“Tran-sak-si?” ulangku tersedak, mendadak kosakata di bidang ekonomi itu terasa amat memilukan, walaupun tak dapat dipungkiri memang demikian adanya, aku segera menekan kesedihan yang mendadak hendak menyeruak dan membobolkan bendungan-bendungan yang ada di kedua mata.
“Em ... transaksi?” ulangku dengan diawali dengan deheman kecil.
“Ya, mungkin akan jadi seperti itu, transaksi bersyarat, resmi, berdokumen dan dapat diakhiri setelah tugas-tugas itu selesai,” jawabku dengan berusaha menghilangkan getar dalam suara yang muncul akibat menekan emosi sedih.
Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu. Mata elang itu memandangku tajam, kemudian dia beranjak dari sofa itu dan berdiri menjulang dengan tinggi badan mungkin sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter. Dari tempatku duduk, aku harus mendongak untuk tetap dapat melihat wajah tampannya.
Laki-laki itu kini mendekat ke arahku dan duduk di sofa yang sama, kini kami hanya berjarak sekitar tiga puluh sentimeter. Tubuh ini langsung beringsut untuk menambah jumlah jarak itu hingga terbentur pada tangan sofa. Laki-laki ini lalu menyandarkan punggung sambil mengamatiku, sedangkan aku memiringkan badan hingga posisi duduk menjadi duduk menyamping.
“Kamu bisa tetap duduk di sana, Aldar,” ucapku dengan penuh penekanan sambil menunjuk tempat duduknya semula.
Laki-laki ini menggerakkan telunjuk dan mencoba menyentuh dahiku, aku mengundurkan kepala demi menghindari telunjuk itu.
“Kamu tahu nilai yang Kamu minta itu sangat besar?” celetuknya tanpa menghiraukan protesku.
“Dan kesepakatan kita batal jika Kamu mengurangi jumlah itu walaupun serupiah,” jelasku mengingatkan.
Laki-laki ini kembali menggerakkan telunjuk dan memaksa menyentuh bagian tengah dahi ini.
“Ah!” seruku saat telunjuk itu kali ini berhasil menekan dahi.
“Apa yang ada di dalam sini?” ucapnya sambil tetap mengarahkan pandangan ke mataku.
“Uang,” sahutku pendek.
“Se-perlu itukah Kamu?” sahutnya masih dengan ekspresi tak mengerti, mungkin dia sangat ingin tahu bagaimana bisa orang sepertiku mengambil keputusan itu.
“Kamu akan mengerti itu jika berada di keadaanku,” ucapku sambil menepis telunjuk itu dan hendak beranjak dari tempat duduk itu.
“Apa akan ada orang yang memprotes pernikahan ini dari pihakmu?” sambungnya sebelum aku berhasil berdiri dari sofa.
Aku mengurungkan gerakan dan menoleh sambil menggeleng.
“Keluarga, pacar, mantan, teman, kolega atau siapa saja?” lanjutnya dengan nada serius.
“Aku tanya sekali lagi, Kamu yakin akan melakukan itu?” ucapnya dengan penekanan yang di kupingku terdengar mengerikan, tetapi tak ada jalan lain, aku harus mengangguk.
“Oke, kalau begitu,” ujarnya sambil beranjak dan berjalan ke sebuah meja, lalu kembali dengan membawa selembar kertas.
“Tulis kesediaanmu di sini, jelaskan jika ini tanpa paksaan,” perintahnya sambil menyorongkan kertas dan sebuah pena.
Aku tercekat, mau tak mau rasa gentar merasuk dalam hati. Benarkah apa yang kulakukan ini? Apa ini setara dengan bunuh diri atau menjual diri? Ingin sekali saat ini juga kaki ini berlari sekencang-kencangnya, tetapi masalah-masalah yang ada di belakangku lebih kuat menahan kaki ini untuk tidak bergerak.
“Uh!” seruku berulang-ulang mengalirkan kecemasan, tangan ini gemetar ketika hendak menerima alat tulis itu.
“Hah!” serunya terkejut ketika aku melakukan peregangan sebelum mengambil alat tulis itu.
“Ayo kita lakukan, semangat!” teriakku tanpa mempedulikan laki-laki yang melihatku sambil ternganga.
“Sudah!” seruku dengan napas memburu seolah baru saja mengikuti olahraga marathon, kertas itu kini telah berisi pernyataanku, laki-laki ini kemudian menyimpannya.
Aku berusaha tidak memikirkan pikiran-pikiran yang melintas dan emosi-emosi negatif yang protes pada apa yang telah kuputuskan.
“Kita akan makan dulu,” ujar laki-laki itu sambil menuntunku ke meja yang telah dipersiapkan.
“Aku ke sini bukan untuk makan,” ucapku sambil masih berusaha meredakan hati yang berdebar-debar.
“Anggap saja ini kencan pertama kita,” sahutnya santai.
Aku mengarahkan pandangan ironi dari bawah ke atas, ini pasti baju kencan ter-hits abad ini. Tak urung aku mengikuti ajakannya dan menyantap menu perbaikan gizi itu, semua enak tidak ada yang tak favorit dari makanan yang tersaji tadi. Dengan tidak mengingat sedang berada di mana dan sedang bersama siapa, aku menikmati makanan enak yang sudah lama tidak kunikmati ini.
“Beberapa saat tadi ada yang mengatakan ke sini tidak untuk makan,” celetuk suara laki-laki itu dengan nada menyindir, kemudian komentar itu diiringi dengan tawa terkekeh.
“Aku hanya menyenangkan tuan rumah, terpaksa sekali ini kulakukan,” sahutku acuh, laki-laki itu sejenak terkejut kemudian kembali terkekeh.
“Kurasa aku akan bisa hidup denganmu,” ucapnya riang.
Jamuan makan berakhir dan membuat perut yang lama sekali tidak merasakan kenyang ini jadi terasa penuh.
“Seseorang akan mengantarmu pulang,” ucap laki-laki ini dengan nada datar.
“Enggak, aku tadi sudah memesan ojek pulang pergi, sebentar lagi pasti datang,” tolakku dengan halus.
“Iya?” ujarnya dengan nada heran, dan ekspresi herannya justru membuatku lebih heran, bagaimana semua hal yang sederhana bisa membuat ia heran.
“Apa yang membuatmu heran?” ucapku kemudian sambil melongok ke arah jalan.
“Persiapanmu,” jelasnya terus terang.
“Oh,” seruku memahami apa yang membuat dia heran.
“Tentu saja, tempat ini tersembunyi, tidak mungkin dari sini ke jalan besar aku jalan kaki, jauh tahu,” jelasku dengan sambil menyeringai.
Bunyi notifikasi terdengar dari handphone yang sudah banyak terkelupas di sana sini ini.
“Itu handphonemu?” ucap laki-laki ganteng ini dengan pandangan heran.
“Masih tanya lagi,” sahutku kesal, tentu ia menertawakan wujud gadget dengan teknologi yang sudah ketinggalan ini.
“Hah!” seruku sambil terbelalak.
Sedetik kemudian kaki ini melonjak-lonjak mengimbangi detak jantung dengan irama yang sama.
“Aaa,” teriakku tak dapat ditahan.
Ini jumlah nolnya berapa? Notifikasi pesan yang ternyata email kredit masuk itu membuat jantung ini seolah pindah-pindah dari tempatnya.
“Ka-,” ucapku terhenti, pasti ... pasti laki-laki yang ada di depanku ini yang baru saja mentransfer dalam jumlah besar.
Aldar Harran hanya menatapku dengan tenang sambil kembali meletakkan handphone mahal itu di meja yang ada di dekatnya.
“Ini lebih dari syarat yang kuajukan,” ucapku sambil sibuk menghitung jumlah nol.
“Sepertinya Kamu memang memerlukannya,” ucapnya tanpa ragu, aku mengangguk-angguk dengan cepat untuk menyetujui pendapatnya.
“Dengan jumlah itu, Kamu harus menjadi istri yang paling baik di dunia,” ucapnya sambil menatapku lekat.
“Ha?” jeritku menyadari apa arti jumlah nol yang banyak itu.