[Queen Pov]
“Queen! Apa keinginan terbesarmu?”
Jika ada yang bertanya seperti itu padaku, sudah pasti aku akan menjawab dengan senyuman lebar tanpa ragu, bahwa aku ...
“Sudah pastilah aku ingin menikah dengan pria yang aku cintai, yaitu Davien Abimanyu!”
Tapi itu dulu sebelum pria yang aku cintai ini menjadikan impianku hanya sekedar mimpi tanpa kenyataan dan justru kandas begitu saja hingga menyisakan luka yang begitu dalam.
Oh iya! Kenalin, namaku Queen Calista Alexander's, dan usiaku 24 tahun. aku bekerja di perusahaan Papa untuk membantu kakakku, Alvino.
Pada sore hari, aku berdiri di balkon kamar dan menatap lurus ke arah depan dengan posisi bersedekap. Mataku menatap jauh ke depan dengan tatapan kosong. Ada keributan dari arah taman di mana para pelayan sedang sibuk bercanda sambil berusaha menyulap taman itu agar menjadi sebuah aula pernikahan yang indah menyita perhatianku
“Tidak ada yang salah di sana, tamannya juga disulap begitu indah sekali, tetapi kenapa hatiku terasa kosong?” lirihku penuh kesenduaan.
Taman itu akan menjadi saksi di mana besok aku akan melepas status lajangku dengan seorang pria yang tidak pernah aku cintai, mungkin ini yang menjadi pemicu kegalauan aku saat ini.
Ini karena nama Davien Abimanyu masih begitu sulit untuk aku lupakan biarpun pria itu telah membuat luka yang dihatiku.
Selang beberapa menit, deringan dari ponselku membuat aku tersentak dan aku segera mengelus pelan dadaku untuk menetralisir detak jantungku yang sepertinya telah bekerja lebih dari kebiasaan normal.
“Astaga! Bikin kaget saja,” desahku.
Aku lantas menjangkau ponsel yang tergeletak di atas kasur dan melihat tulisan ‘Liam is calling...’ yang tertera di layar. Lantas aku menggeser tombol hijau ke samping sambil mengulas senyuman tipis saat menunggu suara di seberang telepon.
"Aku merindukanmu, Queen!" ucap suara seorang pria dari seberang telepon dengan manja.
Dia adalah Liam Orlando, pria tampan yang akan mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu dan disaksikan keluarga besarku besok. Pria itulah yang Papa perkenalkan padaku setahun yang lalu dan akhirnya memutuskan untuk menikah denganku. Meski aku sedikit ragu, tetapi aku juga harus memberi peluang pada diriku agar bisa move on dari seorang Davien, pria yang pernah menolakku dan memilih wanita lain.
“Queen?” Suara lembut itu sukses membuat lamunanku buyar.
“Iya, aku mendengarkanmu, kok,” kilahku yang masih tetap berdiri dengan mendekatkan benda pipih itu kembali ke telingaku.
‘Maafkan aku, Liam,’ batinku sedih. Aku tidak bisa menceritakan kegelisahan ini padanya.
“Aku bilang kalau aku merindukanmu, Queen,” ucapnya lagi dan membuat aku mengulas senyum meski Liam tidak bisa melihatnya.
“Baru tiga hari saja kita tidak ketemu, Liam, tidak usah berlebihan seperti itu,” ujarku pada pria itu dan senyumku semakin melebar saja tanpa aku sadari.
“Aku tidak pernah berlebihan dengan perasaanku, Queen. Memangnya kau tidak merindukanku?” lanjut Liam lagi, membuat aku tercekat mendengar pernyataannya.
Untuk membalas ungkapan rindu dari Liam, pria yang akan menamani aku selama sisa hidupku nantinya ini, sepertinya sulit sekali. Aku belum bisa, ya Tuhan.
'Queen! kamu harus bisa. Hatimu mungkin memang sulit untuk menerima ini, tetapi kamu harus berusaha karena jalan ini kamu juga yang memilihnya,’ batinku mengingatkan diriku sendiri.
“Diammu itu aku anggap jika kau juga sama sepertiku, boleh? Pasti kau juga mencintaiku, kan? Ah iya! Apa yang kau lakukan saat ini?” Suara itu kembali terdengar di ujung telepon dan melemparkan pertanyaan padaku.
Aku menghela napas sebelum menjawabnya. “Sedang berbicara dengan calon suamiku, bagaimana? Apa ada lawan?” Aku berusaha menghibur Liam, juga tak lupa akan diriku dari rasa kecewa ini.
“Aku senang mendengarnya, aku tidak sabar menunggu besok pagi, Queen. Pagiku akan menjadi sempurna setelah mengikat dirimu dalam ikatan suci pernikahan dan menjadikanmu istriku.” tukas Liam lagi dan membuat aku sekali lagi mengulas senyum tipis.
“Iya, semoga besok acara kita berjalan dengan lancar tanpa ada kendala.”
Tidak bisa aku pungkiri jika hatiku berdebar untuk saat ini. Namun, itu bukan karena Liam, melainkan hatiku berdebar untuk menyambut hari besok, hari di mana aku akan menguburkan semua perasaanku pada Davien. Apa itu sulit? Sudah pasti iya.
“Tentu! Aku pasti akan datang tepat waktu untuk melaksanakan ijab kabul kita besok pagi,” lanjut Liam membuat aku merasa begitu istimewa sekali. Hanya dia satu-satunya pria asing dalam hidupku yang melakukannya.
“Hm, aku menunggumu,” balasku.
Obrolan singkat aku bersama Liam itu tidak berlangsung lama karena Liam menyarankan aku untuk segera istirahat. Padahal jika dipikir-pikir, hari ini masih sore dan detik-detik acara juga masih jauh sebelum akhirnya dimulai. Akan tetapi, apa yang bisa aku lakukan di saat yang lain pada sibuk.
Sepertinya benar saran dari Liam, aku harus istirahat lebih awal untuk menyambut status baru, di mana gelar sebagai Nyonya Orlando akan tersemat untukku besok.
***
Mansion Alexanders, London, UK.
Aku melirik arloji yang tergantung pada dinding kamar. “Ternyata sudah jam delapan lewat dua belas menit,” gumamku.
“Ya Allah, kenapa perasaanku seperti ini?” Sekali lagi aku bergumam. Perasaan berdebar yang aku rasakan saat ini membuat aku tidak nyaman. Mungkin karena sebentar lagi aku akan membuka satu lagi lembar baru kehidupanku maka dari itu aku jadi gugup seperti ini.
“Sayang,” seru satu suara yang begitu lembut sekali, membuat hatiku terasa adem saat mendengarnya. Dia adalah wanita yang membawaku lahir ke dunia ini.
“Kau baik-baik saja?” Mama melontarkan pertanyaan sambil menyentuh pelan lengan kiriku lembut.
“Aku baik-baik saja, Ma,” dustaku sambil berusaha mengulas senyum agar terlihat meyakinkan di mata Mama. Aku tidak ingin membuat wanita itu khawatir.
Semua sudah siap karena sebentar lagi akad akan segera dimulai. Namun, Liam masih juga belum juga sampai.
‘Liam ke mana, ya?’ batinku kebingungan.
Bisa aku melihat kedua orang tua Liam menunggu pria itu dengan cemas, beberapa kali papanya berusaha menghubungi Liam. Tentu mereka akan merasa tidak enak hati karena telah membuat aku dan keluarga besarku menunggu terlalu lama.
Tidak berselang lama, aku melihat sosok Liam melangkah masuk dengan terburu-buru ke arah tempat yang seharusnya. Pria yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga.
“Maaf, maaf karena aku terlambat,” ucap Liam dengan terengah-engah. Keringat mengalir dari dahinya dengan deras.
Aku menatap lekat wajah calon suamiku itu dan memperhatikan dari atas sampai bawah. Sepertinya tidak ada yang mencurigakan, sedangkan untuk Papa, aku bisa melihat pria paruh baya itu menatap kecewa pada Liam, calon suamiku yang datang terlambat.
Aku mengerti perasaan Papa, aku usap lembut lengan Papa sambil mendongak menatap wajahnya, berusaha mengalihkan rasa kecewa Papa pada calon menantu pertamanya itu.
“Apakah semuanya sudah siap? Kita akan memulainya sekarang,” ujar penghulu dan langsung saja mendapat jawaban setuju serta anggukan dari para saksi, termasuk Papa.
Liam menjabat tangan penghulu yang akan menjadi perantara pernikahan kami. Di saat pria paruh baya itu membuka bibirnya untuk memulai, tiba-tiba sebuah layar proyektor yang saat ini sedang menampilkan beberapa foto prewedding aku dan Liam berubah menjadi gelap. Namun tak berselang lama, layar itu kembali menyala dan apa yang terpampang di sana membuat aku merasa jijik melihat adegan kotor itu.
“Terima kasih, Sayang.”
“Oh Baby!”
“Liam, ini nikmat sekali!”
Bukan hanya diriku, tetapi juga semua orang terkejut menatap layar yang saat ini sedang menyajikan dua insan sedang bergumul dengan percintaan panasnya. Itu adalah Liam dan seorang wanita yang tidak aku kenal.
Aku merasakan seluruh sendiku melemah, air mataku menerjang keluar dari pupil mata tanpa komando walaupun aku belum mencintai Liam. Namun, pengkhianatannya ini membuat hatiku sakit bagaikan dihujam dengan berbagai anak panah yang tak kasat mata.
Aku menatap nanar menyaksikan pria yang sebentar lagi akan menjadi suamiku sedang bersetubuh dengan wanita lain. ini sungguh kejam!
“Queen, aku ....” Liam berusaha menjelaskan padaku. Namun, kalimatnya tercekat dan nadanya juga tergugup penuh mencurigakan.
Aku melarikan pandanganku dan menatap jijik pada pria yang semalam mengucapkan rindu padaku.
“Aku dijebak, Queen! Tolong percaya padaku!” Liam berusaha menjelaskan dan mencoba meraih maafku. Namun, aku tidak akan pernah percaya karena buktinya sudah jelas di depan mataku dan juga disaksikan oleh semua orang.
“Jangan menyentuhku!” Aku menepis kasar tangan Liam yang hendak menyentuh lenganku dan menatapnya tajam dengan mata yang memerah panas.
“Sungguh! Queen, aku bersumpah! Ada orang yang menjebakku!” Liam berusaha membela dirinya di hadapanku dan orang-orang.
Derap tapak kaki terdengar jelas di pendengaranku, Kak Alvino sedang melangkah lebar dan tergesa-gesa ke arah Liam. Wajahnya jelas sekali jika ia sedang dikendalikan oleh emosi.
“Dijebak dan kau mendesah? Sialan!” Aku melihat Kak Alvino menghantam pipi Liam. Matanya membulat sempurna dengan wajah memerah karena menahan luapan emosi.
Aku masih tetep tak bergeming saat melihat Liam tersungkur akibat pukulan dari Kakakku, aku hanyut dalam kesedihan yang sekali lagi harus aku rasakan.
“Stop, Al! Kendalikan dirimu!” terjak Elnino kakak keduaku dan berusaha menahan Kak Al.
“Lepaskan aku, El! Aku akan membunuh k*****t ini!” seru Kak Al dengan amarah yang memuncak.
Suara keributan yang ditimbulkan oleh Kak Al dan Kak El mengembalikan aku ke alam sadar dan aku terperanjat melihat kakakku, Alvino, sedang memegang sebuah senjata yang mematikan.
Perlahan aku mulai merasakan kepalaku terasa sangat pusing dan pandanganku juga mulai tidak jelas. Pada akhirnya aku ambruk di tengah acara.
“Queen!!” Itulah suara terakhir yang tertangkap indra pendengaranku.