“Oh ...!” keluh Aldar kesal.
“Setelah sampai di sini bagaimana mungkin aku menginginkan Kamu pergi, Marakesh ...,” sambungnya sambil berkacak pinggang.
“Ya udah, terima saja napa? Baju ini juga sopan, rapi, bersih dan baik-baik saja. Anggap saja ini adalah outfit menikah paling sederhana abad ini, oke?” jawaku cuek.
“Ah,” seru Aldar dengan ekspresi muka pasrah lalu bergegas mempersilahkan aku berjalan ke luar rumah.
Sepanjang perjalanan jantung ini seolah melakukan dance cover lagu idol K-pop yang koreografinya paling susah diikuti. Jadi, di anganku jantung ini kadang melompat ke paru-paru hingga membuat d**a ini terasa sesak, lalu kadang turun ke bawah, sampai perut ini terasa tertekan serta melakukan gerakan lonjak-lonjak hingga detak jantung ini mungkin bakal terdengar di kota sebelah. Sedangkan telapak tangan ini turut berkeringat.
“Panas?” ucap Aldar, laki-laki yang duduk di sebelahku sepertinya ini heran.
“AC-nya bagus ‘kan, Pak?” serunya pada sopir yang ada di belakang kemudi.
Laki-laki yang sedang mengendalikan mesin itu menyahut mengiyakan.
Aldar kembali menatapku dan mengangsurkan bungkusan tisu dari wadah yang tadinya terselip di belakang sandaran kursi depan.
“Uh!” seruku sambil mengeluarkan sesak di d**a, bungkusan itu terhenti di depan wajah ini dan tak kuindahkan, entah ... aku tak mampu bicara, hanya menatapnya dengan kesal.
“Ya, mana tahu nanti ada yang butuh mengelap keringat yang mulai deras,” ucapnya sambil tersenyum seolah tak terpengaruh dengan tatapan kesal yang kulemparkan padanya, menyebalkan, sepertinya dia tahu kondisi mental ini. Bungkusan tisu itu kini berada di pangkuanku.
“Kita sampai, Pak,” seru sopir sambil masuk ke sebuah kantor pemerintah.
“Oke, sip,” balas Aldar lalu membuka pintu dan turun.
“Kesh,” panggil Aldar ketika melihatku bergeming dan hanya menatapnya.
“Apa perlu kugendong?” lanjutnya sambil bergerak mendekat.
Kuangkat tangan ini sebagai tanda penolakan. Laki-laki itu tersenyum geli dan melakukan gerakan mempersilakan dengan tangannya.
Uh! Aku melihat di kedua kaki ini tak ada batu yang menempel, tetapi sepertinya berat sekali diajak untuk melangkah. Semenit kemudian mengembuskan napas dan mengeluarkan kembali melalui hidung harus dilakukan, sebelum laki-laki yang berdiri di samping pintu mobil itu kembali memperingatkan.
“Uh!” seruku sambil bergerak dengan berat dan menapakkan kaki di lapangan parkir kantor pemerintah ini.
Ya, aku sadar, memang tidak ada jalan untuk kembali, tetapi setidaknya tak adakah celah untuk paru-paru ini agar dapat sedikit bernapas tanpa merasakan sesak.
“Kalau misalnya uang itu kukembalikan dengan cara mengangsur bagaimana?” ucapku sambil menoleh pada Aldar yang berjalan dengan tenang.
Aldar menoleh dengan ekspresi terkejut dan menatap dengan tajam tanpa menghentikan langkah.
“Memang saat ini belum bisa, tapi aku yakin beberapa tahun lagi aku bisa melunasi semua,” ucapku optimis.
Aldar menghentikan langkah, menggerakkan badan hingga kini benar-benar menghadap ke arahku. Semenit kemudian belum ada tanda-tanda mulut itu akan mengeluarkan jawaban, hanya tatapan mata itu kian tajam.
“Aku yakin aku bisa,” ujarku mencoba merebut kepercayaan dengan keoptimisan.
Aldar menyilangkan kedua tangan di depan d**a dan tampak sedikit mendekatkan kepala untuk mengamati wajah ini dengan lebih teliti.
“Jadi, menurutmu, aku membutuhkan uangmu?” celetuknya setelah beberapa saat tak henti menelisik raut muka ini.
“Ah!” seruku kecewa, laki-laki ini seolah tak peduli dengan apa yang kuungkapkan dan justru menempelkan telapak tangan dipundak ini dengan lembut dan melakukan sedikit gerakan mendorong agar tubuh ini kembali bergerak memasuki kantor pemerintah ini.
Beberapa laki-laki tampak menganggukkan kepala pada Aldar yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Kemudian salah satu dari mereka mendekat dan berbicara dengan suara pelan. Telapak tangan Aldar yang masih menempel di pundak terasa memberikan tekanan dan dorongan lembut untuk mengikuti gerak langkahnya yang berjalan mengikuti laki-laki yang tadi mendekatinya.
“Silahkan duduk!” ucap laki-laki itu pada dua buah kursi kayu yang menghadap ke satu buah meja yang di atasnya sudah ditata berkas-berkas yang sudah tersusun dengan rapi.
“Duduk!” ucap Aldar dengan tenang ketika melihatku berdiri mematung di samping kursi, lalu dengan kedua tangannya calon suamiku ini langsung menekan lembut kedua pundak ini.
“Ingat, kesepakatan tidak dapat dibatalkan,” bisiknya ketika akhirnya kita berdua duduk berdampingan.
Uh! Hanya embusan napas yang keluar dari mulut ini untuk membalas bisikan itu. Kemudian beberapa orang pegawai pemerintah mendekat dari arah berlawanan dan duduk menghadap kami. Karena aku hanya seorang diri di dunia, perwalian diserahkan pada seorang laki-laki yang ditunjuk sebagai wali yang disediakan negara.
Aku tersenyum kaku pada laki-laki yang menjadi wali ini dan dibalas dengan sedikit senyum dan anggukan hormat.
“Silahkan ditandatangani!” ucap pegawai pemerintah setelah mencorat-coretkan beberapa tulisan pada berkas-berkas di atas meja itu.
Kalimat perintah itu memang terdengar biasa saja bagi kuping orang lain. Tetapi, di indra dengarku kalimat ini terasa menjadi satu gembok bagi kehidupanku selanjutnya.
Aldar dengan cekatan mencoretkan tanda tangan kertas-kertas itu. Mata ini memperhatikan dengan seksama ketika kepala laki-laki yang tentu saja diinginkan oleh banyak gadis di luar sana itu dengan tenang menyelesaikan apa yang disuruh oleh pegawai pemerintah.
“Nunggu apa?” ucapnya tanpa suara sambil menatapku yang dari tadi memperhatikan gerakan-gerakannya itu.
“Ayo!” ucapnya pelan sambil menahan geregetan.
Aku masih bergeming dan ketika mengedarkan pandangan ternyata orang-orang yang berada di sekitar meja ini sedang menunggu, mereka semua menatapku. Akhirnya tangan ini bergerak dengan berat dan pelan-pelan mengikuti apa yang tadi dilakukan Aldar.
Beberapa saat kemudian prosedur sederhana dilakukan. Saat itu begitu cepat terasa, tiba-tiba saja di kuping ini terdengar seruan “sah” dan satu dokumen dalam bentuk buku kecil diletakkan di telapak tanganku.
“Ayo!” ucap Aldar sambil berdiri.
Aku baru sadar dari tadi kilatan lampu blitz berkelebat.
“Ayo!” ulang Aldar dan kali ini tangannya bergerak menarik tangan ini karena dilihatnya aku hanya bengong sambil menatapnya.
“Senyum!” ujar Aldar ketika kami berdiri di salah satu sudut kantor pemerintah ini.
Beberapa orang laki-laki yang tadi menyambut Aldar sibuk mengatur posisi, ada yang mengambil gambar dari jarak dekat ada yang sedikit menjauh.
Aku berpikir dalam hati, berapa orang fotografer dibutuhkan hanya untuk mengabadikan penandatanganan dokumen di kantor ini. Beberapa laki-laki hanya berdiri dan mengamati.
“Senyum!” ulang Aldar yang melihatku tengah mengedarkan pandangan pada para laki-laki yang mengelilingi kami.
“Ini foto pernikahan bukan pemakaman, Marakesh!” seru Aldar geram.