"Makasih, lo selalu ada buat gua sama Devit, tapi ... lo harus tau, gua tetep nunggu Devid yang belum juga pulang."
Di samping kemudi, sebuah kotak berisi mobil mainan juga seperangkat alat pendakian sudah terbungkus rapi siap diberikan Bram untuk Devit. Sebelum sampai ke apartemennya, Bram membeli sekotak piza tidak lupa minuman hangat kopi kapucino satu dan terkhusus Acha nanti, Bram membeli kopi hitam pahit. Terakhir cokelat hangat untuk Devit.
Kebiasaan Acha minum kopi hitam membuatnya sadar, bahwa kehidupan takkan selalu terasa manis. Apalagi tanpa tantangan, sekarang adalah likuan yang mengharuskannya berjuang lagi. Namun, kali ini ia ditemani oleh sang buah hati, penyemangat baginya.
Setelah membayar pesanan, Bram segera melajukan mobilnya dengan cepat menuju apartemen Acha. Sebagian penghuni sudah maklum kedatangan Bram mau malam ataupun kepagian, mereka tahu Acha juga selalu ragu mempersilakan Bram masuk ke dalam apartemennya. Karena menurut agama juga sangat tidak diperbolehkan.
Tertinggal satu penghuni, seorang nenek tua yang dulu menjadi saksi bisu keluarga kecil Devid dan Acha dimulai. Dari yang selalu main malam saling bergenggaman tangan, sampai kabar bahwa Acha hamil sudah terhafal di luar kepada tetangga apartemen itu. Devit kecil juga dulu selalu sering dititipkan kepadanya, jika ada urusan mendadak datang.
Ting! Ting!
Bram menekan bel pintu, sudah menjadi kebiasaan Acha sebelum membuka pintu selalu mengintip dari peephole atau lubang intip. Tamu yang akan berkunjung lagi-lagi Bram, Acha bimbang untuk membuka pintu bagi lelaki itu. Walaupun jarum jam tangannya baru menunjuk pukul delapan malam. Di luar juga terdengar gerimis masih setia turun.
Terpaksa Acha membuka pintu, melempar senyum kakunya. Bram bertanya, "Belum tidur, kan?"
"Belum, masuk, Bram," ajak Acha seraya mundur selangkah, memberikan jalan untuk Bram masuk.
Jaket yang dipakai Bram sedikit basah di daerah bahunya, ia pun segera menyampirkannya ke sebuah pengait khusus di samping pintu apartemen. Dari arah ruang TV Devit berlarian menemukan Bram yang sudah bersiap memeluknya erat. Devit sendiri sudah melupakan pertanyaan teman-temannya tentang siapa gerangan Bram. Namanya juga anak kecil, apalagi setelah matanya menangkap sesuatu di tangan Bram.
"Yeay! Pasti kado kedua buat, Devit, kan?"
Bram berjongkok, memberikan kotak hadiahnya. "Coba buka, sekarang!"
Tanpa menunggu lama Devit segera merobek bungkus kotaknya, Acha memilih berjalan ke ruang TV menyaksikan tayangan sinetron yang sudah lama ia tonton, tetapi tidak pernah memperhatikan apa yang para aktris di sana jalankan. Kedua mata memang fokus menonton. Namun, tanpa orang lain ketahui selain Tuhan. Acha terus berdoa, mengapa tidak Devid yang membahagiakan hari ulang tahun anaknya?
Mengapa tidak Devid yang memberikan pelukan hangat setiap datang ke rumah? Kapan semuanya kembali seperti dulu? Penuh tawa antara ayah dan ibu, bukan antara anak dan teman dekat ibunya. Tatapan mata Acha kembali kosong dan itu membuat Bram khawatir, ia segera meminta Devit untuk memainkan mobilnya saja. Mengalihkan perhatian, agar tidak sedih melihat ibunya yang hanya diam dengan tatapan kosong.
Bram duduk di samping Acha. Perempuan yang sekarang hanya memakai setelan baju tidur warna putih, bergambar bunga warna-warni. Rambut panjangnya diiikat asal ke belakang, kedua matanya masih menatap lurus kosong. Tangan Bram siap terulur, untuk mengelus bahu Acha.
"Lo tau, Bram. Gua masih berharap dia datang, meluk gua, nenangin hati gua, ngebahagiain Devit bareng gua," lirih Acha, menghentikan tangan Bram yang langsung terkepal di samping tubuhnya urung mengelus bahu Acha.
"Gua tau," balas Bram.
Acha berpaling dari tayangan sinetron di TV. Memilih berjalan menuju dapur, menyibukkan diri asalkan tidak berada di dekat Bram. Devit yang sibuk senang dengan mobil-mobilan barunya segera mengajak Bram main bersama. Bram melihat satu kotak besarnya belum Devit buka.
"Kenapa belum dibuka yang itu?" tanya Bram.
Devit menoleh. "Berat, Devit kira itu hadiah buat, Mama?"
Bram tersenyum kecil. "Sini, kita buka bareng-bareng."
Devit menurut, ia langsung duduk di pangkuan Bram. Dari arah lain, Acha menatapnya tak suka. Mereka semakin dekat saja. Bram segera membuka perlahan kotak yang berisi alat outdoor. Devit yang tidak mengerti benda apa di depannya hanya melongo.
"Kamu mau naik-naik ke puncak gunung, gak?"
"Ih, serem, Om! Gunung 'kan tinggi, nanti Devit gak bisa naik sama turunnya gimana?" tanya Devit polos.
"Nanti 'kan ada, Om, sama Mama juga. Mau, gak?" ajak Bram, ia memang ingin sekali berniat di usia Devit ke lima tahun ini.
Sebagai mengenalkan, bahwa gunung itu bukan tempat menakutkan. Namun, penuh rahasia dan mungkin akan menjadi candu untuk ditaklukan lagi. Setelah Devit menyetujui ajakan Bram, ia segera berlari memamerkan kamera yang Acha berikan. Model keluaran baru, tetapi Devit tidak mampu menggunakannya.
"Katanya nanti Mama ajarin, tapi dari tadi diem mulu depan TV," tutur Devit, sambil menekan asal remot mobilnya.
Diacaknya puncak kepada Devit, Bram menasehati, "Mungkin, Mama lagi sibuk di sekolah. Kamu harus kasih semangat, biar gak diem mulu. Mau, kan?"
"Tapi ... kalo Devit ajak bicara juga, Mama kadang bengong, terus waktu Devit tanya Mama kelabakan gak tau harus jawab apa," jelasnya.
Anak kecil tak mungkin berbohong menceritakan keadaan Acha sekarang. Lima tahun ditinggalkan, lima tahun juga bertahan bersama anak yang harus dibesarkan. Bram beranjak pergi, melihat Acha sedang menyeduh s**u hangat untuknya sendiri, sedangkan piza dan minuman hangat yang Bram bawa tak ada niatan untuk disentuh.
Bram berjalan mendekat, membuat Acha sedikit mundur menjauhi. "Gak usah dengerin apa kata, Devit. Lo tau sendiri, anak kecil selalu melebihkan apa pun yang dia liat," ucap Acha, sebelum Bram berkata ikhlaskan saja kepergian Devid yang tak lagi kembali.
"Enggak semuanya, Cha. Gua juga tau, lu kayak banyak pikiran mulu. Kenapa, sih, gak bisa apa lupain dia?" Bram memelankan volume bicaranya, agar Devit tidak bisa menangkap ia pembicaraan.
Acha menatapnya kesal. "Lo, minta gua lupain dia? Segampang itu? Setelah apa yang gua lakuin sampe ada di Jakarta? Mertahanin kesendirian selama lima tahun ini?"
"Iya. Karena, gua akan menjadi pengganti di—"
"Gua 'kan udah bilang. Lo tetep jadi temen gua, Bram. Gak lebih." Acha membawa segelas susunya ke ruang TV yang masih menyala, menyiarkan sinetron Indonesia yang dulu Devid larang untuk ditonton.
Katanya, membuat Acha cengeng apalagi waktu itu sedang hamil. Dari belakang, Devit berlari mendekati ibunya. Memberitahukan hadiah yang Bram bawa. Lagi, Acha mulai tak enak akan kebaikan Bram kepada anaknya.
"Om Bram, ngajak Devit naik gunung, Ma! Mama, juga harus ikut, ya?" Devit berkata dengan bola mata yang berbinar cerah.
"Ke gunung? Capek loh, lagian ...." Acha merapikan rambut Devit ke belakang. "Jauh, tinggi, kamu juga masih kecil."
"Udah lima tahun. Berarti udah gede!" balas Bram dari belakang, membuat Acha menarik napas kasar dan berakhir memberikan tatapan pertanda Bram harus diam.
"Tuh, Ma, kata Om Bram, Devit udah gede!" ucapnya, mencebik kesal.
Bram duduk di samping Devit, mengelus sayang puncak kepalanya. "Nanti, ya, libur akhir tahun."
"Yeay! Kapan itu?" tanya Devit, membuat Bram tertawa.
"Sebulan lagi, ya, Cha?"
Acha menatapnya tak suka. "Iya, sebulan lagi."
Devit menyandarkan kepalanya di d**a Acha. "Mama, ikut, kan?"
Acha menimang apa yang harus iya jawab sekarang. Sampai, Bram mengalihkan pembicaraan menanyakan apa yang neneknya berikan untuk Devit sebagai kado ulang tahun ke limanya, dengan senang Devit memamerkan mainan barunya.
"Kenapa, sih, dia selalu aja bisa bahagiain Devit dengan caranya," batin Acha, lalu ia segera beranjak pergi masuk ke dalam kamarnya.