"Terlalu banyak janji-janji basi, hingga pada akhirnya janji yang terulang tak lagi dipercayai."
Gunung Guntur adalah sebuah gunung berapi bertipe stratovolcano yang terdapat di Kelurahan Pananjung dan Desa Pasawahan, Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dan memiliki ketinggian 2.249 MDPL. Gunung Guntur pernah menjadi gunung berapi paling aktif di Pulau Jawa pada dekade 1800-an.
Selain bisa didaki melalui jalur Cikahuripan, Gunung Guntur juga bisa didaki melalui jalur yang lain, yaitu jalur Citiis. Bila dibandingkan dengan jalur Citiis, jalur Cikahuripan ini sebenarnya lebih landai, tetapi akses kendaraan umum ke basecamp-nya sedikit sulit.
Jalur Cikahuripan ini layak untuk dilalui jika tidak ingin melalui medan yang berat, sedangkan untuk jalur Citiis bisa dibilang tidak sangat direkomendasikan untuk pemula. Ada beberapa hal, misalnya banyaknya tanjakan curam dan rute perjalanan yang sangat panjang dibanding jalur Cikahuripan.
"Pasti, di momen pendakian ini yang gak diharapkan banget, ya, Kak?"
Pertanyaan Atul mampu menghentikan lamunan panjang Acha, ia menoleh melempar senyum penuh luka. Tentu saja, hari kemarin dan mungkin sekarang adalah hari sial baginya. Semua karena ajakan Bram yang tak tahu kondisi Acha sebenarnya. Dari belum mampu melupakan Devid saat ingatannya kembali ke pendakian lalu, sampai melupakan keadaan Devit begitu saja.
Seharusnya Acha sekarang berada di balkon apartemennya, menghirup dalam aroma kopi hitam yang pahit. Namun, mewakili keadaan kehidupannya sekarang. Tersenyum lebar, melihat Devit baik-baik saja di sampingnya. Sayang, keputusannya akan ajakan Atul yang sebenarnya adalah permintaan dari Bram sudah ia kabulkan dengan gampang.
Dari kejadian ini, Acha akan belajar dari kesalahan. "Emang, gak sama sekali diharapkan, tapi ... udah jalan takdir Tuhan," balas Acha, padahal hatinya menjerit menyalahkan Bram yang lagi-lagi sok pahlawan baginya dan bagi Devit.
"Iya, Kak, kayak maut aja. Walaupun mencoba menghindar, sampai sembunyi-sembunyi maut tetap menjemput," jelasnya, memaksa Acha kembali akan bayangan Devit yang masih enggan menemuinya.
Namun, Acha yakin akan rencana Tuhan. Mungkin, ia kembali diberikan ujian, apakah ia mampu bertahan lagi? Menjanjikan kepada Devit bahwa ayahnya ada tidak seperti yang banyak orang duga, bahwa ia telah pergi untuk selamanya. Selama lima tahun juga, Acha belum pernah diberikan isyarat lewat mimpi. Di mana Devid datang, pamit pulang.
Sama sekali belum pernah memimpikan, hanya beberapa kejadian masa lalu saja yang kebanyakan di saat masih duduk di bangku SMA. Di mana semua cerita tanpa cinta dan rasa sakit hati, belum semengenal dan sesakit yang dirasakan sekarang. Saling menggenggam tangan bukan mengartikan cinta, tetapi sahabat yang setia.
"Eh! Kabutnya dah pada ilang!" seru Risa dari belakang tubuh Atul dan Acha.
"Fotbar, yu, Kak!" ajak Atul, seraya mengeluarkan ponselnya.
Acha menggeleng lemah, ia memilih menjauhi mereka berdua. Ingin berdiam diri tanpa banyak bising suara manusia, diliriknya tenda yang diisi Devit. Anaknya itu sekarang dijaga oleh Irsad, bersama satu teman lainnya. Jadi, Acha kembali melanjutkan langkah kakinya. Menuju semak-semak dengan rumput pegunungan yang tinggi-tinggi.
Tanpa sebuah alas, Acha segera menghempaskan tubuhnya. Berbaring telentang, menyaksikan langit biru dengan hiasan awan putih yang lambat laun melaju, sesuai arah angin yang terus menggoyangkan apa pun di sekitarnya. Termasuk beberapa helai rambut kecokelatannya. Suasana menyendiri ini yang Acha inginkan. Jauh dari keramaian, mencoba tenang seolah tak memiliki beban.
"Gua sayang sama lo, saksinya Tuhan sama sekali gak pernah ada rasa buat, Bram. Pulang, Dev, lo gak bosen di sana mulu? Di sana, tuh, di mana, sih, Dev? Gua mau tau! Please, masuk ke dalam mimpi gua, kasih isyarat, kalaupun lu kasih teka-teki gua bakal berusaha mecahin jawabannya."
Kedua mata Acha yang terpejam semakin kuat dipejamkan, mencoba menahan bulir air matanya. Namun, tetap saja lolos dan ia mulai terisak. Mengapa semuanya sangat kejam? Ia kira, hanya kehilangan Devid keadaan hidupnya akan sedikit baik, tetapi ada manusia bernama Bram. Mengajaknya seolah mencari hiburan, berkelana agar melupakan perlahan Devid. Nyatanya? Ia malah hampir membunuh anaknya sendiri hidup-hidup.
Di dataran tinggi ini, di tempat yang Bram dambakan agar Devit berhasil menaklukan. Setelah merasa lega, Acha menegakkan tubuhnya, menghapus cepat sisa air mata di sudut matanya. Saat ia siap berdiri, sudut matanya menangkap tubuh seseorang menjulang di samping kanannya. Acha menoleh, ternyata Bram sudah ada di sana dari tadi.
"Lo gak papa?" tanyanya berbasa-basi.
Gelengan kepala Acha menjadi jawaban, tanpa mengeluarkan sepatah kata Acha melewati Bram begitu saja. Perempuan itu masih dan mungkin semakin membenci kehadiran Bram. Sampai kapan? Ah, bukan sampai kapan tepatnya. Namun, mengapa Bram begitu ceroboh menjaga Devit yang ia janjikan akan menyaksikan, indahnya pegunungan.
Bram memilih mengikuti langkah Acha, mendekati tenda yang sudah diisi tawa. Devit menertawakan candaan Irsad dan Tedy. Mereka bisa dibilang adalah badut untuk Devit, tepatnya adalah Tedy yang harus mengikuti keinginan Devit dan Irsad segera memintanya untuk mengabulkan permintaan bocah itu.
"Om Tedy, mau gak gendong Om Irsad?" pinta Devit, membuat Tedy dan Irsad saling bertatapan.
"HAHA! Boleh, dong!" Irsad segera menarik tangan Tedy keluar dari tenda, memintanya agar cepat berjongkok. "Siap, gak, Ted?"
Tedy yang ditanya mengerang kesal. "Siap!" balasnya girang, padahal hati kecilnya mulai memaki Irsad yang seenaknya mengiyakan permintaan Devit.
Saat Tedy berhasil membawa Irsad kembali ke dalam tenda, dengan napas tak beraturan, sedangkan Devit tertawa lepas. Datanglah Acha melempar senyum bahagia. "Udah, kasian Om Tedy, Dev ...."
Devit mendongak, sekelebat bayangan di saat Acha hanya diam sambil menunduk diguyur air langit kemarin sore membuatnya mengangguk pasrah. Acha menjadi serba salah, sedikit tawa lebar Devit jadi menghilang karena ucapannya barusan. Apakah terlalu kasar? Menurutnya sangat biasa, tetapi mengapa Devit jadi murung sekarang?
"Kita foto di depan plakat, yuk!" ajak Irsad, Devit yang tak tahu maksudnya mengerutkan kening dalam.
"Yuk! Om yang gendong, deh!" tawar Tedy dari samping Irsad.
Mendengar bahwa Tedy akan menggendongnya, Devit mengangguk cepat. "Mau ...!" soraknya, seraya menghambur ke belakang punggung Tedy yang lebar.
Acha tidak protes, asalkan Devit kembali tersenyum. Tedy berlari-lari dengan Irsad, menuju plakat bertuliskan MT. Guntur 2.249 MDPL. Ia pun memilih berdiri, siap mengikuti langkah mereka. Namun, dari arah belakang, tangan seseorang menahan lengan kiri Acha, sontak ia menoleh lagi-lagi mendapati Bram yang berulah.
Apa, sih, maunya? Apakah masih bertanya-tanya bahwa ia tidak bersalah? Sebelum Acha protes meminta Bram melepas cekalannya, lelaki itu segera berujar, "Gua minta maaf, soal semua hal yang udah gua lakuin dan nyakitin hati lo, Cha."
Oh, hanya minta maaf? Tanpa ada niat langsung pergi dari kehidupan Acha dan Devit saja? Acha berpaling, menatap riak awan putih yang bergelombang, bak kapas yang menggumpal bisa ia gapai dengan gampang.
"Cha, lo mau 'kan maafin gua?" tanya Bram.
Tatapan Acha beralih menatap wajah Bram yang menunduk. Karena tinggi badannya lebih tinggi. "Kalo udah gua maafin lo mau ngapain? Berjuang lagi? Sok peduli lagi? Sok jadi pahl-"
"Ch-"
"Apa?" Acha memotong ucapan Bram, lalu melanjutkan, "Itu 'kan tujuan lo? Buat apa, sih, Bram? Bukannya Anya cewek yang paling cocok, cantik, dan pastinya belum punya anak kayak gua!"
Bram menggigit bibir bawahnya dalam, tangan kanannya yang mencekal pergelangan tangan Acha terlepas begitu saja. Lalu kakinya siap pergi, tetapi ia sempat berkata, "Gua gak suka, lo nambah-nambahin nama cewek lain dalam masalah kita."
Acha sama sekali tidak peduli. Ia menatap kepergian Bram yang memasuki tendanya. Pagi ini, tak sedingin malam tadi, semuanya tetap sama. Tak ada yang istimewa.
"Kecuali, kalo lo ada di sisi gua, Dev," lirih Acha.