A Gold Digger?

1058 Words
“Heh!” dengus wanita itu sambil memandangku dari ekor matanya. Hem ... ternyata dalam pernikahan sementara ini pun ada orang-orang yang seperti ini. Hati ini kembali bertanya, apakah wanita paruh baya ini yang angkuh ini ibu Aldar? Kembali bulu kuduk ini meremang. “Apa yang Kamu pakai ini memang menyingkap kecantikan yang Kamu miliki, tetapi tentu tidak dapat menyembunyikan siapa sebenarnya dibalik wajah yang indah itu,” lanjut wanita paruh baya yang menggunakan baju dan perhiasan yang tampak tidak murah itu. Huh ..., aku hanya bisa mengembuskan napas untuk menahan apa yang ingin meledak dalam d**a. “Oh! Ayolah! Jangan pura-pura! Akui saja! Apa yang bisa disembunyikan dari seorang Gold Digger?” sambung perempuan dengan riasan yang mendekati sempurna itu. Mulut ini tak mampu menjawab. Bagaimana aku harus menjelaskan apa yang sudah kulalui pada wanita ini? Mirisnya, apa yang dikatakan wanita itu juga tidak dapat disalahkan. Bagaimana tidak, pernikahan ini memang terjadi karena aku butuh uang yang dimiliki Aldar. Tetapi, ‘kan tidak juga aku menikahinya hanya karena ingin mengambil kekayaannya. Toh pernikahan ini juga sementara. “Sayang sekali pernikahan ini terjadi, tetapi melihat senyum di wajah Aldar, hari ini kutahan tangan ini dari mencakar wajahmu,” ancamnya dengan suara dingin. “Hah!” seruku terkejut mendengar apa yang keluar dari mulut dengan lipstick yang pasti berharga mahal itu. “Hei ... selamat ya ...,” seru perempuan muda yang dari tadi tersenyum riang itu sambil menerobos ke arahku menyingkirkan wanita paruh baya itu. Aku tersenyum dan hendak menyambut uluran tangannya. “Gladys!” seru wanita paruh baya itu kembali membentak gadis itu hingga tangan ini urung terangkat. “Apa sih, Ma?” jawab gadis itu dengan ekspresi merajuk. “Kamu tidak mengenalnya dan tidak perlu pura-pura mengenalnya!” balas wanita paruh baya itu dengan dengusan sinis. “Eh ... salahnya di mana coba?” seru gadis itu terdengar jengkel. “Kita di sini hanya untuk menghadiri resepsi Aldar, bukan untuk beramah tamah dengan orang yang tidak kita kenal,” balas wanita paruh baya itu sambil masih menatapku lekat. “Memberikan selamat ‘kan juga bagian dari kegiatan yang ada dalam resepsi, Ma,” protes gadis itu dengan ekspresi tampak kesal. “Memberikan selamat pada Gold Digger? Oh ... nggak mungkin!” seru wanita paruh baya itu. “Ma, jangan kejam begitu dong memberikan sebutan pada gadis yang tak bersalah. Siapa sih, Ma, yang enggak mau nikah dengan Aldar? Ganteng, tajir dan baik. Please deh, Ma!” kata gadis itu memberikan alasan. “Tahu apa Mama tentang cinta yang ada di hati mereka?” lanjut gadis itu sambil berkacak pinggang. “Mama sudah selidiki identitas gadis itu ketika Aldar mengirimkan undangan khusus,” ucap wanita paruh baya itu sambil menyeret gadis itu menjauh dari depanku. “Hah!” seruku dan gadis itu berbarengan. Dua tamu wanita itu lalu menjauh dari tempatku berdiri dan keduanya tampak masih beradu mulut dari sini. Aku menghela napas panjang melihat kejadian itu. Betapa bodohnya aku mengesampingkan hal-hal semacam itu, tentu saja mereka dengan kekuasaan dan harta yang mereka miliki dengan gampang melakukan penyelidikan pada orang-orang sepertiku. Keindahan tempat ini seperti tercemar dengan kejadian tadi. Langit yang kini memerah dengan gradasi ungu yang indah malah membuat hati ini tambah pilu. “Akhirnya aku bisa melihat senyum di wajahnya,” kata sebuah suara dan seorang laki-laki dengan tubuh tinggi kurus dan dengan rambut pirang berdiri di sampingku, ia adalah salah satu dari keenam tamu yang hadir. “Oh! Ya,” balasku tanpa mengerti dengan apa yang sebenarnya ia katakan. “Aku nggak tahu dengan apa yang terjadi dibalik pernikahan mendadak ini, tapi yang pasti melihatnya hari ini bahagia cukup membuatku lega,” lanjutnya sambil mengangguk-angguk. “Hem,” jawabku sambil mengangguk kecil. “Glen, jangan merayunya, aku khawatir dia mengalihkan hatinya padamu,” seru Aldar dari arah belakang, laki-laki ini kemudian mendekat dan meletakkan satu tangannya di pinggangku. “Oh! Sampai seperti itu pikiranmu?” ucapnya dengan ekspresi bercanda yang kental, laki-laki yang dipanggil dengan nama Glen ini kemudian terbahak. “Kalau begitu aku akan menjauh dari gadismu ini,” lanjutnya sambil mengangkat tangan dan menjauh. Aldar tertawa dan menghentikan tawa itu ketika seorang laki-laki dengan wajah angkuh yang tadi menyambut Aldar turun dari panggung itu mendekat. Laki-laki yang sejak tadi berbicara dengan Aldar itu hanya memandangku tanpa mengatakan apa pun. Bahkan, sedikit senyum pun tidak. Wajahnya terlihat angkuh, wajah yang mirip dengan wajah Gladys tanpa senyum itu berlalu begitu saja. “Ah ... mungkin ini suami dari wanita paruh baya yang mengancamku tadi,” gumanku pelan. “Ya?” tanya Aldar yang masih berada di sampingku. “Em ... nggak. Nanti saja,” jawabku mengurungkan jawaban yang pasti akan berupa pertanyaan tentang identitas tamu-tamunya. “A-,” ucap Aldar terhenti. Dua orang laki-laki yang mungkin sebaya Aldar dengan raut muka yang tak jauh dari laki-laki yang baru saja berlalu. “Jaga hartamu!” ucap laki-laki itu sambil menepuk bahu Aldar dan melirikku kemudian berlalu. “Hah!” seruku kesal dan itu justru membuat Aldar tertawa. “Kayaknya nggak ada unsur lucu dalam ucapannya tadi,” protesku sambil bersungut-sungut. Ucapan Aldar kembali terhenti ketika seorang laki-laki paruh baya dengan rambut yang sudah sebagian memutih mendekat. Berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya, raut muka laki-laki yang tadi juga terlihat bercakap-cakap dengan Aldar tersebut tampak tenang. Laki-laki ini juga menepuk bahu Aldar kemudian berhenti di depanku dan menganggukan kepala dengan hormat. Dengan kaku aku membalas anggukan kepala itu dengan anggukan yang sama. “A-,” ucapku terputus. “Saatnya makan, pasti Kamu lapar sekali setelah tadi siang hanya makan seperti itu dari butik,” ucap Aldar sambil menuntunku meninggalkan pantai yang mulai menggelap. Kepala ini menoleh dan melihat semburat warna jingga hanya tinggal selarik di batas cakrawala. Acara makan malam diadakan di satu ruang yang ada di resort ini. Ruangan yang luas ini dihias dengan indah dengan satu meja makan dengan delapan kursi. Sepertinya jumlah yang akan berkumpul di ruangan ini sudah diseleksi sedemikian rupa hingga benar-benar terbatas. Aku lebih banyak diam dan mendengarkan percakapan para tamu laki-laki yang hadir. “Sepertinya kita harus tahu diri dan mencukupkan acara ini sampai di sini,” ucap laki-laki paruh baya yang memiliki wajah seperti Gladys setelah beberapa saat kemudian. “Biarkan malam ini menjadi milik sepasang pengantin yang bahagia di ruangan ini,”lanjut laki-laki itu, dan itu terdengar tidak enak sekali di kupingku. Huh...! Aku mengembuskan napas panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD