. Kamu harus memberi akses padaku untuk menelepon. Tidak usah menunggu keadaan membaik lagi. Kalau keadaan di sini tidak membaik selamanya. Apa aku harus hidup di sini saja ? Diam kayak orang bodoh?? Atau jadi b***k kamu?” Aku menjerit-jerit makin histeris. Rasanya dadaku hampir pecah karena emosi. Dalam pandanganku yang kabur karena air mata, aku melihatnya bangkit dan berjalan mendekatiku.Mukanya tampak memerah entah karena kesal atau karena kasihan melihatku yang menjerit-jerit tanpa henti yang seakan tak pernah habis padanya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan muka dinginya. Emang dia raja yang boleh seenaknya menyekap aku di negaranya? Ini sudah zaman apa? Bukan lagi zaman feodalisme, pasti ada aturan internasional untuk orang-orang seperti aku ini. Pasti ada undang-undang dan hukum yang memperbolehkan aku membela diri. Aku bangkit dari dudukku dan berdiri balas menatapnya dengan mata bulatku. Aku tidak boleh kalah gertak lagi dengannya seperti saat di Bandara. Aku harus memenangkan pertarungan tatap mata ini. Dia berjalan semakin mendkat. Bibirnya membentuk garis lurus ke atas semakin menampakkan gayanya yang angkuh dan berwibawa. Lalu dia berhenti tepat di depanku. Jarak kami hanya satu jengkal Aku bisa merasakan desah nafasnya. Suaranya yang dingin lalu terdengar
“ Ini kali pertama aku bertemu dengan wanita yang sungguh sangat tidak anggun dan tidak bisa menahan diri. Menjerit-jerit histeris tanpa bisa berpikir jernih dan pakai logika. Kamu benar-benar wanita yang tidak tahu berterimakasih. Menyesal aku membawamu ke sini, seharusnya aku tetap membiarkanmu di bandara, dikuasai para pemberontak atau mungkin mati terbakar.Maksudku baik menolongmu supaya aman dan selamat dari pemberontakan dan dari bencana kebakaran karena kamu pingsan dan tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri. Sudah aku bantu, bukannya berterima kasih tapi berani-beraninya menjerit-jerit padaku. Kamu tahu. Kamu itu benar-benar wanita paling kurang ajar yang pernah aku temui seumur hidupku. Pikirkan dan tenangkan dulu dirimu, baru aku akan kembali untuk mengambil langkah selanjutnya. Untung tidak ada perempuan di rumah ini yang bertingkah seperti kamu” . Selesai berkata dia langsung membalikkan badan dan berjalan keluar. Pengawal di depan pintu yang berjaga selama kami berbicara langsung menutup pintu kamarku dan menguncinya.
Aku ditinggal sendirian di kamar dan terbengong-bengong. Lalu memukul kepalaku kesal. Mengapa aku tidak bisa menahan diri? Sudah lama aku menunggu saat dia datang dan menjelaskan apa yang terjadi pada diriku. Tapi sekarang karena emosi, aku malah menjerit-jerit histeris padanya dan mengakibatkan dia pergi. Aku masih belum tahu apa yang terjadi dengan perutku yang mengapa bisa sakit sekali. Padahal itu soal terpenting yang harus aku tanyakan kepadanya. Aku juga masih belum tahu siapa dirinya. Kekuasaan apa yang dia miliki sehingga dia bisa membawaku ke rumah pribadinya?
Aduh… aku benar-benar kacau. Aku seharusnya lebih bisa menahan diri. Aku seharusnya ingat ajaran Rara. Tenang, tarik nafas, lakukan berulang-ulang kalau aku sudah mau marah. Kenapa aku menjerit-jerit lagi? Kenapa aku tidak bisa seperti Rara yang begitu tenang meskipun lagi emosi atau marah? Aku benar-benar harus mencoba memperbaiki keadaan emosiku ini. Aku sekarang bukan lagi seorang Listy yang pemimpin pabrik garmen terbesar. Aku kini ada di negara asing. Aku ini tawanan. Aku harus lebih tahu diri.Aku terduduk lemas kembali di kursiku. Menghela nafasku dan mencoba memikirkan kembali apa perkataanya padaku tadi. Memang seharusnya aku berterimakasih padanya. Karena ia sudah menyelamatkan aku. Kalau aku dibiarkan pingsan di bandara, pasti saat ini aku sudah mati. Kalau aku benar mati, Aldi si b******k itu pasti akan menari-nari kegirangan. Dia jadi bebas menguasai hartaku yang memang sudah menjadi tujuannya. Dia tidak usah lagi menunggu satu tahun. Mungkin saat ini dia sudah tahu kalau bandara Poro terbakar karean pemberontakan. Aldi pasti sibuk mencari data-data korban. Ada nggak korban perempuan asing yang mati terbakar. Kalau ada pasti dia sangat bersyukur, ternyata usahanya berhasil . Jangan senang dulu Aldi. Listy masih hidup dan akan belajar bersabar di sini, menunggu waktu yang tepat untuk dapat pulang ke Indonesia dan membalas dendamku padamu. Tunggu saja Aldi.. Aku menghela nafas panjang, mencoba menyatukan semua pikiran-pikiran positif agar aku tidak putus asa. Aku harus hidup dan berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali ke Indonesia dan merebut semuanya kembali. Jalan pertama yang bisa aku lakukan sekarang ini adalah belajar mengendalikan emosiku. Kalau nanti kakak Rara datang lagi, aku harus tenang biar dia maumenjelaskan semuanya kepadaku. Kalau dia menginginkan aku menjadi wanita yang tidak menjerit-jerit, wanita yang bisa mengendalikan emosi. Aku akan belajar. Aku pasti bisa. Aku sangat yakin itu. Aku percaya dia dengan kekusasaannya pasti akan membantuku untuk mendapatkan jalan keluar dari masalahku ini. Kalau dia tidak mau membantuku, pasti dia sudah meninggalkan aku di bandara. Tapi ini dia malah membawaku ke rumahnya. Berarti dalam hatinya ada sedikit kepercayaan kalau aku sebenarnya tidak bersalah. Baiklah tuan berwajah dingin. Aku akan menuruti nasehatmu, belajar untuk sabar. sabar dan sabar…
Yang buruk belum tentu buruk
Yang baik juga belum tentu sempurna
Waktu yang akan membuktikan itu semua
Yang terpenting kita harus belajar
Untuk menerima keadaan dengan sabar